Indonesia Feeds The World

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
Konten dari Pengguna
6 Agustus 2022 9:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Indonesia Feeds The World. Foto: Dok. penulis @a.saefuddin
zoom-in-whitePerbesar
Indonesia Feeds The World. Foto: Dok. penulis @a.saefuddin
ADVERTISEMENT
Melanjutkan tulisan saya tentang Indonesia dan Pangan Dunia, penulis ingin menekankan ide Indonesia Feeds The World. Gagasan ini sejalan dengan konsep Romer (2018) tentang EGM (Endogenous Growth Model). Yakni mengoptimumkan potensi internal, seperti SDM, SDA, kelembagaan, pendidikan riset dan inovasi. Faktor-faktor inilah yang harus dibenahi secara utuh dan terintegrasi. Tentu sangat diperlukan kebijakan-kebijakan yang konsisten tanpa distorsi kepentingan sesaat dan koruptif.
ADVERTISEMENT
Belum lama ini saya bertemu dengan orang Indonesia yang bermukim di Singapura. Sepertinya dia ingin menunjukkan sesuatu tentang produk pertanian. Dia membawa cemilan kulit ikan patin yang dibumbui telur dan berbagai rempah sehingga rasanya enak tidak membosankan. Selama kami berdiskusi, cemilan itu jadi santapan yang mengasyikkan. Wajar saja di bungkusannya tertulis "dangerously addictive".
Bila saya perhatikan, semua bahan cemilan itu ada di Indonesia. Kulit ikan patin, telur dan bumbu-bumbunya tidak perlu kita impor. Semua ada. Tetapi produk itu Made in Singapore. Dan, kata teman saya, ternyata pemiliknya juga orang Indonesia. Pertanyaannya, mengapa produk itu buatan Singapore? Yang sudah barang tentu, walaupun bahan-bahannya ada di Indonesia serta pemiliknya orang Indonesia, tetapi devisa masuknya ke negara Singapura. Itulah bisnis.
ADVERTISEMENT
Saya jadi merenung sepertinya kita mempunyai kesalahan yang cukup fatal dalam membangun bisnis. SDA berlimpah, SDM berjubel, serta teknologi sederhana itu tidak bisa terkelola dengan baik. Bahkan semua komponen yang kita miliki itu selalu rontok tidak memberikan devisa untuk negara. Termasuk untuk menghidupkan SDM itu sendiri. Penyebab itu tidak lain karena belum bersahabatnya kebijakan yang ada, termasuk di antaranya adalah kemudahan perizinan.
Hal yang sama ketika saya bincang-bincang dengan pengusaha kecil kerajinan akar wangi di Garut. Produknya bagus-bagus. Ada hiasan dinding, sajadah, pengharum ruang dan lain-lain. Bahan dasarnya adalah rumput-rumputan yang akarnya wangi sekali. Tanaman itu disebut akar wangi yang endemik hanya ada di Kecamatan Samarang Garut.
Saya yakin akar wangi (Vetiveria Zizanioides) ini bisa menghasilkan devisa juga. Untuk itu saya tanyakan kepada pengusaha kerajinan akar wangi ini tentang peranan pemerintah. Dia tidak mau menjawab langsung. Setelah diam sejenak, dia menjawab yang intinya tidak perlu peran pemerintah terlalu banyak. Cukup izin usaha.
ADVERTISEMENT
Satu lagi, tentang teman penulis yang mempunyai latar belakang keilmuan di bidang perikanan. Beliau mencoba membuat perikanan yang diintegrasikan dengan pertanian. Teknologi tepat guna yang dibuatnya dipergunakan untuk pengaturan sirkulasi air. Fungsi sirkulasi air ini tidak hanya untuk kepentingan kolam ikan saja, tetapi juga untuk hidroponik, tanaman sayuran, dan mina padi. Selain ikan patin, dori, juga ada ikan koi.
Dikatakannya, kebutuhan dori saat ini selain banyak menjangkau restoran menengah ke atas. juga diekspor ke Arab Saudi untuk keperluan konsumsi jemaah umrah. Konsep pertanian terpadu ini dapat meningkatkan efisiensi kegiatan pertanian, perikanan dan peternakan dalam satu hamparan. Tentunya, ia sangat berharap adanya dukungan dari pemerintah.
