Seperti Katak dalam Tempurung Digital

Konten dari Pengguna
28 Mei 2017 2:14 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ary Mozta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi media sosial (Foto: Pixabay)
Saya menghabiskan malam ini dengan rutinitas seperti biasa, membaca berita dari berbagai sumber – termasuk Kumparan – serta memperhatikan keramaian-keramaian di media sosial. Seperti biasa juga, ada banyak cerita menarik hari ini.
ADVERTISEMENT
Ada keseruan dari sesi kualifikasi Formula 1 GP Monaco yang, setelah sekian lama, berujung dua pembalap Ferrari di posisi terdepan. Ada cerita Operasi Tangkap Tangan KPK. Ada juga foto-foto menu buka puasa pertama para rekan di Twitter dan Instagram yang membuat saya mendadak lapar.
Tapi berita yang paling mengganggu saya adalah kisah Dokter Fiera Lovita dari Solok. Beritanya sudah ramai sejak pertengahan pekan lalu, tapi baru malam ini saya membaca kronologis lengkapnya. Unggahan Dokter Fiera di akun media sosialnya berujung masalah panjang, bahkan sampai mengancam keselamatan Dokter Fiera.
Banyak Hal yang Terlewat
Dari membaca kejadian yang dialami Dokter Fiera, saya jadi menemukan banyak berita yang tidak saya sadari sebelumnya. Ternyata, sebelumnya ada juga cerita tentang Dokter Otto Rajasa di Balikpapan yang juga sedang menjalani sidang karena tuduhan penistaan agama. Ada Afi Nihaya Faradisa yang sampai harus dilindungi GP Ansor dan Banser NU karena tulisannya di Facebook.
ADVERTISEMENT
Ada pawai anak-anak yang ternyata turut menyuarakan “bunuh Ahok,” hal yang tentunya tidak seharusnya keluar dari mulut generasi penerus kita di usia yang begitu muda. Saya baru lihat videonya satu atau dua hari setelah diunggah.
Kemudian ada respons dari kejadian-kejadian ini. Ada yang menulis surat balasan untuk Afi. Ada ratusan – bahkan ribuan – yang turut andil memberikan pendapat, menghujat, dan bahkan mengancam. Banyak yang saling melabeli, termasuk media-media yang memberitakan. Dokter Otto dicap sebagai penista agama dalam sebuah judul berita, padahal sidangnya baru saja dimulai.
Di sisi lain, ada juga yang menulis tanggapan untuk ‘Kaum Sorban Putih’, sebuah sebutan yang ditujukan untuk anggota Front Pembela Islam yang dikatakan melakukan intimidasi terhadap Dokter Fiera. Perdebatan di media sosial juga tidak kalah seru. Entah berapa banyak cacian dan makian yang dilontarkan di Twitter dan Facebook karena perbedaan pendapat tentang masalah ini.
ADVERTISEMENT
Bukan. Saya bukan hendak berdebat tentang apa yang masuk kategori penistaan agama atau penghinaan ulama. Terus terang, saya tidak punya tenaga untuk itu. Saya justru tertegun ketika menyadari ada begitu banyak yang saya lewatkan; yang saya tidak tahu jika saya tidak menggali lebih jauh malam ini.
Tempurung Digital Saya yang Nyaman
Media sosial dan teknologi yang tersedia sekarang memudahkan kita menciptakan dunia digital kita sendiri. Ponsel saya lengkap berisi sumber-sumber berita yang senang saya ikuti, misalnya berita seputar teknologi atau gadget terbaru. Google Now bahkan bisa secara otomatis menyaring berita mana yang ingin saya baca duluan.
Aplikasi YouTube di ponsel tidak lagi menampilkan video demonstrasi atau video tidak jelas dengan judul yang bombastis. Halaman Trending kini berisi video-video dari acara talkshow televisi Amerika, tutorial videografi terbaru, atau ulasan gadget yang baru saja diluncurkan.
ADVERTISEMENT
Media sosial juga tidak jauh berbeda. Sejak ramai-ramai Pilkada DKI kemarin, saya lebih memilih menyaring beberapa kata kunci yang isinya mengganggu. Linimasa tiba-tiba bersih dari unggahan-unggahan berbau negatif dan penuh hasut. Unggahan semacam itu diganti percakapan lucu rekan-rekan dan konten yang memang bisa saya nikmati.
Saya tidak aktif di Facebook, jadi keluhan beberapa orang tentang betapa tidak menyenangkannya Facebook bukan sesuatu yang saya alami sendiri. Instagram malah seperti pacar sendiri; halaman Explore bisa persis sekali dengan selera saya, penuh dengan foto mobil, pemandangan indah, motor cafe racer, atau genre foto lain yang biasa saya lihat.
ADVERTISEMENT
Yang saya cari adalah kenyamanan. Saya berusaha menempatkan diri sejauh mungkin dari konten negatif dengan berbagai teknologi yang tersedia. Pengalaman berinternet yang bersih dan interaksi seru dengan teman-teman jadi lebih dominan dibanding sebelumnya. Tentu sesekali masih ada unggahan tertentu yang ‘bocor’ dan memancing emosi, tapi jumlahnya sudah sedikit sekali.
Penelusuran saya malam ini membuat saya sadar kalau apa yang saya buat adalah sebuah tempurung digital. Lewat pembatasan-pembatasan yang saya buat sendiri, saya memutus akses ke konten-konten yang negatif. Pembatasan itu membuat saya jadi melewatkan banyak hal, dan tidak tahu tentang lebih banyak lagi.
Bagai Katak dalam Tempurung
Saya tidak lagi paham kalau ada orang-orang di luar sana yang benar-benar percaya –dari hati yang paling dalam – kalau agamanya dinistakan dan pelakunya layak dibunuh. Saya tidak lagi paham kalau hanya bisa memaki, mengancam, dan menghujat karena tidak punya cara yang lebih baik untuk menyuarakan pendapatnya.
ADVERTISEMENT
Saya tidak lagi peduli dengan begitu banyaknya cacian dan ucapan buruk yang dilontarkan di media sosial setiap saat; lebih buruk lagi, saya tidak lagi memperhatikan efek konten negatif tadi pada orang di sekitar saya. Saya bahkan baru sadar kalau ada seorang rekan yang akun media sosialnya dibanjiri hujatan yang sungguh tidak pantas, hanya karena salah memilih istilah atau kata.
Saya berhenti mau tahu tentang propaganda yang dilancarkan berbagai pihak dengan tujuan dan pesannya masing-masing. Saya berhenti mengikuti bagaimana propaganda-propaganda tadi begitu tegasnya mengubah orang-orang yang saya anggap teman –bahkan saya idolakan. Cukup saya mute akun mereka, bukan?
Saya berhenti memikirkan bagaimana sekian banyak perkelahian di linimasa dibaca anak-anak yang mungkin belum bisa mencerna apa yang terjadi dengan pemikiran yang terbuka. Saya semakin jarang peduli tentang mana yang benar dan harus disuarakan. Saya berhenti khawatir melihat derasnya aliran unggahan-unggahan baru yang membawa bangsa ini semakin dekat dengan perpecahan.
ADVERTISEMENT
Ah, saya bahkan sudah tidak melihat ajakan untuk beragama dengan baik, atau bantahan-bantahan atas pesan agama yang sejatinya bermuatan pribadi atau untuk kepentingan sendiri, karena tempurung digital saya tidak bisa dimasuki konten media sosial yang berbau Islami. Saya merasa seperti katak dalam tempurung, nyaman dalam keterbatasan pandangan saya sendiri.