news-card-video
16 Ramadhan 1446 HMinggu, 16 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Dinamika Kebijakan Industri Jepang Antara Teknologi Tinggi dan Ekonomi Hijau

Aryo Alhadi
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasioanl Universitas Sriwijaya
8 Maret 2025 15:29 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aryo Alhadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Vincent M.A. Janssen: https://www.pexels.com/photo/gray-concrete-pathway-between-red-and-black-pillars-1310788/
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Vincent M.A. Janssen: https://www.pexels.com/photo/gray-concrete-pathway-between-red-and-black-pillars-1310788/
ADVERTISEMENT
Jepang telah lama dikenal sebagai salah satu negara industri paling maju di dunia. Kebijakannya selalu mendapatkan sorotan atas kemampuannya menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan kemajuan teknologi tinggi. Dalam beberapa dekade terakhir, Jepang semakin mengembangkan kebijakan manajemen lingkungan yang mengarah pada ekonomi berbasis keberlanjutan, seiring dengan tekanan global untuk mengurangi emisi karbon dan mencapai keberlanjutan lingkungan. Namun, pergeseran ini tidak terjadi secara instan.
ADVERTISEMENT
Pembuatan kebijakan industri Jepang saat ini berada di persimpangan antara mempertahankan dominasi teknologi tinggi, seperti semikonduktor dan robotika, dengan transisi menuju ekonomi hijau yang lebih ramah lingkungan. Analisis studi kasus kebijakan otomotif listrik (EV) dan hidrogen memberikan gambaran bagaimana Jepang menyeimbangkan posisi dualisme ini di tengah lanskap ekonomi global yang semakin kompetitif.
Sejak masa pasca-perang, Jepang secara konsisten mengejar pertumbuhan industri secara berkelanjutan. Strategi industri yang difokuskan pada manufaktur tingkat tinggi, seperti otomotif dan elektronik, telah menjadikan Jepang sebagai pemimpin industri global. Kesuksesan Toyota, Sony, dan Panasonic mencerminkan efektivitas kebijakan perekonomian Jepang dalam menciptakan ekosistem industri yang kuat. Salah satu kunci keberhasilan ini adalah peran aktif pemerintah melalui Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) dalam mendukung penelitian dan pengembangan (R&D), memberikan insentif pajak, serta membangun kemitraan erat antara sektor publik dan swasta.
ADVERTISEMENT
Namun, dominasi Jepang dalam teknologi tinggi mulai mendapatkan tantangan, terutama dari Tiongkok dan Korea Selatan yang semakin maju dalam industri berbasis teknologi. Jepang yang sebelumnya unggul dalam semikonduktor dan panel layar kini menghadapi persaingan ketat dari perusahaan seperti Samsung dan TSMC. Untuk menjaga daya saing industrinya, Jepang mulai mengarahkan kebijakan industrinya ke arah transformasi berbasis keberlanjutan, seperti pengembangan kendaraan listrik dan hidrogen sebagai alternatif bahan bakar masa depan.
Industri otomotif merupakan salah satu pilar utama perekonomian Jepang, dengan perusahaan besar seperti Toyota, Honda, dan Nissan mendominasi pasar global. Namun, pergeseran global menuju kendaraan listrik berbasis baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) yang didorong oleh target netral karbon menempatkan Jepang dalam posisi yang menantang. Jepang selama ini lebih berinvestasi dalam teknologi kendaraan berbahan bakar hidrogen (Fuel Cell Electric Vehicle/FCEV) dan harus menyesuaikan strateginya agar tidak tertinggal zaman.
ADVERTISEMENT
Toyota, misalnya, telah menjadi pelopor dalam teknologi hidrogen dengan menghadirkan Toyota Mirai. Pemerintah Jepang juga memberikan dukungan besar dalam pengembangan infrastruktur hidrogen dengan mengalokasikan dana untuk pembangunan stasiun pengisian hidrogen serta memberikan subsidi bagi kendaraan hidrogen. Jepang menganggap hidrogen sebagai solusi jangka panjang yang lebih baik daripada BEV, terutama untuk sektor kendaraan berat dan transportasi publik.
Namun, ekspansi teknologi hidrogen ini menghadapi tantangan dari tren global yang lebih condong ke BEV. Amerika Serikat dan Uni Eropa, misalnya, telah menetapkan target ambisius untuk menggantikan kendaraan berbahan bakar bensin dengan BEV. Pesaing seperti Tesla dan BYD dari Tiongkok semakin mendominasi pasar kendaraan listrik dengan efisiensi baterai yang lebih tinggi dan harga yang lebih terjangkau. Menyadari hal ini, Jepang mulai meningkatkan investasi dalam pengembangan baterai solid-state, yang diharapkan menjadi terobosan besar dalam industri kendaraan listrik masa depan.
