Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kontestasi Diskursus dalam Sejarah Perjalanan Ludruk
26 Maret 2023 20:41 WIB
Tulisan dari Asa Aisara A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah Evaluasi dari Bacaan “Ludruk Jawa Timur dalam Pusaran Zaman”
ADVERTISEMENT
Periode Awal
Berdasarkan konsensus perkumpulan ludruk se-Jawa Timur pada tahun 1968, ludruk pertama kali dirintis oleh Pak Santik. Ia adalah seorang petani dari Kabupaten Jombang yang terkenal dengan wataknya yang humoris. Pak Santik kemudian mencoba peruntungan nasib pada tahun 1907 dengan mengamen yang diiringi oleh musik lisan atau musik mulut. Pekerjaan tersebut ia teruskan bersama pak Amir dengan membawakan musik kendang. Selanjutnya, pak Santik dan pak Amir mengajak pak Pono dan membentuk kelompok mengamen untuk menarik perhatian masyarakat.
Pada awal kemunculan ludruk oleh Pak Santik, istilah yang populer adalah lerok. Lerok merupakan variasi kata lorek yang merujuk pada para pengamen dengan coretan-coretan muka agar terlihat lucu dan tidak dapat dikenali. Meskipun begitu, terdapat beberapa sumber yang menyatakan eksistensi ludruk pada abad ke-13. Pada saat itu, ludruk yang dikenal sebagai ludruk bandhan merupakan atraksi yang menujukkan aksi-aksi penyiksaan diri (self-hurting) sekaligus bagian dari sebuah ritual. Ludruk bandhan menyajikan cerita mengenai perjuangan atas kolonialisme dan kekuatan supernatural yang berasal dari nenek moyang. Ludruk bandhan kemudian berkembang menjadi ludruk lerok yang menyematkan musik dan nyanyian dengan tema-tema perjuangan atas kolonialisme.
ADVERTISEMENT
Periode Kebangkitan Nasional
Lerok sebagai pertunjukan seni menghasilkan habitus baru: pengadaan pertunjukan seni sebagai pelengkap kegiatan acara (hajatan) sebagai hiburan bagi penyelenggara dan tamu acara. Jika pada awalnya lerok merupakan pertunjukan seni keliling, lerok pada periode Lerok Besut dan Srudinan menjadi pertunjukan halaman (teater halaman). Dengan dibentuknya tokoh yang bernama Besut, teater halaman lerok menyajikan sebuah cerita atau lakon yang kemudian bersambung. Lerok berlakon kemudian berkembang dalam rentang waktu tahun 1920 hingga 1930-an. Dalam lerok Besut, lakon-lakon yang diangkat adalah cerita keseharian Pak Besut yang merantau dengan nada-nada kehidupan di bawah penjajahan kolonial Belanda.
Periode Wawasan Boedi Oetomo
Teater Lerok Besut yang dimulai dan dipimpin oleh Pak Santik, kemudian dilanjutkan oleh Pak Bono setelah tahun 1930-an. Perkembangan Ludruk di Jombang setelah itu ditandai dengan adanya perkumpulan ludruk Rukun Agawe Sentosa. Berikutnya, perkumpulan ludruk didirikan di berbagai daerah di Jawa Timur hingga tahun 1940-an. Terdapat kelompok sandiwara keliling yang dikenal dengan istilah nobing atau teater caravan di sekitar daerah Jombang dan Mojokerto sekitar tahun 1930-an. Lerok tobongan atau gedongan, yakni seni pertunjukan keliling berkarcis, juga berkembang di Malang.
ADVERTISEMENT
Periode Zaman Penjajahan Jepang
tahun 1942 hingga 1943, penjajah Jepang memanfaatkan perkumpulan sandiwara ludruk sebagai media propaganda dalam rangka menancapkan kekuasaannya di Nusantara. Seperti pada zaman kolonial Belanda, setiap perkumpulan ludruk yang akan melakukan pementasan wajib mengajukan izin pementasan beserta sinopsis lakon yang akan ditampilkan. Akan tetapi, arus balik yang terjadi pada penjajahan Jepang adalah pemberian tugas pada perkumpulan lerok untuk mendukung militer Jepang dalam mencapai kemenangan. Menariknya, periode Zaman Jepang masih satu era dengan perjuangan dokter Soetomo yang mendirikan Partai Indonesia Raya dan pembentukan Ludruk Organizatie oleh cak Durasim. Ludruk Organizatie sangat terkenal dalam sindirannya kepada pemerintah Jepang. Hal tersebut berujung pada penangkapan cak Durasim.
