Konflik Ular dan Manusia: Siapa yang Salah?

Arzha Ali Rahmat
Mahasiswa sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang. Asal Wonosobo. Suka menonton film, seorang ilustrator, dan penggiat ular dan reptil.
Konten dari Pengguna
8 Desember 2021 13:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arzha Ali Rahmat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ular. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ular. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Musim hujan yang melanda Indonesia belakangan ini di samping mendatangkan hikmah bagi masyarakat juga memberikan sebuah ancaman baru, yaitu seringnya terjadi konflik antara ular dengan manusia.
ADVERTISEMENT
Melansir dari Kompas.com (1/11), Ular Sanca Batik sepanjang 2,5 meter menghebohkan warga Kota Dumai, Riau karena masuk ke salah satu rumah warga saat banjir. Sementara itu di Semarang, Jawa Tengah, seorang kakek menemukan Ular Sanca Batik di sebuah rumah kosong (19/10), dilansir dari Tribun Jateng.
Banyaknya konflik antara ular dan manusia menjadikan ular sebagai mimpi buruk, ancaman kehilangan nyawa karena gigitan ular menjadi salah satu alasannya.
Melansir dari National Geographic bahwa ada sekitar 3.000 spesies ular di dunia dan 600 di antaranya adalah ular berbisa. Fakta di atas cukup untuk membuat bulu kuduk siapa pun yang membacanya bergidik, apalagi mereka yang memiliki ketakutan terhadap ular.
Tapi terjadinya gesekan antara ular dan manusia tentu saja tidak bisa disalahkan hanya pada ular. Selama ini masyarakat tidak mau disalahkan atas konflik antara manusia dengan ular.
ADVERTISEMENT
Tidak peduli kondisi, situasi, dan keadaan masyarakat akan selalu menganggap ular sebagai pihak yang salah. Nyatanya hal ini tidaklah benar, bahkan manusia sendiri yang selama ini memicu konflik yang ada.
Mengutip dari buku Ular di Sekitar Kita Pulau Jawa (2019) karya Nathan Rusli sebenarnya bukan ular yang mengganggu manusia, melainkan sebaliknya.
Habitat ular adalah alam liar seperti hutan, rawa, dan perbukitan. Semakin bertambahnya populasi manusia perlahan tapi pasti membuat habitat-habitat tersebut hilang dan memaksa ular untuk masuk ke pemukiman manusia.
Dari tahun ke tahun habitat ular selalu berkurang. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2018-2019 deforestasi hutan di Indonesia sebesar 462,5 ribu hektar. Sementara pada tahun 2019-2020 sebesar 115,5 ribu hektar.
ADVERTISEMENT
Deforestasi (penggundulan hutan) adalah kegiatan penebangan hutan atau tegakan pohon sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan nonhutan, seperti pertanian dan perkebunan, peternakan, atau permukiman. Kegiatan ini secara umum menghancurkan habitat satwa liar khususnya ular.
Suplai makanan ular berkurang, pohon tempat bertengger ditebang, sungai tempat minum tercemar dan kering, dan lubang tempat bersembunyi runtuh. Semua itu adalah ulah manusia. Penggundulan hutan, pembuatan kebun sawit, eksploitasi alam berlebihan, dan pengalihan lahan menjadi pemukiman.
Kombinasi dari hal-hal di atas yang secara tidak disadari membuat masalah baru, yaitu konflik antara ular dan manusia.
Adanya ular di pemukiman manusia bukanlah sesuatu yang normal. Ular cenderung akan menghindar jika bertemu manusia, berdasarkan fakta ini maka muncul satu pertanyaan. Kalau begitu kenapa ular pergi ke tempat yang banyak manusianya?
ADVERTISEMENT
Akhirnya kita dapat menyimpulkan beberapa hal. Pertama, suplai makanan ular berkurang membuat ular pergi ke pemukiman. Kedua, menghilangnya pohon membuat ular tidak memiliki tempat untuk hidup. Ketiga, tercemarnya sungai akan memunculkan ripple effect bagi ekosistem alam. Keempat, hilangnya tempat bersembunyi akan menuntun ular mencari tempat lain, salah satunya adalah rumah warga.
Angka konflik antara ular dengan manusia selalu meningkat setiap tahun sejalan dengan masifnya pembangunan. Hal tersebut membuka sebuah fakta yang unik. Kenapa di masa lalu konflik ular dan manusia sedikit sementara di masa ini konflik justru bertambah? Jawabannya satu, kita mengganggu mereka.
Penjabaran di atas rasanya lebih dari cukup untuk membuktikan jawaban tersebut. Ego dan keserakahan manusia yang akhirnya memunculkan pola pikir bahwa ular yang mengganggu manusia, yang pada kenyataannya justru sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Sebagai makhluk berakal kita wajib menjaga alam tanpa tebang pilih. Apakah ular berbahaya bagi manusia? Betul, ada beberapa yang berbahaya. Tapi apakah hal tersebut membuat ular tidak layak untuk dilindungi dan dijaga? Salah besar. Karena pada dasarnya kebebasan adalah hak semua makhluk hidup.
Bahkan ular memiliki peran yang penting bagi kehidupan. Penelitian yang dilakukan oleh Ajeng Sabrina Kemala Asri pada tahun 2015 mengungkapkan fakta bahwa ular berperan dalam menjaga ekosistem, membantu manusia dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dapat dimanfaatkan dalam bidang medis.
Ular ada sebagai penjaga populasi hewan seperti katak, tikus, dan burung kecil. Secara tidak langsung hal tersebut membantu petani, yaitu sebagai pembasmi hama alami. Penelitian terhadap bisa ular juga membantu tenaga medis membuat banyak produk medis.
ADVERTISEMENT
Ketakutan manusia terhadap ular tidak akan pernah hilang. Tapi jangan biarkan ketakutan itu menguasai pikiran kita dan membuat kita bertindak gegabah.
Ketakutan manusia selama ini didasarkan pada satu hal, yaitu tidak mengerti tentang ular. Tidak mengerti membuat kita selalu berburuk sangka dan menyalahkan ular. Dewasa ini ada banyak sumber yang membahas tentang ular mulai dari organisasi, artikel, buku dan sebagainya.
Manfaatkan sumber-sumber tersebut. Baca, tonton, dan ikuti sumber-sumber tepercaya yang membahas ular. Dengan melakukan hal tersebut sebuah pemikiran baru akan tercipta. Yang awalnya berpikir untuk selalu membunuh ular perlahan akan berubah menjadi perasaan untuk melindungi dan menghargai nyawa ular.