Yang Fana adalah Waktu, Kebodohan Abadi

AS Laksana
Seorang sastrawan, pengarang, kritikus sastra, dan wartawan yang aktif menulis cerita pendek di media cetak nasional
Konten dari Pengguna
9 Februari 2017 20:16 WIB
comment
17
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari AS Laksana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
A.S Laksana (Foto: Herun Ricky/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
A.S Laksana (Foto: Herun Ricky/kumparan)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Cara terbaik bagi sebuah negeri untuk ancur-ancuran adalah dengan menjadikan orang-orangnya berantam tiap hari dan membiarkan mereka tetap bodoh. Di dalam masyarakat yang seperti itu, seorang kepala pemerintahan bisa bercokol seperti berhala yang tampan dan kharismatik, dan penyedia nasi bungkus adalah sesembahan yang ditaati segala perintahnya.
Dan kita sudah melakukannya, dengan cara akurat, untuk menjadi semakin berisik dari waktu ke waktu. Setiap orang rajin mengurusi semua hal kecuali mengurus diri sendiri. Para pengidap paranoia melihat palu-arit di mana-mana dan berpikir bahwa itu tanda-tanda kiamat.
Banyak dari mereka adalah sarjana teori konspirasi, yaitu sebuah teori yang mampu menjelaskan bahwa Bruce Lee sebetulnya tidak mati tetapi diculik UFO, bahwa kaum komunis dan liberalis dan Yahudi sedang membangun kerjasama untuk meruntuhkan Kesultanan Banten, dan bahwa penemu benua Amerika adalah Tuhan yang Mahaesa.
ADVERTISEMENT
Di bidang kepurbakalaan, para sarjana teori konspirasi bisa kita minta untuk membuat penjelasan bahwa ras manusia bukan bermula dari Afrika, melainkan dari bumi pertiwi.
Saya senang kepada para pakar teori konspirasi. Mereka sama dengan mobil tua; semua onderdilnya mengeluarkan bunyi kecuali klakson.
Tentu saja saya juga bagian dari keriuhan mereka. Saya senang berceloteh di media sosial dan kadang-kadang membikin jengkel orang-orang fanatik garis keras. Anda tahu orang-orang fanatik garis keras? Mereka adalah kaum yang gemar mendoakan orang-orang lain agar ditimpa azab dari Tuhan.
Ada beberapa dari mereka—yang saya kenal hanya di media sosial—mendoakan semoga saya diazab oleh Tuhan. Kepada salah seorang, saya pernah mengetik jawaban, “Saya heram sekali kenapa anda sejahat itu. Padahal saya lebih senang jika semua orang bisa menjalani kehidupan yang baik, dan menjadi gemar membaca buku sehingga mampu mengembangkan kecerdasan.”
ADVERTISEMENT
Tapi mereka memang begitu. Jika tidak senang pada orang lain, mereka meminta tolong kepada Tuhan agar menjatuhkan azab kepada orang itu. Kalaupun tidak mendoakan, mereka biasanya mengungkapkan rasa ingin tahu mereka: “Saya ingin tahu azab apa yang akan anda terima dari Allah.”
Apa boleh buat, kita tidak bisa melarang orang-orang lain mengembangkan hobi. Ada yang punya hobi memancing, ada yang berkorespondensi, dan ada yang berdoa. Pak Abdul Mantan Garuda Nusantara mengembangkan hobi bertanya dan berdoa di media sosial—selain mengingatkan dan memberi nasihat. Kita tidak bisa melarangnya.
Maka, biarkan saja jika ada orang-orang yang mengembangkan hobi meminta azab. Mereka warga negara biasa seperti kita, dengan rasa bahagia yang sepele bentuknya, yaitu jika Tuhan sudi menghadiahi orang yang mereka benci penyakit rematik, atau cacingan, atau trakhom. Atau minimal Tuhan mau mengubahnya menjadi tiang garam.
ADVERTISEMENT
Yang tidak boleh dibiarkan adalah ketika mereka sudah mulai melakukan upaya keras untuk mengubah negeri kepulauan ini menjadi gurun pasir dan ngotot mendirikan kekhalifahan dan menolak hukum negara karena itu bukan hukum bikinan Tuhan.
Cukup itu saja yang perlu dilakukan oleh negara. Jika pengelola administrasi negara ini mau berbuat lebih, misalnya mengupayakan pelayanan kesehatan yang layak untuk semua warga negara, kita bersyukur. Kepala negara membagi-bagikan kartu pintar untuk warga negara kurang mampu, kita berterima kasih.
Dengan kartu itu orang-orang miskin bisa bersekolah, meskipun mungkin sulit menjadi pintar. Negara ini tidak mampu menyelenggarakan pendidikan yang membuat para siswanya senang membaca buku. Dan saya tidak yakin Pak Presiden akan membuat kebijakan politik untuk menjadikan warga negaranya gemar membaca.
ADVERTISEMENT
Saya pikir orang sulit menjadi pintar jika tidak memiliki kegemaran membaca buku. Memang orang tetap bisa terampil tanpa membaca—misalnya memanjat pinang, menebang pohon, atau bermain politik—tetapi untuk menjadi pintar orang perlu membaca, sebab dari sana berlangsung pemerolehan ilmu dan pengetahuan.
Masalahnya, apakah penting membuat warga negara menjadi cerdas? Tidak, bodoh dan ancur-ancuran tidak apa-apa, yang penting NKRI harga mati. Lagipula tidak ada salahnya mempertahankan kebodohan. Itu mempertahankan keabadian.
Mengutip frase Sapardi Djoko Damono: “Tapi yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Tentu saja, Bos! Kebodohan abadi. Ia adalah warisan luhur umat manusia—diturunkan pada mulanya oleh sepasang remaja yang diciptakan dari gumpalan lempung.