Konten dari Pengguna

Dimensi Manusia dalam Pembangunan

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
22 Januari 2023 8:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim melambaikan tangan saat melakukan pertemuan di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (9/1/2023). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS (via kumparan.com)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim melambaikan tangan saat melakukan pertemuan di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (9/1/2023). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS (via kumparan.com)
ADVERTISEMENT
Judul tulisan ini adalah judul buku kumpulan beberapa opini Soedjatmoko diterbitkan oleh LP3ES tahun 1983. Di dalamnya terkandung 11 tulisan Soedjatmoko di berbagai media di dalam dan luar negeri, termasuk makalah seminar nasional/internasional.
ADVERTISEMENT
Mengapa saya jadi tertarik membaca ulang buku ini? Hal ini diingatkan oleh YAB Dato’ Seri Anwar Ibrahim (DSAI), Perdana Menteri Malaysia yang baru, pada acara Leadership Lecture di CT Corps, 9 Januari 2023. Buku tersebut pernah saya baca di sekitar tahun 1986, tetapi tentunya sudah tidak ingat secara detail. Seusai pidato PM DSAI saya cari di rak buku untuk dibaca ulang, sayang tidak ketemu. Akhirnya saya beli secara online. Alhamdulillah ada.
Memang DSAI tidak hanya menyebut Soedjatmoko yang menjadi inspirasinya, disebut juga tokoh-tokoh pergerakan nasional termasuk sastrawan dan budayawan. Disebutnya nama-nama besar seperti Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Natsir, Armijn Pane, Asrul Sani, Sutan Takdir Alisyahbana dan Buya Hamka. Ternyata DSAI mengikuti jejak ibunya yang sering membaca buku-buka karya para pemikir Indonesia.
ADVERTISEMENT
Jadi wajar DSAI hafal betul buku-buku pemikiran para pejuang Indonesia. Sehingga banyak orang mengira DSAI pernah sekolah di Indonesia. Katanya, “saya tidak pernah sekolah di Indonesia, tetapi sering berdiskusi di Diponegoro 16, kantor PB HMI”.
DSAI sangat terinspirasi dengan buku kumpulan tulisan Soedjatmoko tentang “Dimensi Manusia Dalam Pembangunan”. Dalam pidatonya sering menekankan apa makna pembangunan dan juga demokrasi bila justru tidak mengangkat harkat derajat manusia secara keseluruhan. Bukan sekedar milik orang perorang atau kelompok. Disebutnya cukup sering tentang “democracy accountability”.
Apakah hasil demokrasi itu benar-benar bermanfaat? Hal ini tentunya bukan kasus satu dua negara, tetapi umum di hampir seluruh dunia, termasuk kampiun demokrasi USA. Sangat tegas DSAI menekankan bahwa “humanity is limitless” juga “humility”. Humanity dan humility tidak bisa dipisah-pisahkan.
ADVERTISEMENT
DSAI menjelaskan bahwa memang DSAI pernah dipenjara, mendekam di ruang sempit. Tapi DSAI merasa bahwa hal itu masih jauh lebih ringan daripada penderitaan rakyat. Sepertinya penderitaan rakyat itu ternyata tidak saja di Indonesia, tetapi juga di negeri jiran. Sering masyarakat hanya diperlukan ketika Pemilu untuk mendulang suara. Para wakil rakyat yang akhirnya menjadi anggota DPR atau DPD mulai sibuk dengan urusannya sendiri, umumnya. Semoga Pemilu 2024 bukan sekedar ajang pesta demokrasi, lalu lupa implementasi.
Soedjatmoko sangat menekankan esensi manusia dalam pembangunan. Apapun yang dikerjakan dalam pembangunan akan bertumpu pada manusia baik sebagai subjek maupun sebagai objek atau tujuan. Kemerdekaan yang telah dicapai tentunya harus diisi dengan program-program pembangunan untuk meningkatkan harkat derajat bangsa Indonesia. Kesejahteraan ekonomi, sosial, serta kebebasan individu bisa terjamin.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian hasil dari pembangunan itu ada yang tangible seperti kenaikan income per kapita, ada juga yang intangible seperti kebahagiaan. Namun kedua indikator itu saling berkaitan dan mempengaruhi.
Ketika Soedjatmoko membahas tentang pentingnya daya cipta dan daya kreasi, dimulai dengan pembangunan ekonomi. Kemudian masuk ke isu pentingnya ilmu pengetahuan yang tidak ditawar-tawar lagi. Disebutnya bahwa Indonesia harus masuk ke dalam revolusi ilmu pengetahuan. Tidak lagi mempersoalkan terlalu jauh efeknya terhadap kebudayaan.
Memang tidak tertutup bahwa perubahan akibat ilmu pengetahuan akan ada kelompok terpinggirkan. Hal itu karena pola pikir yang tidak mau berubah. Untuk itu Soedjatmoko menegaskan pendidikan perlu diajarkan kesiapan-kesiapan daya pandang terhadap perubahan.
Saya merasa bahwa apa yang diangkat Soedjatmoko sejak 50an tahun yang lalu itu tetap relevan untuk saat ini. Memang jenis teknologinya yang berbeda. Dan itupun hasil dari revolusi ilmu pengetahuan. Bila saat itu, Soedjatmoko memberi contoh permesinan bahkan otomasi dalam industri.
ADVERTISEMENT
Saat ini memang lebih dahsyat lagi, yakni disrupsi teknologi. Dalam konteks ini, Rhenald Kasali, sering menekankan bahwa kuncinya adalah kemauan untuk berubah (change). Industri besar yang sudah lama menguasai pasar, bisa saja disalib oleh perusahaan kecil yang mau berubah dan “agil”. Agility yang saat ini menjadi jargon, dalam bahasa saat itu sering diingatkan Soedjatmoko.
Kelebihan Soedjatmoko selain sangat pro terhadap perubahan, dia juga selalu mengingatkan pentingnya budaya bangsa. Diberinya contoh Jepang yang ketat dengan budaya tradisional-agraris, tetapi gencar membangun ilmu pengetahuan untuk industri. Intinya, terlihat dalam pemikiran Soedjatmoko, bahwa kekuatan internal (inner strength) adalah modal utama dalam kemajuan ekonomi. Bukan berupa bantuan-bantuan yang bisa meninabobokan.
Prediksinya dengan kekuatan internal, SDM, kebudayaan, penguasaan ilmu pengetahuan bahwa India dan China akan menjadi negara maju. Padahal pernyataan itu dibuat tahun 1961. Dan kita bisa menyaksikan saat ini tentang kemajuan pesat kedua negara ini.
ADVERTISEMENT
Ada “message” yang bisa kita tangkap dari tulisan-tulisan Soedjatmoko, yakni pentingnya kemanusiaan (humanity dan humality), kebudayaan sebagai salah satu “inner strength”, kreativitas, penyelenggaraan kelembagaan negara, dan penguasaan ilmu pengetahuan.
Semua unsur itu akan menjadi peubah bebas (independent variable) dan pertumbuhan ekonomi (economic growth). Dan pertumbuhan itu tidak lain adalah untuk mensejahterakan masyarakat. Wajar bila YAB Dato’ Seri Anwar Ibrahim sangat menggandrungi pemikiran Soedjatmoko yang tidak lekang dengan waktu.