Jepang memiliki kegiatan propaganda yang bergerak dalam bidang kesusasteraan dan kesenian, yakni Keimin Bunka Shidoso. Melalui Keimin Bunka Shidoso, Jepang menetapkan perkumpulan lerok atau ludruk sebagai alat propaganda Jepang. Seniman ludruk didorong oleh militer Jepang untuk menciptakan berbagai lakon dengan narasi yang menceritakan kejahatan kompeni atau V.O.C. sebagai penindas rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Periode Sesudah Proklamasi
Zaman Pemerintahan Presiden Soekarno 1945 – 1950
Istilah sandiwara ludruk menjadi populer penggunaannya di daerah Surabaya, Jombang, dan Mojokerto. Di sisi lain, daerah Malang masih menggunakan istilah sandiwara lerok. Perkembangan sandiwara ludruk sesaat setelah proklamasi kemerdekaan diwarnai oleh situasi Agresi Belanda dan perang-perang kemerdekaan lainnya. Kondisi sosial di Jawa Timur sangat mempengaruhi perkembangan Ludruk Jawa Timur. Beberapa peristiwa penting antara lain "Perang Kemerdekaan I" tahun 1947, "Pemberontakan PKI di Madiun" tahun 1948, “Perang Kemerdekaan II” tahun 1945, dan "Peristiwa Pahlawan 10 November 1949".
Kurun Waktu 1950 – 1965
Secara makro, kondisi sosial-politik dunia dalam kurun waktu 1950 hingga 1965 dipenuhi oleh perang ideologi antara Blok Barat yang menganut kapitalisme an Blok Timur yang menganut komunisme. Tak dapat dipungkiri, kondisi tersebut mempengaruhi iklim kelangsungan perkumpulan seniman ludruk di Jawa Timur. Terlebih, terdapat pemilu 1955 yang mana setiap partai berusaha untuk melakukan kampanye dan merebut simpati masyarakat.
ADVERTISEMENT
Partai Komunis Indonesia (PKI) mendirikan perkumpulan ludruk yang terafiliasi dengan Organisasi Massa Lembaga Kebudayaan Rakyat (Ormas LEKRA). Melalui ekspresi seni, politik diusung secara teknis dengan balutan budaya nasional. Sekali lagi, estetika rakyat kembali ditukar dengan hegemoni berbasis monopoli atas sebuah institusi. Merujuk pada Peacock (1968), ludruk yang berafiliasi dengan LEKRA/PKI lebih banyak menyajikan lakon yang menggambarkan perjuangan kaum buruh yang mana kaum tani proletar gigih dalam memperjuangkan nasib kaum buruh dengan menentang kelas atas. Sebagai kontras dari LEKRA/PKI, perkumpulan-perkumpulan ludruk yang berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Nasional mementaskan kidungan yang sangat nasionalisme dengan ide-ide perjuangan pemembasan Irian Barat.
Periode Masa Vakum 1965 – 1968
Meletusnya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) membuat pementasan sandiwara ludruk terhenti total. Suasana di Jawa Timur sangat sepi dan penuh ketakutan (suasana tata tintrim). Hal tersebut juga terjadi dalam lingkungan kampus-kampus yang tidak ada kegiatan perkuliahan. Para mahasiswa alih-alih membentuk berbagai organisasi kemahasiswaan dan turun ke jalan.
