Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Belajar dari Kain Pel
15 Juni 2020 17:39 WIB
Tulisan dari Asep Abdurrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hampir setiap rumah bisa dipastikan punya yang namanya "kain pela atau pelan" (baca; kain pel, alat kebersihan untuk ngepel)). Iya pelan. Benda ini sudah diketahui secara luas. Ia berfungsi dan sebagai alat untuk membersihkan lantai atau apapun namanya.
ADVERTISEMENT
Pada umumnya, kotoran apapun yang ada di lantai, dibersihkan dengan cara dilap atau dipel oleh "kain pel". Setelah dibersihkan, kotorannya nempel pada kain pel itu. Kain pel pun diguyur oleh air agar bersih kembali dari kotoran.
Sampai disitu kain pel belum sempurna, ia harus diperas agar tidak banyak air yang tersimpan dalam kain pel itu. Setelah itu, baru disimpan di tempat-tempat yang biasa tempat menyimpan kain pel.
Naronya bisa di dapur, kamar mandi, pojok depan rumah atau dibelakang atau juga di gantung ditempat yang sudah disediakan. Ia tak pernah protes akan takdirnya. Ia begitu loyal. Ia pun siap dibuang setelah kain-kainnya pada rontok karena seringnya dipakai untuk membersihkan lantai.
ADVERTISEMENT
Pelajaran Berharga
Setelah dibuang, lalu yang punya rumah beli kembali kain pel yang baru dan begitu seterusnya. Dalam kehidupan, pelan ini mengajarkan kepada manusia bahwa kita harus siap dipakai dan diambil manfaatnya untuk membersihkan "kotoran" yang nempel pada diri sendiri, keluarga, masyarakat bahkan bangsa dan negara yang merupakan perwujudan dari perintah agama.
Terkadang kita harus membersihkan pikiran yang kotor. Kotor berupa cara berpikir yang kurang tepat. Berprilaku dan bertradisi yang kurang sesuai dengan keumuman orang. Kotor dalam arti meluruskan mental yang kurang ditempatkan pada tempatnya.
Kotor dalam beragama. Kotor dalam melakukan praktek jual beli. Kotor dalam melahirkan kebijakan. Kotor dalam paradigma berpikir. Kotor dalam menjalankan tugas ataupun bentuk kotor-kotor yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Maka tugas itu harus sebisa mungkin diambil sebagai wujud tugas dan kewajiban orang beriman, jika berkompeten dalam masalah tersebut. Jika tidak, sebaiknya diarahkan kepada pihak yang punya kemampuan akan hal itu.
Nabi Muhammad Saw sebagai Rasul yang mulia, juga mengemban tugas yang mulia itu. Beliau selalu dibimbing oleh Allah dalam menjalankan tugasnya. Beliau rela berkorban untuk umatnya.
Kita pun harus rela untuk kemanfaatan individu, tetangga atau masyarakat luas. Jika mengambil tugas yang mulia itu, dengan sendirinya tantangan dan hambatan akan datang menemui. Dan biarkan saja hambatan dan rintangan itu datang, asalkan kita berlapadang dada dan berpikiran terbuka dalam menerimanya.
Hambatan dan rintangan boleh datang silih berganti. Atau cobaan dan ujian hidup boleh terus menghampiri, yang terpenting kita hadapi dengan positif bahwa hidup memang begitu. Dan kalau tidak begitu bukan hidup namanya.
ADVERTISEMENT
Dalam setiap kehidupan pasti ada tantangan dan dalam setiap tantangan pasti ada kehidupan. Lapang dada akan terasa lega, seperti menabur air garam ke dalam danau yang luas.
Maka seberapun banyaknya garam yang ditaburkan, danaunya tidak akan asin karena danaunya luas. Begitu juga seberat apapun masalahnya, jika dihadapi dengan lapang dada, maka tidak akan terasa sakit dan menyesakan dada. Anggap saja masalah besar itu "investasi" untuk mendidik hidup dan kehidupan di tengah hutan belantara.
Hutan belantara itu adalah kerasnya kehidupan. Dan anggap saja sebagai sarana untuk menghapus dosa-dosa kita, dan lain-lain. Tapi sebaliknya, jika kita menabur garam ke dalam gelas, maka akan terasa asin. Masalah kecilpun akan terasa sakit, apalagi masalah besar akan lebih menyakitkan.
ADVERTISEMENT
Alat kebersihan (kain pel atau pelan) memang tugasnya tidak mengasyikkan, harus rela membersihkan lantai. Lantainya ada yang halus, bening dan gemerlap. Tapi juga ada yang kasar, gradakan, disamping kotorannya nempel susah dibersihkan sehingga harus extra keras membersihkannya dengan cara memakai WPC, vorstek atau pembersih lainnya.
Dalam mental manusia pun begitu. Ada yang halus, mudah menerima nasehat dan juga ada yang gradakan, hatinya keras sehingga nasehat apapun dan sebaik apapun mental. Seperti melempar batu ke bedug. Batunya akan mantul ke orang yang melemparnya.
Tugas mulia itu memang berat, tapi tentunya tak seberat tugas para Nabi. Setelah dipakai, pelan itu kotor dan berbau tak karuan. Pelan harus diguyur air agar dirinya kembali bersih, seperti sebelum dipakai ngepel.
ADVERTISEMENT
Setelah diguyur, harus siap sedia diperas, agar airnya tidak banyak bersemayam dalam kain pel itu. Manusia juga hampir sama seperti itu. Jika dirinya ingin kembali bersih harus banyak diguyur dengan istigfar, taubat, ibadah, mengiringi perbuatan buruk dengan kebaikan, dan lain-lain.
Setelah bersih, disimpan ditempat yang kurang mengenakkan. Dalam kehidupan sehari-hari, ada manusia yang terpinggirkan harkat martabarnya. Entah itu karena kurangnya kompetensi atau mempunyai kompetensi tapi justru tak mendapat pengakuan secara layak dan memadai. Baik pengakuan secara eksistensi ataupun pengakuan dalam kontek profesionalisme pada umumnya.
Setelah melihat lantai kotor kembali, kain pel pun dipakai dan terus dipakai sampai kain pel menunjukkan secara perlahan mengalami kerusakan. Kain-nya satu persatu lepas. Lama kelamaanya rontok dan rusak. Akibatnya, pelan itu harus pensiun alias tak layak pakai.
ADVERTISEMENT
Ada diantara sebagian orang, ketika diakhir karirnya, mentalnya "rapuh, galau atau mungkin setres" karena menghadapi usia pensiun dimana masa produktif sudah purna dan eksistensinya terancam tidak mendapat tempat di masyarakat.
Akibatnya, ia hidup tak karuan, sensitif, kekhawatiran berlebihan dan lain-lain. Kondisi ini memerlukan dukungan dari keluarga secara penuh. Tidak boleh kesepian, masa tuanya harus penuh kegembiraan. Dan anak-anaknya harus rajin menjenguk dan menghibur untuk menghilangkan kesepiannya.
Jika tidak, ia akan depresi dan penuannya akan menghapiri dengan cepat. Akhirnya, ia tak nafsu makan yang menyebabkan jatuh sakit dan kematiannya diambang pintu, karena depresi, kesedihan dan kesepiannya datang begitu hebat. Semoga kita dapat belajar penuh dari alat kebersihan ini, kain pelan.
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Tangerang
ADVERTISEMENT