Konten dari Pengguna

Statistik dan Integritas Kekuasaan

Asep Saefuddin
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
10 Agustus 2022 13:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penulis saat melakukan sosialisasi Sensus Penduduk beberapa tahun lalu di Malang. Foto: Dok. penulis @a.saefuddin
zoom-in-whitePerbesar
Penulis saat melakukan sosialisasi Sensus Penduduk beberapa tahun lalu di Malang. Foto: Dok. penulis @a.saefuddin
ADVERTISEMENT
Ada satu hal yang ‘menarik’ cenderung aneh dari salah satu rilis Badan Pusat Statistik (BPS) awal Agustus ini. Yakni tentang persepsi anti korupsi dan perilaku korupsi. Capaian Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) tahun 2022 memang masih di bawah target pada RPJMN 2020 - 2024, tapi ada kabar baik terkait hubungannya dengan pendidikan. Hasil pendataan dari sampel yang berjumlah 10.040 rumah tangga itu menyimpulkan semakin tinggi tingkat pendidikan, maka masyarakat cenderung semakin anti korupsi.
ADVERTISEMENT
Untuk masyarakat dengan pendidikan SD ke bawah, indeksnya 3,87. Kemudian berturut-turut naik, berpendidikan menengah 3,94 dan berpendidikan tinggi mencapai 4,04. Dari data ini terlihat orang terdidik sepertinya anti korupsi. Ini yang saya sebutkan sepertinya rada 'aneh' itu.
Anehnya dimana? Jika dihubungkan dengan fakta strata pendidikan para koruptor yang telah ditangkap selama ini umumnya mereka yang berpendidikan tinggi. Tidak tanggung-tanggung, KPK mengatakan angkanya di atas 80%. Bahkan tidak hanya lulusan strata satu saja. Ada yang master, doktor, bahkan profesor.
Memang dua fakta (IPAK BPS dan temuan KPK) ini jika dilihat 'sepintas' sangat berlawanan. Namun, jika ditelisik agak lebih mendalam, temuan ini sebenarnya saling mendukung. Saling menguatkan. Mengapa?
Sudah mafhum kita ketahui kalau tindak kejahatan, termasuk korupsi itu terjadi biasanya dilandasi oleh dua hal: niat dan kesempatan. Ada juga asumsi yang mengatakan faktor kesempatan biasanya lebih mendominasi perannya. Alasannya jika ada niat, tapi kesempatan tertutup maka kemungkinannya gagal.
ADVERTISEMENT
Sementara penulis lebih menekankan pada faktor niat. Alasannya jika ada niat, tidak ada kesempatan maka kemungkinannya bukan gagal. Tapi menunggu sembari mencari kesempatan itu hadir. Bahkan karena bermula dari niat sehingga seberat apapun hukumannya tetap saja pelaku kejahatan — lagi, termasuk koruptor itu tetap berusaha merealisasikan niatnya.
Dan bisa jadi niat itu juga akibat sistem yang tidak sehat. Awalnya niat tidak ada, lama-lama terbentuk, lalu mencoba kecil-kecilan dan selamat. Jadi niat itu terus berkembang, akibat sistem yang mendukung ketidakberesan.
Inilah realitas yang menjadi beban berat sekaligus tanggung jawab pemimpin bangsa. Termasuk tanggung jawab para dosen yang berkhidmat di dunia pendidikan (tinggi). Menguatkan karakter bukan pekerjaan seperti pesulap. Hari ini kebijakan hadir, besok semuanya seakan-akan pasti berubah. Dalam karakter perlu waktu penataan yang relatif panjang.
ADVERTISEMENT
Studi menunjukkan untuk menguasai matematika dasar cukup 8 bulan. Sementara untuk karakter dasar perlu 8 tahun. Artinya pendidikan dasar dari PAUD sampai SD tidak bisa dianggap enteng. Jangan terjebak pada transfer pengetahuan saja dengan target-target kuantitatif. Tidak sadar bahwa pola ini mengorbankan esensi pendidikan.
Untuk itu, pergulatan kampus dalam menyelesaikan tanggung jawabnya tidak boleh puas hanya sampai mahasiswanya meraih gelar. Ataupun hanya berbangga dengan lulusannya yang berhasil nangkring sebagai top manajemen di berbagai perusahaan bergengsi atau pemegang tampuk kekuasaan. Perlu terus menanamkan niat tulus dalam berbagai gejolak kehidupan.
Kampus harus bergerak untuk segera memikirkan agar lulusannya meraih predikat summa cumlaude dalam hal integritas. Beberapa jalan penguatan yang bisa dilakukan tentunya melalui proses belajar - mengajar. Misalnya menarasikan betapa hinanya meraih nilai tinggi tetapi hasil dari contekan atau melakukan plagiasi dari karya teman.
