Konten dari Pengguna

PDIP Mencalonkan Anies Baswedan? Astaga!

AS Laksana
Seorang sastrawan, pengarang, kritikus sastra, dan wartawan yang aktif menulis cerita pendek di media cetak nasional
27 Agustus 2024 10:36 WIB
·
waktu baca 8 menit
Tulisan dari AS Laksana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anies Baswedan bermain telfon pintarnya usai melakukan pertemuan dengan Ketua DPD PDIP DKI Jakarta, Adi Wijaya (Aming) di Kantor DPD PDIP DKI Jakarta, Sabtu (24/8/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Anies Baswedan bermain telfon pintarnya usai melakukan pertemuan dengan Ketua DPD PDIP DKI Jakarta, Adi Wijaya (Aming) di Kantor DPD PDIP DKI Jakarta, Sabtu (24/8/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
SEANDAINYA PDIP adalah tetangga tua sebelah rumah dan suatu hari ia terlihat sempoyongan di jalan, saya pasti mendatanginya dan menanyakan, “Apakah sampean sedang kurang sehat, Mbah? Mungkin demam atau vertigo?”
ADVERTISEMENT
Namun, PDIP adalah partai politik. Partainya wong cilik, kata mereka sendiri. Ia punya banyak poster Bung Karno sebab ia nasionalis, warna bajunya merah, simbol keberanian, dan para kadernya selalu berteriak merdeka setiap kali melihat panggung. Jadi, saya tidak bisa mengajukan kepada partai ini pertanyaan intim seperti kepada tetangga sebelah, meskipun ia kelihatan kurang sehat.
Bagaimana mungkin PDIP akan menggendong Anies Baswedan sebagai calon gubernur Jakarta? Apakah ia sehat-sehat saja dengan keputusan ini?
Tujuh tahun lalu, Anies berhadapan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam pemilihan gubernur yang sangat emosional, dengan kubu pendukung Anies menggunakan isu dan sentimen keagamaan selama masa kampanye untuk menggerus popularitas Ahok. Anies menang. Pilkada DKI membuktikan bahwa agama adalah kendaraan politik yang efektif dan berbiaya murah. Orang akan bergerak militan, dan bersedia membiayai dirinya sendiri, jika mereka merasa sedang berjuang untuk agama.
ADVERTISEMENT
Saya berpikir isu penistaan agama oleh Ahok pada waktu itu hanya propaganda politik untuk menurunkan elektabilitasnya, tetapi rupanya diteruskan setelah pilkada berakhir. Anies dilantik sebagai gubernur Jakarta, Ahok dibawa ke pengadilan dan kemudian dipenjara sebagai penista agama.
Dengan latar belakang seperti itu, sekiranya PDIP benar-benar mengusung Anies, ia patut diberi pertanyaan: Apakah Megawati lupa bahwa bapaknya punya nasihat “Jasmerah” yang diingat orang hingga hari ini? Apakah pragmatisme politik membuatnya mengkompromikan ideologi?
Anies Baswedan tentu akan senang hati dicalonkan oleh partai apa pun, baik yang skalanya gurem maupun dinosaurus, dan ia memang sedang rajin ke sana kemari. Ia bukan orang partai. Kepentingannya sebagai politikus simpel saja—bisa maju dalam pemilihan gubernur.
Apakah sekarang ia dan PDIP memiliki pandangan yang sejalan? Tidak penting. Apakah PDIP sekarang melihat Anies sebagai penerus ajaran Soekarno? Tidak penting juga. Apakah nanti Anies akan tunduk betul sebagai petugas partai? Itu urusan belakangan.
ADVERTISEMENT

Mengapa Anies?

