Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Senyum dan Ketangguhan Ichlasul Amal
14 November 2024 16:53 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari AS Laksana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun 1998, ketika mahasiswa di Jogja turun ke jalan dalam gelombang reformasi dan mengubah kampus UGM menjadi panggung besar untuk menyuarakan turunnya Presiden Soeharto, ada satu sosok yang selalu bersiaga di belakang mereka. Ichlasul Amal, sang rektor. Sehari-hari ia murah senyum dan tidak pernah menampilkan diri sebagai simbol otoritas yang menakutkan. Ia hanya tahu di mana harus menempatkan diri dalam momen kritis ketika kampus harus menjadi penggerak perubahan: Ia mengambil perannya sebagai perisai, untuk menjaga para mahasiswa dari tekanan yang datang dalam bentuk penembakan dan penangkapan.
ADVERTISEMENT
“Polisi sangat represif pada waktu itu,” katanya, dan sambil tertawa ia menambahkan: “Tapi mereka takut jika saya datang.” Ia menceritakan peristiwa genting itu, ketika ia harus sering bolak-balik ke kantor polisi dan ke rumah sakit untuk memastikan para mahasiswa yang terluka atau ditahan mendapatkan perlakuan yang adil, dengan cara ringan saja, seolah-olah itu peristiwa sehari-hari, seolah-olah apa yang ia lakukan hanyalah tugas kecil yang kebetulan jatuh di pundaknya.
Kenyataannya, ia punya nyali dan keteguhan yang jauh lebih besar ketimbang sekadar menjalankan kewajiban formal. Ia tahu bahwa kampus, dalam momen kritis itu, harus menjadi benteng untuk memastikan bahwa suara-suara muda bisa diteriakkan tanpa rasa takut.
Nyali dan keteguhan sikap tentu bukan sesuatu yang muncul mendadak. Lahir di Jember pada 1942, Ichlasul Amal tumbuh di era ketika Indonesia muda bergulat dengan identitas dan masa depannya. Pilihan hidup begitu sempit setelah ia lulus dari UGM di tahun-tahun suram pasca-1965, dan jalan akademisnya adalah suatu kebetulan, bukan cita-cita yan ia pupuk sejak lama: tiba-tiba saja ada tawaran menjadi dosen karena kebutuhan mendesak.
Kampus membutuhkan tenaga pengajar setelah pemecatan banyak dosen yang dianggap terlibat dalam peristiwa G-30-S. Tiga orang ditawari. “Hanya saya yang mau,” katanya. Menjadi dosen pada masa itu adalah pilihan berat dan tanpa janji kesejahteraan. Tetapi di jalur itulah ia menemukan dedikasi yang kelak membuatnya menjadi salah satu akademisi yang dihormati di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Ia mengaku beruntung karena pada masa itu sangat mudah bagi sarjana Indonesia untuk melanjutkan studi ke luar negeri, dan ia melanjutkan kuliah masternya di Amerika Serikat, kemudian studi doktoral di Australia. Dan Australia memberinya kebahagiaan dan kesedihan sekaligus. Di sana ia bertemu mentor yang luar biasa bernama Herbert Feith, ilmuwan yang sangat mencintai Indonesia, dan hubungan mereka akan berlangsung panjang, sampai Ichlasul menjadi dekan dan sampai ia menjadi rektor. “Herbert Feith senang sekali tinggal di Jogja,” katanya. “Ia berpamitan ke saya ketika akan pulang ke Australia dan mengatakan akan kembali lagi.” Tetapi Herbert Feith tidak kembali lagi; ia meninggal mendadak di Australia.
Di Australia, Ichlasul juga harus menerima fakta bahwa putra keduanya, yang baru berusia SD, didiagnosis menderita leukemia. Dengan tanggung jawab akademik yang besar, ia harus bolak-balik dari kampus ke rumah sakit di Melbourne, yang jaraknya 24 kilometer dari tempat tinggalnya di Clayton, dekat Monash University. Setiap pagi ia mengemudi sendiri, sementara istrinya kadang-kadang harus naik kereta api ke rumah sakit. Obat-obatan yang harus dikonsumsi putranya banyak dan mahal, namun ia bersyukur karena layanan kesehatan di Australia menanggung hampir seluruh biaya. “Obat itu kadang ada 16 macam setiap pagi, bingung mau minum yang mana dulu,” kenangnya.