ADVERTISEMENT
Penulis teringat pengalaman ketika menempuh pendidikan di Universitas Paris XI Orsay (Perancis) dan Universitas Guelph (Kanada). Saat memulai pelajaran statistika, sang dosen meminta kami untuk berikrar. Kurang lebih isinya adalah perjanjian kepada Tuhan untuk mengedepankan kejujuran. Sempat kami saling bertanya. Ini bukan kelas ilmu hukum, tapi ‘hanya’ kelas statistika. Beberapa saat kemudian, barulah kami sadar mengenai hakikat dari ‘angka-angka’ yang akan dipelajari. Kejujuran menjadi landasan ilmu pengetahuan.
Bukankah perilaku koruptif itu mempunyai hubungan dengan niat serta kepiawaian dalam memanipulasi angka dan fakta? Bukankah 'penguasaan' atas data bisa menjadi jalan meraih kekuasaan?
Sekedar kilas balik. Pun, saat Pilpres kemarin kita juga sempat dipertontonkan dengan hasil tabulasi yang berada pada dua sisi. Hasil yang membuat sebagian masyarakat skeptis terhadap hasil-hasil survei. Termasuk hasil survei mengenai tingkat elektabilitas para kandidat yang katanya akan tampil di pentas Pemilu 2024 nanti. Walaupun ada yang benar, tetapi bisa rusak oleh satu dua perilaku survei yang kotor.
ADVERTISEMENT
Padahal, ilmu itu hadir untuk mencari kebenaran. Bukan berarti tidak boleh salah. Larangannya hanya satu, tidak boleh melakukan kebohongan. Ketahuilah, memanipulasi angka itu mudah. Tapi dampaknya bisa menyebabkan hadirnya kesalahan-kesalahan baru. Fakta tertutupi. Akhirnya keputusan-keputusan yang hadir hanya berbasis kepentingan atau asumsi semata.
Membutakan diri terhadap data inilah yang juga menyebabkan agenda-agenda hoax merajalela. Dengan kemudahan teknologi ini jangankan angka wajah pun bisa dipoles. Kembali, kita akhirnya bicara hanya berdasarkan kepentingan kelompok saja. Bukan untuk kepentingan negara. Wajar ketika ruang diskusi mendadak berbuah debat kusir yang penuh kebuntuan. Pertarungannya data yang sudah dimanipulasi hanya untuk kepentingannya. Akhirnya perang antar manipulasi data. Liarlah jadinya. Jangankan berharap mendapat kebenaran. Mendekati benar pun sudah tak mungkin.
ADVERTISEMENT
Memang data sangat penting. Tetapi bagaimana mendapatkan data itu jauh lebih penting. Disini perlu kejujuran proses yang di dalamnya ada sains. Jadi sebenarnya sains itu tidak lain adalah upaya untuk memfasilitasi kejujuran.
Perguruan Tinggi tentu tidak bisa sendirian. Memupuk karakter bukan saja harus dimulai sejak dini dan terutama 8 tahun pertama itu. Juga dibutuhkan teladan dari unit-unit di luar pendidikan. Regulasi-regulasi pemerintah yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sinerginya satuan pendidikan, mulai dari pendidikan usia dini, tingkat dasar, menengah dan tinggi perlu kesatuan yang utuh. Guru dan dosen tidak perlu dibebani regulasi-regulasi yang tidak realistis. Tetapi mereka tentu harus memahami hakikat pendidikan agar peserta didik mampu inovatif, kreatif, dan kolaboratif untuk kemajuan positif. Bukan destruktif dan koruptif.
ADVERTISEMENT
Para pendidikan jangan malah memupuk benih hipokrit. Di kelas mengajarkan pentingnya kejujuran dengan segala macam landasan teoritisnya. Sebaliknya, dengan berbagai tujuan dan alasan malah menjadi dalang di belakang layar untuk memuluskan skandal mark up nilai. Juga kwitansi, administrasi dan presensi-presensi yang lebih diprioritaskan. Kehadiran tetap penting, tetapi karena kesadaran dan keinginan mencari ilmu.
Konsep profil pelajar Pancasila sebagai bagian dari cita-cita Kurikulum Merdeka yang digagas Mas Nadiem sepatutnya dijadikan momentum imunisasi integritas siswa. Juga gurunya. Para siswa tidak hanya menghafal, tapi mampu meresapi nilai-nilainya. Para guru tidak hanya mematangkan konsep, tapi terlibat selalu untuk melakukan best practice di hadapan siswanya. Nilai-nilai kemanusiaan jangan sampai dikalahkan oleh tujuan-tujuan materi.
Nah, sembari sekolah - kampus membangun karakter peserta didiknya, para pejabat publik juga perlu ditagih untuk membangun keteladanan. Sesuai dengan visi pendiri negeri plus cita-cita dari hadirnya reformasi. Sudah saatnya mereka berjibaku untuk membumihanguskan perilaku Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme itu. Bukan menjadikan kekuasaan sebagai implementasi ‘niat’ karena besarnya ‘kesempatan’ yang ada.
ADVERTISEMENT
Per hari ini, sudah hadirkan sumber keteladanan itu? Jika belum, sungguh mengerikan.
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) - Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)