Untuk partai yang memelihara imajinasi sebagai penerus ajaran Soekarno dan mengembangkan citra sebagai partainya wong cilik, keputusan PDIP menggendong Anies Baswedan, jika itu benar-benar terjadi, bagi saya adalah langkah yang ganjil, meskipun kita selalu bisa mengatakan bahwa tidak ada yang mustahil di bumi nusantara, seganjil apa pun kelihatannya.
Tentu orang bisa mengatakan bahwa dukungan PDIP terhadap Anies adalah langkah strategis untuk menguasai Jakarta. Dalam praktik oligarki, penting sekali sebuah partai memiliki gubernur, apalagi gubernur Jakarta. Memiliki gubernur akan memberinya akses ke kekuasaan di tingkat lokal, mengendalikan sumber daya dan kebijakan daerah, membangun jaringan politik yang solid, dan menyiapkan landasan bagi ambisi politik yang lebih besar, termasuk pemilihan presiden lima tahun nanti.
ADVERTISEMENT
Untuk itu PDIP hanya perlu menutup mata terhadap apa yang terjadi pada pilkada Jakarta 2017 ketika isu keagamaan digunakan untuk menghantam kandidat mereka. Masalahnya, dengan mengabaikan itu, PDIP secara terang benderang mengisyaratkan bahwa mendapatkan kekuasaan di Jakarta lebih penting daripada mempertahankan garis ideologi.
Bukan berarti Anies Baswedan tidak pantas didukung; ia pantas, tetapi mestinya bukan oleh PDIP. Akan lebih tepat jika dukungan untuk Anies datang dari partai-partai lain yang seideologi dengannya. Ketika partai nasionalis-sekuler mengabaikan faktor-faktor ideologis dan sejarah dan memutuskan mendukung Anies, anda bisa melihatnya sebagai pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang mereka pegang.
Tapi apakah ada yang ideologis dalam perpolitikan Indonesia? Tidak sama sekali. Di bawah naungan oligarki, tidak ada yang ideologis. Keputusan-keputusan politik lebih didominasi oleh pragmatisme daripada komitmen ideologis. Aliansi dibentuk berdasarkan kalkulasi kekuasaan dan kepentingan jangka pendek. Partai-partai, apa pun ideologinya, tidak lebih hanyalah kendaraan untuk memenangkan kekuasaan, bukan untuk memperjuangkan visi atau nilai-nilai jangka panjang.
ADVERTISEMENT

Pragmatisme vs. Ideologi

Dalam politik, konon orang harus fleksibel untuk bertahan hidup. Baiklah, kita terima asumsi itu, dan sebetulnya dalam kehidupan secara umum juga begitu. Pohon bambu yang batangnya lentur akan lebih tahan terhadap angin topan ketimbang pohon-pohon yang batangnya kaku. Mungkin untuk satu urusan tertentu, anda perlu mengambil langkah praktis demi keuntungan jangka pendek. Tapi di mana batasnya?
Fleksibilitas yang ekstrem, atau kelenturan tanpa komitmen terhadap prinsip, hanya akan menghasilkan oportunisme. Jika PDIP mendukung Anies hanya demi keuntungan jangka pendek, ini jelas pragmatisme yang melampaui batas, dan kita bisa mengajukan satu pertanyaan lagi: Apakah para politikus boleh berbuat apa saja, termasuk mengabaikan ideologi partai dan menyakiti konstituen?
Pragmatisme yang melampaui batas ini mungkin dapat dilihat sebagai respons terhadap tekanan yang sulit dihindari dalam realitas politik, tetapi dapat juga dilihat sebagai tanda bahwa sistem politik kita sebenarnya hanyalah sarang ular.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan berikutnya: Apakah ideologi masih relevan dalam politik modern atau apakah kepentingan jangka pendek telah membengkokkan arah dan tujuan partai?
Tapi itu pertanyaan yang tidak relevan. Dalam praktik politik di mana kekuasaan dan segala sumber daya hanya berada di tangan segelintir elite politik, partai-partai hanya perlu berkompromi. Mereka tidak perlu mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan mereka kepada konstituen.

Kongsi Dua Pihak yang Sama-Sama Ditinggalkan

Dari perspektif lain, kemungkinan PDIP mengusung Anies bisa kita lihat sebagai respons yang lahir dari rasa frustrasi dan keterasingan setelah merasa dikhianati oleh Jokowi dan terpinggirkan dalam dinamika politik setelah pilpres.
Setelah kalah dalam pemilihan presiden dan tidak mungkin bagi mereka untuk merendahkan diri bergabung ke dalam KIM Plus, PDIP tampaknya melihat Anies Baswedan sebagai peluang untuk menunjukkan kekuatan dan relevansi di panggung politik. Anies, pada saat yang sama, ditinggalkan oleh para pengusung awalnya dan terancam tidak bisa maju pilkada.
ADVERTISEMENT
Jadi, ini pertemuan dua pihak yang sama-sama pahit: keduanya sama-sama ditinggalkan, keduanya sama-sama kesepian, dan kepentingan mereka bertemu dalam pilkada Jakarta. Pada sosok Anies, PDIP berpeluang membuktikan bahwa mereka masih bisa memenangi pertarungan politik besar, meskipun itu berarti harus melupakan sejarah. Ini hanya langkah yang didorong oleh insting untuk bertahan hidup dalam politik daripada kesetiaan pada prinsip-prinsip ideologis mereka.
Di pihak Anies, urusannya lebih simpel. Melalui PDIP, ia bisa maju pilkada dan menghidupkan peluang untuk kembali menjadi gubernur Jakarta, dan nanti maju lagi sebagai kandidat presiden.