ADVERTISEMENT
Dalam menanggapi kondisi pementasan ludruk yang stagnan, pihak Kodim di Jawa Timur berusaha untuk membangkitkan kembali ludruk dengan memberikan izin pentas bagi para perkumpulan ludruk yang tidak terafiliasi dengan gerakan G30S. Pementasan ludruk kemudian dilakukan di bawah pengawasan TNI dan Polri. Tidak lama setelah itu, muncul istilah Seniman Ludruk Santiaji, yakni seniman ludruk yang diizinkan untuk tampil selama tidak melakukan kegiatan politik secara praktis di atas panggung ludruk.
Periode Orde Baru
Ludruk Bersama TNI dan Polri
Soeharto sebagai presiden setelah Soekarno berupaya untuk menggencarkan pembangunan Indonesia melalui pemahaman developmentalisme. Oleh karena itu, era kepemimpinan Soeharto lekat dengan istilah pembangunan atau Zaman Orde Baru. Sebagai upaya penataan, perkumpulan ludruk dibina secara efektif. Dalam periode tahun 1975 hingga 1984, perkumpulan ludruk mengubah bentuk organisasinya menjadi ludruk profesional dan independen. Sehubungan dengan hal tersebut, banyak perkumpulan ludruk yang kemudian memisahkan diri dari pembinaan TNI dan membentuk perkumpulan dengan seorang pembina atau majikan (pemilik modal) yang dapat mendanai kelangsungan pementasan.
ADVERTISEMENT
Perkembangan Ludruk Majikan
Pemisahan perkumpulan ludruk dari TNI dan Polri berkenaan dengan berkembangnya bentuk pengelolaan perkumpulan ludruk yang dikelola oleh seorang majikan atau pengusaha. Perkumpulan ludruk tidak lagi banyak berbentuk organisasi yang sepenuhnya dikelola oleh seniman. Kemudian, perkumpulan-perkumpulan ludruk barulah dianggap sah apabila terdapat nomor induk yang diterbitkan oleh Kasi Kesenian, Dinas P&K Tingkat Kota dan Kabupaten.
Kemajuan dalam penataan perkumpulan ludruk membuat perkumpulan-perkumpulan ludruk konvensional menjadi rapuh. Secara sosiologis, seniman-seniman ludruk tidak lagi memiliki kesadaran bersama (collective consciousness) yang mengikat masing-masing indvidu di bawah induk organisasinya sebagai kelompok. Adanya praktik “comot anggota” dalam pembentukan tim karawitan juga tidak diiringi dengan pengadaan pelatihan seni pertunjukan yang baik. Pada akhirnya, seni ludruk semakin ditinggalkan oleh penonton setianya sebagai tanggapan dari menurunnya kualitas pementasan ludruk.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangan sejarah, terdapat kristalisasi waktu yang menyebabkan gugurnya perkumpulan-perkumpulan ludruk yang kurang bermutu. Pada saat yang sama, pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang mana seniman ludruk dilarang untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang sedang “membangun negara”. Hal tersebut terwujud dari penataran “Sosio Drama” yang mana para seniman ludruk dibina untuk menghasilkan wacana mengenai keberhasilan pembangunan Indonesia. Mereka dilatih untuk menyajikan kidungan kepada penonton yang bernuansa program-program pemerintah, seperti program Keluarga Berencana, Program Pendidikan Sembilan Tahun, dan lain sebagainya.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan modernisasi, pemerintah berhasil membangun fasilitas listrik ke desa-desa di Indonesia. Kehadiran televisi sebagai produk modern merupakan sesuatu yang tidak dapat ditanggapi secara cepat oleh para seniman ludruk yang menyebabkan sebuah disrupsi: kehidupan listrik dan teknologi di desa bersamaan dengan kematian pertunjukan ludruk. Dalam menanggapi disrupsi yang terjadi akibat televisi, terdapat pembinaan ludruk secara kontekstual, mulai dari peningkatan kualitas sumber daya manusia hingga penyajian pertunjukan. Salah satu bentuk dari penataan tersebut adalah penyelenggaraan Festival Tahunan Ludruk di Jombang yang mendorong seniman-seniman kreatif.