ADVERTISEMENT
Jepang telah berkomitmen untuk mencapai netralitas karbon sebelum tahun 2050, yang memerlukan transformasi besar dalam kebijakan industri dan energi. Salah satu langkah utama yang diambil adalah meningkatkan promosi hidrogen sebagai sumber energi alternatif, tidak hanya untuk kendaraan tetapi juga untuk industri dan pembangkit listrik. Jepang menjadi salah satu negara pertama yang mengembangkan strategi ekonomi hidrogen nasional, dengan investasi miliaran dolar untuk proyek produksi hidrogen hijau dari energi terbarukan.
Namun, investasi dalam ekonomi hijau di Jepang menghadapi berbagai tantangan besar. Salah satunya adalah ketergantungan Jepang yang masih tinggi pada energi fosil, terutama sejak bencana nuklir Fukushima pada tahun 2011 yang menyebabkan banyak reaktor nuklir dihentikan. Jepang masih mengimpor sebagian besar kebutuhan energinya, sehingga transisi ke energi hijau memerlukan investasi besar dalam infrastruktur dan teknologi baru.
ADVERTISEMENT
Selain itu, resistensi dari industri konvensional juga menjadi hambatan. Banyak produsen otomotif Jepang masih mengandalkan mesin pembakaran internal dan teknologi hybrid, sementara negara lain, seperti Tiongkok, telah secara agresif mendorong BEV melalui subsidi besar-besaran dan kebijakan ketat terhadap kendaraan bermotor berbahan bakar bensin.
Untuk memahami bagaimana Jepang menghadapi peralihan ini, penting untuk melihat studi kasus kebijakan kendaraan listrik di negara tersebut. Pada awalnya, Jepang kurang agresif dalam mengembangkan BEV dibandingkan negara lain. Toyota lebih fokus pada hybrid dan FCEV, sementara Nissan merupakan salah satu pelopor BEV dengan menghadirkan Nissan Leaf.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Jepang mulai mengubah kebijakannya dengan meningkatkan dukungan terhadap pengembangan baterai solid-state, yang diklaim lebih efisien dan memiliki jangkauan lebih luas dibandingkan baterai lithium-ion konvensional. Pemerintah juga mulai memberikan lebih banyak insentif bagi kendaraan listrik, meskipun jumlahnya masih lebih kecil dibandingkan dengan Tiongkok dan Eropa.
ADVERTISEMENT
Jepang juga gencar membangun infrastruktur pengisian daya kendaraan listrik, yang sebelumnya menjadi hambatan utama dalam adopsi BEV. Pemerintah menargetkan pembangunan 150.000 stasiun pengisian kendaraan listrik pada tahun 2030 sebagai bagian dari upaya percepatan transisi energi di sektor transportasi.
Namun, Jepang masih dihadapkan pada dilema besar dalam memilih jalur transisi yang tepat. Jika terlalu fokus pada hidrogen, Jepang berisiko tertinggal dalam revolusi otomotif berbasis baterai. Sebaliknya, jika hanya mengandalkan BEV, maka investasi besar dalam teknologi hidrogen bisa menjadi sia-sia. Oleh karena itu, kebijakan industri Jepang saat ini bersifat hibrida, dengan mendukung kedua teknologi tersebut sambil terus memantau perkembangan global.
Dinamika kebijakan industri Jepang mencerminkan tantangan yang dihadapi negara maju dalam mempertahankan keunggulan teknologi sekaligus beradaptasi dengan tren keberlanjutan global. Jepang telah lama menjadi pemimpin dalam pengembangan industri, namun kini harus beradaptasi dengan perubahan global yang semakin mendorong ekonomi hijau. Keputusan strategis Jepang dalam menyeimbangkan pengembangan kendaraan listrik dan hidrogen akan menjadi faktor penentu dalam mempertahankan daya saing industri mereka di era teknologi tinggi dan ekonomi hijau.
ADVERTISEMENT
Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. Ketergantungan pada energi fosil, persaingan global dalam teknologi baterai, serta perbedaan strategi dengan negara lain menjadi faktor yang harus dipertimbangkan. Keberhasilan Jepang dalam menghadapi transisi ini bergantung pada kemampuannya untuk menyesuaikan strategi industri, berinvestasi dalam teknologi hijau, dan mempercepat pembangunan infrastruktur energi berkelanjutan. Dengan langkah yang tepat, Jepang dapat terus mempertahankan posisinya sebagai pemain utama dalam industri global di era teknologi tinggi dan ekonomi hijau.
Referensi :
International Energy Agency (IEA). (2021). Japan 2021: Energy policy review. IEA. https://www.iea.org/reports/japan-2021
METI (Ministry of Economy, Trade and Industry of Japan). (2022). Green growth strategy towards 2050 carbon neutrality. Government of Japan. https://www.meti.go.jp
Kushida, K. E. (2020). The Japanese political economy and the green energy transition: The interplay of institutions and technologies. Asian Survey, 60(6), 1031–1055. https://doi.org/10.1525/as.2020.60.6.1031
ADVERTISEMENT
Toyota Motor Corporation. (2023). The future of mobility: Hydrogen fuel cells and battery electric vehicles. Toyota Global Newsroom. https://global.toyota
BloombergNEF. (2022). Battery-powered vs hydrogen fuel cell vehicles: Comparing the race to zero-emission mobility. BloombergNEF. https://about.bnef.com