Konten dari Pengguna

Krisis Literasi di Era Modern: Bagaimana Pendidik Harus Beradaptasi?

Aselia Nur Lailli
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, prodi Manajemen Pendidikan
2 Desember 2024 17:42 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aselia Nur Lailli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-membaca-buku-2898207/
zoom-in-whitePerbesar
https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-membaca-buku-2898207/
ADVERTISEMENT
Di era modern yang di tandai dengan kemanjuan teknologi dan akses informasi yang tak terbatas, krisis literasi menjadi salah satu tantangan paling mendesak dalam dunia pendidikan. Meskipun kita hidup di zaman di mana informasi dapat diakses dengan mudah melalui internet dan perangkat digital, banyak siswa yang masih mengalami kesulitan dalam membaca, menulis dan memahami teks dengan baik.
ADVERTISEMENT
Menurut data hasil riset World's Most Literate Nations Ranked pada tahun 2016 menepatkan indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Riset yang dilakukan oleh PISA pada tahun 2018 ditunjukan dalam bentuk persentase, kurang lebih hanya 25% siswa Indonesia yang memiliki kompetensi membaca tingkat minimum atau lebih, hanya 24% yang memiliki kompetensi matematika tingkat minimum atau lebih, dan sekitar 34% siswa Indonesia yang memiliki kompetensi sains tingkat minimum atau lebih (OECD, 2019a). Sejumlah statistik juga menggambarkan potret buram tingkat litersi tersebut. Dari data lain, menurut catatan organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan perserikatan bangsa bangsa (UNESCO), minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,0001 persen. Berarti, cuma 1 dari 1.000 orang yang rajin membaca.
ADVERTISEMENT
Krisis ini tidak hanya berdampak pada kemampuan akademis siswa, tetapi juga mempengaruhi keterampilan berfikir kritis dan kemampuan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat. Dalam konteks ini, peran pendidik semakin penting. Mereka tidak hanya bertanggung jawab untuk mengajarkan materi pelajaran, tetapi mereka juga harus mampu mengadaptasi metode pengajaran agar sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya krisis literasi di Indonesia, Seperti:
1.pengaruh teknologi.
Meskipun teknologi dapat meningkatkan akses informasi, penggunaan internet dan smartphone tanpa panduan literasi digital justru dapat mengalihkan perhatian anak-anak dari membaca buku. Informasi yang berlimpah di internet sering kali tidak terfilter dengan baik, sehingga sulit bagi anak-anak untuk menemukan bacaan berkualitas.
2. Keterbatasan akses ke sumber bacaan.
ADVERTISEMENT
Ketersediaan perpustakaan dan buku-buku bacaan yang berkualitas masih sangat terbatas di Indonesia. Dengan hanya ada sekitar 154.000 perpustakaan untuk populasi yang besar, akses masyarakat terhadap bahan bacaan berkualitas sangat minim, terutama di pedesaan. Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando memaparkan beragam kendala dalam meningkatkan literasi. Kendala itu meliputi berbagai sektor, mulai dari budaya membaca yang kurang kondusif, minimnya sumber daya manusia, hingga belum aktifnya keterlibatan orang tua untuk mendukung penguatan literasi.
"Kalau mau mengembangkan perpustakaan yang diberi tugas membantu pemerintah dalam mengatasi persoalan rendahnya literasi, tidak ada cara lain kecuali kebijakan afirmasi di bidang penganggaran, penambahan perpustakaan, dan juga menambah kegiatan yang melibatkan semua pemangku kepentingan, ujarnya." Syarif menyebutkan, Indonesia kekurangan 439.680 pustakawan. Kekurangan itu terjadi di semua jenis perpustakaan, yaitu perpustakaan umum dan khusus, sekolah negeri maupun swasta, serta perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Untuk menutupi kekurangan tersebut, bupati atau wali kota, guberbur, dan pemimpin lembaga didorong memprioritaskan pustakawan dalam perekrutan pegawai. Sebab, selama ini kebutuhan pustakawan sering diabaikan. Bahkan, tak jarang peran mereka dialihkan kepada tenaga kependidikan lainnya. Minimnya literasi oleh orang dewasa juga berpengaruh terhadap budaya literasi anak-anak mereka. Anak-anak cenderung lebih suka bermain game daripada mencari bahan-bahan bacaan. Dilihat dari banyaknya siswa/i juga masih kesulitan menjawab sebuah persoalan berdasarkan bacaan. Siswa/i cenderung mendapatkan nilai lebih bagus kalau mereka mengerjakan soal berupa dialog singkat, sedangkan jika mereka mengerjakan soal berupa paragraf panjang, banyak siswa/i yang salah menjawab, tidak sesuai bacaan. Hal ini menunjukan kesan bahwa mereka tidak membaca bacaan dengan teliti sesuai dengan bahan bacaan yang sesuai.