ADVERTISEMENT
Sejarah Ludruk RRI Surabaya
Sandiwara Ludruk Stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) berperan secara krusial dalam sejarah ludruk di Jawa Timur, terutama pasca peristiwa G30S. Saat itu, hanya Ludruk RRI yang mampu mengudarakan hiburan bagi masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Ludruk RRI kemudian mengupayakan posisi wanita dalam memerankan wanita ludruk. Dengan begitu, Ludruk RRI juga menggalakan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam lingkungan seni ludruk.
Pada zaman Orde Baru yang mana berbagai perkumpulan ludruk beroperasi di bawah TNI dan Polri, Ludruk RRI memunculkan tokoh-tokoh penting dalam sejarah perkembangan ludruk di Indonesia. Mereka adalah cak Kartolo, Ning Tini, cak Sidik Wibisono, dan cak Bandi Wibowo. Meningkatnya popularitas perkumpulan Ludruk RRI seiring dengan terbangunnya opini positif mengenai ludruk di mata masyarakat Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Identitas Sandiwara Ludruk
Ludruk sebagai Teater Tradisional
Sebagai teater tradisional, ludruk memiliki ciri khas yang mana terdapat improvisasi pada setiap lakonnya karena aktor tidak dipersiapkan secara kaku untuk menghafal naskah. Kemudian, peran wanita pada pertunjukan ludruk umumnya dimainkan oleh laki-laki yang disebut sebagai thandak ludruk. Nyanyian yang dilantunkan pada pertunjukan ludruk merupakan kidungan (gandhangan) dengan musing gamelan (gendhing jula-juli) sebagai pengiring. Iringan musik tersebut berlarak slendro, laras pelog, atau kedua-duanya dalam satu waktu. Terdapat tari pembukaan yang disebut tari ngrema dengan berbagai gaya, yakni gaya Surabayan, Jombangan, atau Ngremo Putri Malangan.
Ludruk sebagai Teater Rakyat
Merunut dari sejarahnya, ludruk lahir dan berkembang di masyarakat perdesaan atau pedalaman. Ciri khas ludruk sebagai teater rakyat adalah bentuk lakon yang menceritakan kehidupan sehari-hari masyarakat sesuai dengan realitas sosial yang sedang terjadi pada saat pertunjukan tersebut digelar.
ADVERTISEMENT
Musik gamelan yang diiringkan bersama musik jula-juli merepresentasikan lagu rakyat jelata di kampung perkotaan maupun desa-desa. Kidungan yang dinyanyikan bertemakan kerakyatan Indonesia. Kostum yang digunakan oleh aktor atau seniman ludruk juga menggambarkan kehihudpan rakyat Jawa Timur yang sangat sederhana. Selain itu, bahasa yang digunakan dalam pementasan ludruk adalah bahasa-bahasa Jawa atau bahasa pribumi.
Ludruk sebagai Teater Hiburan
Hiburan dalam konteks teater ludruk dilihat melalui identitas ludruk sebagai kitsh, yakni teater yang dirancang sebagai komoditas komersial untuk para penontonnya. Dengan begitu, pertunjukan ludruk bertujuan untuk memberi kepuasan selera populer kepada para penontonnya seiring dengan perkembangan zaman.
Ludruk sebagai Teater Sosial
Secara umum, seniman-seniman ludruk lebih banyak datang dari seniman alam yang tidak memiliki kesempatan untuk studi formal yang relevan dengan profesi yang mereka lakukan. Belum ada institusi pendidikan secara khusus yang menyediakan sekolah atau akademi ludruk. Oleh karena itu, para seniman umumnya berasal dari kalangan bawah dan lingkungan petani atau buruh. Selain itu, terdapat pula seniman-seniman ludruk yang melakukan pementasan sebagai pekerjaan selingan.
ADVERTISEMENT
Diskursus dan Hegemoni dalam Ludruk
Awal perkembangan ludruk menampilkan sebuah pola yang prominen dalam narasi lakonnya, yakni penggambaran kondisi sosial-budaya masyarakat Jawa Timur sebagai cermin atas realitas sosial yang terjadi pada masanya. Oleh karena itu, ludruk menjadi sebuah media representasi masyarakat sekaligus penyebaran kritik-kritik atas pemerintah yang telah menyebabkan ketidakadilan secara sosial dan ekonomi. Di samping alur cerita lakon, ludruk terkenal atas selipan humor-humor yang mengambang antara pujian dan hinaan.