Dari kisah-kisah di atas sepertinya kita masih berada pada lingkaran kebiasaan mempersulit. Bila bisa dipersulit, mengapa dipermudah. Bila bisa diperlambat, mengapa dipercepat. Bila paradigma seperti ini masuk ke dalam kebijakan, pastilah perizinan bisnis akan sulit dan lama. Bisnis belum dimulai, tapi tuntutan 'bagi hasil' sudah ditagih di awal. Inilah yang membuat industri Indonesia tidak kompetitif. Jargon-jargon kemudahan yang ada di kantor-kantor hanyalah hiasan. Paradigma bukan sekadar teori yang dihafalkan, tetapi totalitas sistem yang dapat menggerakan kegiatan termasuk ekonomi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, untuk menuju Indonesia Feeds The World kita sebaiknya menggunakan paradigma kekuatan internal negara, yakni SDA dan SDM. Keduanya adalah keunggulan komparatif Indonesia yang sangat kaya. Tetapi kedua sumber daya ini menjadi useless (tidak ada gunanya) bila tidak didukung oleh faktor-faktor pendukung dan penggeraknya. Yakni pendidikan, pelatihan, kebijakan, riset dan pengembangan.
Komponen pendukung dan penggerak itu semua ada di Indonesia, tetapi semuanya berjalan sendiri-sendiri. Tidak searah dan "ruwet". Akhirnya kelimpahan SDA dan SDM ini malah bisa jadi beban (liability). Ujung-ujungnya kerusakan alam, kemacetan perizinan, kemacetan lalu lintas, tawuran antar kelompok (sekolah, warga), korupsi, penyalahgunaan narkoba, kehilangan rasa kemanusiaan, rebutan kursi, percekcokan kekuasaan, lemahnya kebudayaan dan banyak lagi. Bonus demografi bisa jadi bencana demografi, bila tidak dikelola dengan bijak. Dampaknya hanya akan membuat kondisi ekonomi kita begini-begini saja. Sulit maju.
ADVERTISEMENT
Sedangkan untuk menjadikan Indonesia Feeds The World perlu paradigma keteraturan dan berpikir jauh ke depan. Bukan serba instan dan ketergantungan. Oleh karenanya, cita – cita ini harus juga dimulai dengan menguatkan kemandirian serta meraih kedaulatan pangan bagi Indonesia sendiri. Hadirnya Badan Pangan Nasional melalui Perpres No. 66 tahun 2021 seharusnya menjadi akselerator untuk optimalisasi potensi sumber daya yang ada termasuk unsur-unsur kearifan lokal bangsa.
Konsep mengoptimalkan kekuatan internal (SDA dan SDM) dengan kekuatan faktor pendukung dan penggerak (pendidikan, pelatihan, riset dan pengembangan, kebijakan pemerintah) itu oleh Romer (2018) disebut Endogenous Growth Model (model pertumbuhan berbasis endogen atau internal), selanjutnya disingkat EGM. Komponen pendidikan dapat menyumbangkan EGM dalam bentuk membangun SDM yang menghormati alam. Kebiasaan bersih, tidak membuang sampah sembarangan, memelihara pekarangan sekolah, dan gotong royong harus menjadi karakter persekolahan.
ADVERTISEMENT
Peserta didik jangan terlalu diarahkan untuk berkompetisi saling mengalahkan dan hanya mengejar capaian akademik sempit. Pendidikan tidak sekedar membuat peserta didik itu pintar tetapi tidak berbagi. Untuk memahami dan membiasakan karakter dasar perlu sekitar 8 tahun. Sedangkan untuk matematika dasar cukup 8 bulan. Jadi semua komponen persekolahan perlu kesabaran dan ketekunan. Tidak berpikir instan.
Komponen pendidikan yang dilanjutkan dengan pelatihan, riset dan pengembangan diarahkan pada pemanfaatan SDA secara bijak. Tidak sekedar eksploitatif asal menghasilkan tetapi destruktif, tidak ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan. Komponen teknologi betul-betul yang bisa meningkatkan nilai tambah berbasis kualitas produk yang konsisten. Tidak angat-angat tahi ayam. Dan semuanya difasilitasi kebijakan yang kondusif untuk keberlanjutan produk, menjadi sumber devisa dan bahkan bisa membantu mengentaskan kemiskinan dunia.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, agar Indonesia bisa menyumbangkan pangan dunia, kita memang butuh kebijakan yang berpihak, dukungan dari berbagai pihak, serta kesadaran dengan besarnya potensi yang dimiliki.
Andai ini semua nihil, apa pun yang dihasilkan oleh anak bangsa akan hancur. Dan jangan salahkan bila bertebaran produk-produk berbasis SDA Indonesia tetapi Made in Singapore serta made in negara-negara lainnya. Padahal bisa jadi di antaranya itu adalah karya anak bangsa juga, hanya saja mereka sudah telanjur 'nyaman' di negeri lain. Sementara kita? Hanya dan terus terpuaskan dengan menjadi konsumen terbesar.
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)