ADVERTISEMENT
3. Belum ada kebiasaan membaca yang ditanamkan sejak dini
Dalam kasus ini, kebiasaan orang tua sangat memengaruhi pola anak karena anak sering kali pandai meniru ketimbang mendengar. Jadi, diharapkan orang tua bisa menanamkan kebiasaan membaca buku sejak dini, masih banyak orang tua yang menganggap literasi hanya sebatas kemampuan membaca huruf tanpa memahami pentingnya membaca sebagai proses internalisasi ilmu pengetahuan.
Berdasarkan paparan di atas, tentu kita harus memperbaiki atau setidaknya mencegah minimnya minat baca ini. Berikut beberapa solusi yang disarankan:
1.Jadikan ‘membaca’ sebagai kegemaran
Di sini, peran keluarga sangat dibutuhkan karena anak-anak akan lebih menghabiskan waktu di rumah. Orang tua bisa membiasakan anak membaca buku dongeng, buku yang bergambar, dan lain sebagainya. Dengan dijadikan kegemaran, anak-anak akan terlatih dan akhirnya akan menyukai kegiatan membaca. Ketika kegiatan sudah menjadi kegemaran, maka untuk melakukannya akan menyenangkan.
ADVERTISEMENT
2.Terapkan ‘saring’ sebelum ‘sharing’
Hal ini berkaitan dengan bermain sosial media. Sudah tidak heran jika bermain sosial media akan membuat kita terlalu banyak mendapat informasi dan seakan-akan membuat Kita untuk tidak sabar menyebarkannya, apalagi berita yang sedang marak dibicarakan. Padahal, belum tentu berita yang kita sebarkan terbukti adanya. Oleh karena itu, terapkan saring sebelum. Bagaimana caranya menerapkan saring sebelum sharing? Jawabannya sederhana, yaitu dengan membaca.
3. Mempercantik perpustakaan
Hal yang cantik akan menimbulkan daya tarik. Ungkapan tersebut tidak hanya berlaku pada pemujaan visual seseorang, melainkan juga berlaku pada tempat. Karena tempat yang cantik akan membuat Kita betah berlama-lama di dalamnya. Sama hal nya dengan perpustakan yang cantik, orang-orang tidak akan bosan jika berdiam lama melakukan kegiatan membaca.
ADVERTISEMENT
4. Memasukkan kembali buku bacaan wajib ke dalam kurikulum. Untuk menjamin ketersediaan buku bacaan bermutu, maka fungsi penerbit milik negara Balai Pustaka perlu dikembalikan ke posisi sebelumnya sebagai penerbit dan penyedia buku bacaan bermutu bagi sekolah-sekolah.
Krisis literasi ini memerlukan perhatian dan Tindakan segera dari semua pihak. Dalam dunia yang semakin dipenuhi dengan informasi, kemampuan membaca dan memahami teks bukan hanya sekadar keterampilan dasar, tetapi juga kunci untuk mengakses pengetahuan dan berpartisipasi dalam masyarakat yang lebih luas. Faktor-faktor seperti kualitas pendidikan yang rendah, rendahnya minat baca, akses terbatas ke sumber bacaan, serta kesalahpahaman tentang literasi harus menjadi fokus utama dalam upaya perbaikan. Pendidik harus beradaptasi dengan pendekatan inovatif dan kreatif untuk menumbuhkan budaya baca di kalangan siswa, memanfaatkan teknologi, dan menciptakan lingkungan belajar yang mendukung.
ADVERTISEMENT
Dengan kolaborasi antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat, kita dapat mengatasi krisis ini dan membangun generasi yang tidak hanya melek huruf tetapi juga memiliki kemampuan kritis dalam menyerap dan menganalisis informasi. Mari kita bersama-sama menciptakan masa depan di mana setiap individu di Indonesia dapat menikmati manfaat dari literasi yang kuat, menjadikan mereka agen perubahan dalam masyarakat yang terus berkembang.