Kekritisan lakon-lakon yang ditampilkan oleh perkumpulan ludruk tidak jarang ditentang oleh pihak-pihak yang berkuasa, terutama sebagai upaya kelas dominan untuk mempertahankan kekuasaannya. Maka dari itu, pemerintah kolonial Belanda melakukan serangkaian upaya untuk membatasi pergerakan perkumpulan ludruk supaya intensitas penampilan yang dilakukan oleh mereka pun berkurang. Pemerintah kolonial Belanda juga menyadari kemungkinan penyebaran semangat-semangat nasionalisme dan revolusioner melalui ludruk.
ADVERTISEMENT
Kedatangan Jepang ke Indonesia pada awalnya membaawa angin segar bagi eksistensi ludruk yang mana ludruk mengalami legalisasi ulang (relegalization). Meskipun penjajah Jepang masih melakukan hal yang serupa dengan pemerintah kolonial Belanda, yakni melakukan pembatasan dengan sistem pengajuan izin tampil kepada pemerintah, pemerintah Jepang berupaya “memberdayakan” perkumpulan ludruk dengan mengatur sedemikian rupa agar narasi-narasi yang ditampilkan dalam pertujukan ludruk membuat masyarakat membangun sebuah ide yang secara tidak sadar disepakati oleh mereka.
Meminjam perspektif Aschroft (2001), transformasi merupakan apropriasi wacana dan praktik baru yang disengaja oleh aktor lokal—dalam konteks ini adalah seniman ludruk—untuk menciptakan perubahan sosial secara strategis dan fleksibel. Dengan begitu, pemahaman yang berwujud ideologi dapat diterima oleh masyarakat dalam cara yang paling laten. Sebuah transformasi berkaitan erat dengan proses hegemoni yang terjadi dalam masyarakat. Pada saat yang sama pula, hegemoni tidak terlepas dari diskursus (discourse) yang digaungkan sebagai sebuah “kebenaran umum”.
ADVERTISEMENT
Dalam membahas diskursus, Foucault menyampaikan bahwa Suatu kekuatan dalam wacana menghasilkan pengetahuan yang menjadi dasar “kebenaran”. Kekuasaan dan pengetahuan merupakan dua unsur yang dialektis, yang mana kekuasaan mempengaruhi pengetahuan dan pengetahuan mempengaruhi eksistensi kekuasaaan secara simultan. Melalui itu pula, kebenaran “dibentuk” melalui diskursus oleh pihak-pihak tertentu atas orang lain yang tidak sadar bahwa perilaku dan konsepsi dirinya telah dikuasai dan diatur oleh segelintir orang di luar dirinya. Jika dalam konteks keagamaan diskursus merupakan teks-teks yang dianggap memiliki kuasa dalam wujud kitab suci, lakon dan narasi yang dipertunjukkan dalam pementasan ludruk merupakan salah satu diskursus dalam konteks sosial.
Selain konteks sosial, bukan hal yang tidak mungkin apabila diskursus yang ditampilkan dalam pertunjukan ludruk masuk ke dalam konteks politik. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya “pertarungan” kekuasaan penjajah Jepang terhadap kolonial Belanda yang berusaha menarik perhatian rakyat melalui gambaran-gambaran kemenangan Asia Timur dan penderitaan yang telah ditimbulkan oleh kolonial Belanada. Kemudian, Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai golongan sayap kiri menggunakan ludruk sebagai upaya infiltrasi ideologi komunis ke dalam masyarakat, khususnya masyarakat dari golongan petani yang mana upaya tersebut membentuk sebagian besar eksistensi pertunjukan ludruk. Di sisi lain, para nasionalis dari golongan sayap kanan berusaha mengimbangi PKI yang gencar menanamkan kekuasaannya di Indonesia atau Jawa Timur secara spesifik.
