Kesetaraan Gender: Perspektif Masyarakat Urban di Indonesia

Arzia Mayla
Mahasiswa Universitas Pembangunan Jaya Program Studi Psikologi
Konten dari Pengguna
13 Maret 2024 6:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arzia Mayla tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kesetaraan gender yang seharusnya terjadi. https://www.canva.com/design/DAF-zh-hT10/VE9rCaGpYs4icSzAnE8x6A/edit
zoom-in-whitePerbesar
Kesetaraan gender yang seharusnya terjadi. https://www.canva.com/design/DAF-zh-hT10/VE9rCaGpYs4icSzAnE8x6A/edit
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Isu ketimpangan gender bukan lagi menjadi hal baru di lingkup masyarakat kita. Hal ini sudah menjadi perbincangan sehari-hari, bahkan banyak perdebatan yang melibatkan topik ini. Kurangnya wawasan masyarakat kita akan isu ketimpangan gender menjadikan permasalahan ini terkesan tidak pernah selesai. Serta alasan lain yang membuat topik ini belum menemukan akhir penyelesaiannya. Misalnya, norma sosial dan budaya dalam masyarakat kita yang seringkali masih memperlihatkan dan mempromosikan peran gender yang begitu terbatas. Perempuan yang selalu digambarkan sebagai individu yang lemah lembut, penyayang, terkesan tidak pernah marah membuat stereotip yang tumbuh di masyarakat pun seperti itu.
ADVERTISEMENT
Gender berasal dari serapan kata bahasa Inggris yang memiliki arti jenis kelamin. Karena itulah gender lebih sering dikaitkan dengan jenis kelamin, padahal arti gender lebih daripada itu dan dua frasa tersebut merupakan perkara yang berbeda. Hal ini yang sering kali dipikirkan oleh orang awam, bahwa gender sama dengan jenis kelamin. Menurut Mansour Fakih (dalam Akmaliyah, 2019), gender diartikan sebagai kepribadian dan perangai yang ada pada kaum laki-laki dan perempuan, jadi ini bukan perihal tentang ‘sex’ namun lebih kepada kepribadian individu. Gender banyak dipengaruhi oleh sosial budaya yang tumbuh di masyarakat, kondisi keagamaan dan perubahan zaman (Marzuki, 2007).
Menurut United Nation Development Programme (dalam Akmaliyah, 2019), salah satu penanda keberhasilan suatu negara ialah dari tingkat kesetaraan gender yang dialami warga negaranya. Pada tahun 2021, UNDP melakukan pengukuran terhadap gender inequelity yang hasilnya Indonesia berada di urutan 114 dari 191 negara dan masuk ke dalam kategori High Human Development dengan nilai laki-laki sebesar 0.723 yang jelas lebih unggul daripada perempuan yang hanya 0.681.
ADVERTISEMENT
Angka ini didapat dari pengukuran tiga dimensi dasar Human Development yang dianggap dapat mewakili aspek kesetaraan gender yaitu: kesehatan, diukur dari angka harapan hidup perempuan dan laki-laki saat lahir; pendidikan, yang diukur dari rata-rata lama sekolah perempuan dan laki-laki untuk anak-anak dan rata-rata lama sekolah perempuan dan laki-laki untuk orang dewasa berusia 25 tahun ke atas; dan penguasaan sumber daya ekonomi, yang diukur dari estimasi pendapatan yang diperoleh perempuan dan laki-laki.
Berdasarkan data di atas, maka Indonesia masih belum cukup dikatakan merdeka dalam hal kesetaraan gender. Karena menurut Handayani (2016), kesetaraan gender terwujud apabila tidak terjadi lagi diskriminasi dalam berkehidupan dan ketidak adilan struktural maupun hak atas hasil pembangunan yang dilakukan pemerintah, entah itu pada laki-laki ataupun perempuan. Jika hal itu tidak terwujud maka terjadilah ketimpangan gender. Ketimpangan gender umumnya berkaitan dengan klasifikasi tugas yang jomplang di salah satu pihak, entah itu laki-laki ataupun perempuan (J, 2017).
ADVERTISEMENT
Menurut pengukuran Gender Social Norms Index (GSNI) yang dilakukan United Nation Development Programme (UNDP), sekitar setengah laki-laki dan perempuan di dunia merasa bahwa laki-laki merupakan pemimpin politik dan pelaku bisnis yang lebih baik, dan lebih dari 40 persen merasa bahwa laki-laki lebih berhak mendapatkan pekerjaan ketika lapangan pekerjaan langka. Hal ini mencerminkan bahwa kenyataannya dalam hidup bermasyarakat, kita masih terbawa oleh budaya yang menyuarakan bahwa laki-laki menggenggam kendali penuh di banyak bidang (Zuhri & Amalia, 2022).
Namun, jika dilihat lebih jauh, banyak masyarakat khususnya di lingkungan perkotaan (urban) yang sudah lebih peduli akan topik ini. Masyarakat urban dinilai lebih terbuka terhadap peralihan peran gender ini. Pendidikan berperan sangat penting dalam mengubah stereotip gender dan membantu menghasilkan pemahaman yang lebih luas di masyarakat. Ditilik dari aspek pendidikan, perempuan dan laki-laki juga mendapatkan hak yang sama untuk bebas mengenyam pendidikan. Maka dari itu, di zaman sekarang semakin banyak perempuan Indonesia khususnya di perkotaan yang mengenyam pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Budaya yang tumbuh di masyarakat kita juga menjadi pengaruh yang cukup besar terhadap ketimpangan gender ini. Misalnya budaya patriarki yang relatif konsisten berjalan hingga kini, laki-laki memiliki peran sebagai pemegang kendali penuh atas keluarga, menjadi tulang punggung/pencari nafkah, sehingga perempuan hanya perlu bertugas mengurus rumah, anak dan suami (Zuhri & Amalia, 2022).
Jika dilihat dari akses pekerjaan, kontribusi perempuan pun semakin baik. Perempuan yang mulanya memiliki peluang lebih kecil untuk andil dalam aspek pekerjaan kini bukan hal baru lagi melihat perempuan bekerja terlebih-lebih lagi di wilayah perkotaan (Yusrini, 2017). Walaupun sebenarnya masih ada saja ketimpangan yang terjadi, misalnya cukup sulit bagi perempuan untuk mendapatkan promosi kenaikan jabatan atau kesenjangan pembagian upah pendapatan antara laki-laki dan perempuan (Nuraeni & Suryono, 2021).
ADVERTISEMENT
Demi mengatasi ketimpangan gender ini, dibutuhkan kerja sama dari pemerintah, masyarakat dan pihak-pihak lain untuk memperjuangkan hal ini secara berkelanjutan. Tetapi, perlu kita apresiasi perkembangan dan kemajuan masyarakat kita dalam menghadapi ketimpangan gender ini. Semakin banyak masyarakat yang menyadari dan memberikan perhatian akan topik ini jelas menjadi dampak yang bagus untuk memperoleh kesetaraan gender dalam hidup bermasyarakat.