Bagaimana Jika PDIP tidak Mengusung Anies?

Dengan melirik Anies, partai ini memperlihatkan isyarat bahwa ia kesulitan menemukan kader partai yang bisa didorong sebagai calon gubernur Jakarta. Ketidakmampuan mengusung kandidat yang kompetitif ini akan membuat PDIP terlihat lemah dan kehilangan daya saing dan itu akan menimbulkan perasaan tidak berdaya di dalam partai.
ADVERTISEMENT
Karenanya, dalam pragmatisme politik, mendukung Anies Baswedan memang menjadi pilihan paling realistis bagi PDIP untuk memperlihatkan kekuatan politiknya, meskipun langkah ini berisiko blunder juga. Basis massa Anies dalam pilkada sebelumnya sebagian besar berasal dari konstituen PKS, yang dikenal dengan militansi keagamaannya. PKS adalah peraih suara terbanyak di Jakarta dalam pemilu tahun ini.
Sekarang PKS berada di kubu KIM Plus yang mendukung Ridwan Kamil, dan partai ini menempatkan kadernya Suswono sebagai calon wakil gubernur. Ini sinyal bahwa PKS menarik dukungan mereka terhadap Anies. Mereka punya orang lain untuk didukung, yaitu kader partai mereka sendiri. Tanpa dukungan PKS, pemilih Anies kemungkinan besar akan merosot jauh dan PDIP akan kalah lagi.

Rekomendasi

Ada dua rekomendasi untuk PDIP. Pertama, tinggalkan Anies dan ikuti nasihat Bung Karno “Jasmerah”—jangan sekali-kali melupakan sejarah, kecuali Megawati mau durhaka kepada ayahnya. Mengusung Anies dapat merusak integritas partai di mata pendukung setianya, selain menumbuhkan persepsi bahwa PDIP bersedia mengorbankan prinsip demi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Kedua, PDIP sebaiknya memperkuat kaderisasi internal agar memiliki kandidat kuat dari dalam partai yang dapat diusung pada pemilihan-pemilihan di masa datang. Investasi dalam pengembangan kader yang mampu membawa visi dan nilai-nilai partai ke panggung politik akan memastikan bahwa PDIP tidak harus mengambil orang luar dan menjadikannya petugas partai. Apakah PDIP tidak bisa belajar dari kasus “petugas partai” sebelumnya?
Dalam jangka pendek, PDIP mungkin harus rela compang-camping. Namun, ini bisa dilihat sebagai pengorbanan strategis untuk menjaga integritas dan membangun kembali kekuatan internal partai. Dengan memilih untuk tidak mengkompromikan prinsip-prinsip ideologisnya demi keuntungan sesaat, PDIP dapat memperkuat posisi moralnya dan mempertahankan kepercayaan dari basis pendukung setianya. Ini akan memberi mereka keuntungan jangka panjang dalam dinamika politik yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Memang, dalam praktik politik oligarki, yang memprioritaskan kekuasaan di atas prinsip, langkah untuk merelakan kekuasaan demi mempertahankan integritas bisa menyengsarakan. Itu sebabnya semua partai politik lebih fokus pada pencapaian kekuasaan dan pengaruh segera, karena kekuatan dan akses ke sumber daya adalah tujuan utama. Jika mereka tidak berkuasa, mereka cepat-cepat merapat ke partai penguasa. Mengambil langkah yang lebih idealis, seperti merelakan kekuasaan di Pilkada Jakarta, bisa membuat PDIP terlihat lemah di mata para elite dan pesaing politik, dan mungkin menyebabkan hilangnya dukungan dari mereka yang lebih pragmatis dan oportunis.
Namun, merelakan kekuasaan dalam satu kontestasi bukan berarti kekalahan total. Ini bisa menjadi langkah untuk mempertahankan kredibilitas partai dan membangun kembali kekuatan untuk kontestasi di masa depan. PDIP dapat menggunakan waktu ini untuk memperkuat kaderisasi, merumuskan strategi yang lebih konsisten dengan ideologi partai, dan memperkuat hubungan dengan konstituen.
ADVERTISEMENT
Dalam politik, kemenangan jangka pendek tidak selalu sejalan dengan keberhasilan jangka panjang, dan mempertahankan prinsip selalu lebih bermartabat daripada melakukan langkah oportunistik untuk memaksakan kemenangan sementara.
Saya bermimpi seolah-olah partai politik di Indonesia, termasuk PDIP, mempertimbangkan elegansi dalam berpolitik.