Konten dari Pengguna

Lumrahnya Penggunaan Bahasa Kasar di Kalangan Remaja, Efek Pergaulan?

Arzia Mayla
Mahasiswa Universitas Pembangunan Jaya Program Studi Psikologi
5 Juni 2023 11:07 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arzia Mayla tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://images.unsplash.com/photo-1490578474895-699cd4e2cf59?ixlib=rb-4.0.3&ixid=M3wxMjA3fDB8MHxwaG90by1wYWdlfHx8fGVufDB8fHx8fA%3D%3D&auto=format&fit=crop&w=871&q=80
zoom-in-whitePerbesar
https://images.unsplash.com/photo-1490578474895-699cd4e2cf59?ixlib=rb-4.0.3&ixid=M3wxMjA3fDB8MHxwaG90by1wYWdlfHx8fGVufDB8fHx8fA%3D%3D&auto=format&fit=crop&w=871&q=80
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014, remaja diartikan sebagai individu dengan rentang usia 10 tahun hingga 18 tahun. Remaja dianggap sebagai kelompok yang paling rawan untuk terkena masalah (Rienneke & Setianingrum, 2018). Menurut Piaget (dalam Khiyarusoleh, 2016), masa remaja ialah
ADVERTISEMENT
ketika individu bisa bergabung dan menyatu dengan masyarakat yang lebih dewasa. Pada usia ini, remaja sangat mudah terpengaruh hal-hal yang tidak baik, misalnya saja penggunaan bahasa kasar.
Bahasa kasar sudah sangat umum di kalangan remaja, bahkan anak SD sudah menerapkan bahasa kasar ini dalam kehidupan sehari-harinya. Bahasa kasar yang dimaksudkan di sini adalah kata-kata yang bersifat mencemooh, mengejek orang lain, berisi umpatan yang ditujukan pada orang lain, atau panggilan-panggilan yang tidak sepantasnya (Wijayanto, 2014).
Namun, bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari saja bahasa kasar ini dipergunakan, di jejaring sosial pun bahasa kasar sering ditemukan (Tjahyanti, 2020). Tindakan ini disebut delikuensi. Menurut Murray & Farrington (dalam Hasanusi, 2019), delikuensi adalah perilaku yang melanggar dan tidak sesuai dengan aturan serta dilakukan berkali-kali.
Ilustrasi remaja bernyanyi di taman. Foto: Tom Wang/Shutterstock
Pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupan. Menurut Josua, et al. (2020), perangai seseorang dalam kehidupan bermasyarakat disebut perilaku sosial.
ADVERTISEMENT
Perilaku sosial memiliki maksud dan tujuan yang dipusatkan pada diri sendiri dan orang lain yang mempengaruhi tujuan, keyakinan orang lain, perasaan dan tindakan personal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Wesseldijk, et.al, (2018), alasan-alasan yang sangat mempengaruhi perilaku sosial individu yaitu genetik dan lingkungan.
Menurut Arifin, et al. (2018), lingkungan yang baik dan sehat akan membentuk individu yang baik, sedangkan lingkungan yang buruk dan tidak baik akan menumbuhkan individu dengan karakter yang tidak baik pula.
Ini menunjukkan bahwa lingkungan sangat mempengaruhi proses berkembangnya individu. Apalagi, banyak orang mengatakan bahwa masa remaja adalah masa di mana individu mencari jati diri. Alhasil, bahasa kasar ini sangat mudah diserap oleh remaja.
Ilustrasi remaja rebel. Foto: Shutter Stock
Karena remaja menirukan apa yang ditunjukkan lingkungan dan teman-temannya. Seperti pada penelitian yang dilakukan Haditono (dalam Hasanusi, 2019), tingkah laku nakal pada remaja mayoritas disebabkan karena mencontoh perilaku teman.
ADVERTISEMENT
Menurut (Sharif & Roslan, 2011), remaja melakukan hal yang bertolak belakang dengan norma disebabkan karena teman yang memiliki keinginan dan pendapat serupa dengan mereka.
Remaja merasa senang jika berperilaku tidak benar dan tidak sopan bersama teman sebayanya. Mirisnya, banyak dari remaja ini malah terjebak pergaulan yang membuat mereka tersesat, rugi bahkan hingga ke arah perbuatan kriminal (Hasanusi, 2019).
Umumnya, remaja menggunakan bahasa kasar ini dengan teman sebayanya namun, seringkali para remaja ini tidak mengenal tempat. Mereka bisa saja berkata kasar di sekolah atau tempat umum yang rasanya sangat tidak pantas jika mereka berkata kasar di tempat-tempat seperti itu.
Ilustrasi Anak Bicara Kasar. Foto: Shutter Stock
Sebagai contoh, kata-kata kasar yang dilontarkan antara lain, bego, tolol, sialan, brengsek, goblok, dan lainnya untuk menggambarkan atau meluapkan perasaan (Wijayanto, 2014).
ADVERTISEMENT
Bahkan, agaknya penggunaan tanda baca titik dan koma dalam berbicara sehari-hari sudah tergantikan dengan kata-kata kasar. Mereka terbiasa berbicara bahkan memanggil orang lain dengan kata-kata kasar yang berpotensi membuat sakit hati.
Karena itulah, seharusnya remaja patut mengontrol dan memahami perilaku dan tingkah laku secara moral dalam kehidupan sehari-harinya (Hasanusi, 2019).
Jadi, bahasa kasar yang sering terlontar dari mulut para remaja merupakan salah satu efek pergaulan yang tidak baik. Sehingga, dampaknya pun tidak baik.