ADVERTISEMENT
Pasca gerakan G30S, Soeharto memanfaatkan pertunjukan ludruk dalam menyematkan diskursus berbentuk propaganda-propaganda program pembangunan ke dalam lakon yang ditampilkan oleh para seniman ludruk. Diskursus menghasilkan pengetahuan dan mengkonstruksi para subjek diskursif dalam latar sejarah tertentu sekaligus menciptakan operasi kekuasaan. Selain itu, operasi kekuasaan tersebut bersirkulasi bukan dari atas ke bawah (top-down) atau represif, melainkan datang dari berbagai arah. Penyebaran propaganda secara horizontal (dari anggota masyarakat ke anggota yang lain) dan larangan untuk mengkritik pemerintah yang saat itu sedang berkuasa pada hakikatnya telah mengerdilkan tujuan awal dari eksistensi ludruk, yakni sebagai cermin atas realitas sosial masyarakat dan alat untuk menyampaikan pandangan kritis mengenai suatu isu. Pada akhirnya, pertunjukan ludruk tidak lain daripada sarana penyebaran diskursus yang sarat akan kepentingan politik dalam rangka untuk memperoleh maupun mempertahankan kekuasaan atas masyarakat.
ADVERTISEMENT
Terdapat keterkaitan yang kuat antara diskursus, kebenaran umum, dan hegemoni, terutama dalam aspek relasi dan operasional kekuasaan melalui budaya dan pengetahuan moral. Menurut Gramsci (2006) dalam Setiawan, I., & Sutarto. (2014), hegemoni adalah bentuk kekuasaan yang menekankan pada kepemimpinan intelektual, budaya, dan moral, yang mana kepentingan bersama diartikulasikan oleh penguasa secara ekonomis maupun ideologis untuk menciptakan kesepakatan umum dan blok historis yang mendukung otoritas rezim.
Dengan cara-cara yang persuasif dalam rangka menggiring kelompok sosial untuk memberikan persetujuannya kepada kelompok dominan atas penguasaan terhadap dirinya, hegemoni menggunakan penguasaan persepsi dan intelektual. Oleh karena itu, pertunjukan ludruk menjadi alat strategis bagi pihak-pihak yang berusaha mendominasi masyarakat karena sifat ludruk yang “tidak serius” dan mengandung banyak humor. Atmosfer yang ditimbulkan dalam pertunjukan ludruk membuat penonton merasa bergembira, sehingga mereka secara tidak sadar menerima-menerima sisipan wacana politis dan penuh ideologis. Lebih jauh lagi, masyarakat secara tidak sadar menerima atas posisinya yang tertindas atas kelompok dominan yang ingin memperoleh kontrol diri mereka. Kekuatan hegemoni yang sangat halus membuatnya bersifat tidak pernah stabil. Akibatnya, perlu negosiasi-negosiasi yang terus-menerus dipulihkan untuk meredam perlawanan kelas sosial lain dalam operasinya. Saat hegemoni tidak lagi menunjukan hasil yang diharapkan, kelas dominan kemudian mempraktikan kekuatan koersif. (AAA)
ADVERTISEMENT
Referensi
Adlin, Alfathri. (2016). Michel Foucault: Kuasa/Pengetahuan, (Rezim) Kebenaran, Parrhesia. Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, 1(1), 13–26. https://doi.org/10.15575/jaqfi.v1i1.1694
Jalal, M. (2022). Periodeisasi Perubahan Potret Perjalanan Seni Tradisional Ludruk. Biokultur, 11(2), 112–124. https://doi.org/10.20473/bk.v11i2.40352
Kamuda, P., & Wrihatini, N. (2018). Humor in Ludruk: Between Insults and Compliments. IOP Conference Series Earth and Environmental Science, 175(1), 1–4. https://doi.org/10.1088/1755-1315/175/1/012118
Setiawan, I., & Sutarto. (2014). Transformation of Ludruk Performances: From Political Involvement and State Hegemony to Creative Survival Strategy. Humaniora, 26(2), 187–202. https://doi.org/10.22146/jh.5241
Supriyanto, H. (2018). LUDRUK JAWA TIMUR DALAM PUSARAN ZAMAN. Malang: Beranda.