ADVERTISEMENT
Hampir setiap hari ia berkutat dengan buku-buku kuliahnya di rumah sakti sambil menunggui putranya. Ia harus tangguh sebagai mahasiswa, sebagai suami, dan juga sebagai ayah. Dan hidup memiliki caranya sendiri untuk menjadikannya orang tua yang tangguh. Putra keduanya itu akhirnya meninggal dunia di Indonesia, ketika kelas dua SMP.
Ketangguhan itulah yang ia bawa saat ia kembali ke kampus UGM. Sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (1988-1995), ia menyaksikan kampus menjadi pusat perlawanan intelektual. Di tingkat universitas, ada rektor Koesnadi Hardjasoemantri yang begitu dekat dengan para aktivis mahasiswa. Ichlasul Amal sendiri kemudian menjadi rektor dan situasi sedang genting—era lama sedang menuju akhir dan kekerasan terhadap mahasiswa bisa terjadi sewaktu-waktu. Surat Keputusan pengangkatannya ditandatangani oleh Presiden Soeharto, pemimpin yang kekuasaannya mulai goyah. Tetapi ia tahu bahwa perannya bukan untuk memihak kekuasaan, melainkan untuk menjaga kampus tetap menjadi ruang aman bagi anak-anak muda yang menyuarakan perubahan.
ADVERTISEMENT
Presiden Soeharto jatuh, BJ Habibie menjadi presiden di masa transisi, dan Ichlasul Amal ditawari menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan. Ia menolak. “Lebih baik saya meneruskan saja masa jabatan saya sebagai rektor,” katanya. Dan ia menjadi rektor di bawah empat presiden: Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati.
Pada masa pemerintahan Habibie, ia menyelenggarakan sebuah acara panel besar di kampus UGM, yang menjadi ajang untuk mendiskusikan pembentukan partai politik baru. Acara itu dihadiri oleh hampir 80 perwakilan, suatu hal yang sangat jarang terjadi, dan mungkin tidak akan pernah terjadi lagi.
Ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengunjungi UGM, Ichlasul harus mengambil keputusan spontan untuk membawa Gus Dur kembali ke bandara—dengan mobil satpam. Para mahasiswa pada waktu itu memprotes kedatangan presiden dan menghalangi pintu gerbang.
ADVERTISEMENT
Yang jauh lebih menegangkan adalah ketika Presiden Soeharto dijadwalkan berkunjung ke Universitas Gadjah Mada. Suasana kampus begitu tegang dan kerusuhan bisa meledak kapan saja. Soeharto adalah simbol kekuasaan Orde Baru yang ditentang oleh para mahasiswa. Dengan simpati kepada para mahasiswa, Ichlasul memutuskan berunding dengan mereka dan meminta agar kali ini Pak Harto diperlakukan sebagai tamu. “Anggap saja beliau tamu kita,” katanya. “Kalian masih bisa menyuarakan aspirasi kalian di lain waktu, tetapi hari ini, demi martabat dan reputasi UGM, saya minta kalian menahan diri.”
Tidak ada demo hari itu. Ia berhasil menjaga keseimbangan, dan menempatkan diri secara elegan di antara kobaran semangat mahasiswa dan tanggung jawab formalnya sebagai rektor.
Selepas dari jabatan rektor, ia dipilih menjadi ketua Dewan Pers (2003-2010).
ADVERTISEMENT
Hari ini, 14 November 2024, ia meninggal dunia, meninggalkan ingatan kepada mereka yang mengenalnya: tentang seorang ayah, seorang pengajar, dan seorang pelindung yang tahu di mana ia harus menempatkan diri.