Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Membaca Filosofi Buah Durian
17 Juni 2020 9:13 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Asep Abdurrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siapa yang tak suka durian. Durian bagi masyarakat Asia Tenggara sudah tak asing lagi. Durian memang menggoda, aromanya menebarkan bau khas.
ADVERTISEMENT
Baunya bikin pusing bagi orang-orang tertentu. Durian bagi sebagian orang menjadi musuh, khususnya bagi orang yang punya penyakit tekanan darah tinggi sistolik.
Tetapi, bau khas inilah yang membuat semua orang penasaran. Penasaran ingin mencicipinya, sekaligus merasakan lezatnya durian. Bentuk durian memang tidak bulat persis.
Ada yang lonjong dan ada yang berbentuk oval. Kulitnya dipenuhi duri-duri tajam. Tidak terbayang kalau ada orang yang tertimpa durian.
Apalagi yang tertimpanya bagian kepala, kalau bukan kasih sayang Allah, entah bagaimana jadinya kepala orang itu. Makanya, banyak petani durian, kalau sudah mendekati tua, buah durian diikat oleh tali rapia.
Maksudnya, kalau jatuh ia akan tergelantung di batang pohon dan tidak menimpa kepada orang yang lewat, jika bukan menanamnya di kebun yang jauh dari hilir mudik orang-orang.
ADVERTISEMENT
Daging durian, kalau sudah matang warnanya putih tulang dan di dalamnya ada biji yang cukup besar. Kadang daging durian lebih sedikit daripada bijinya.
Belajar dari Buah Durian
Berkaca pada durian untuk kehidupan manusia, penting untuk diambil pelajaran dan hikmahnya. Durian lahir dari pohon besar dan tinggi. Tetapi dalam perkembangannya, ada durian yang pohonnya pendek tapi sudah berbuah.
Dalam kehidupan, menunjukkan bahwa manusia dipersilahkan untuk punya idealisme dan cita-cita tinggi, seperti tingginya pohon durian di kampung-kampung. Makin tinggi cita-citanya, makin tinggi pula hembusan angin kencang yang menerpanya.
Manusia yang tinggi idealisme dan cita-citanya, memang punya banyak cobaan yang menerpanya.
Saking kencang cobaannya, kita perlu diikat oleh tali agama Allah yang berupa al-Qur'an dan juga sunnah Rasullah sebagai pembaca serta penafsir firman Rab-Nya.
ADVERTISEMENT
Diikat bukan dirinya takut jatuh, tetapi tindakan pencegahan agar tidak menimpa kepada orang yang tidak berdosa. Artinya, orang yang tertimpa durian dikhawatirkan akan berdampak luka iman. Imbasnya, iman yang terluka adalah iman yang sakit.
Pengobatan iman yang sakit, dalam batas tertentu ada yang cukup rumit, tergantung posisi siapa yang terluka iman?. Yang jelas iman yang sakit, tidak pandang bulu menimpanya.
Ia bisa menimpa orang baik, orang saleh, orang yang dianggap ahli agama, orang pinter dengan sederet gelar atau pejabat teras sekalipun.
Karena iman kadarnya bisa naik dan bisa turun, tergantung orang itu ada di lingkungan mana?. Bergaul dengan siapa?. Pergi ke mana? Berbuat dengan tujuan apa? Sampai memberi dan mengerjakan untuk siapa?
ADVERTISEMENT
Jika tujuannya sudah melenceng, maka niat dan imannya sedang sakit. Sakit tidak berarti fisik, tapi rohani pun bisa terkena sakit. Justru karena sakit rohaninya, fisik pun bisa terbawa sakit.
Jika sudah begini, maka jiwa dan fisik harus segera mencari pengikat, seperti durian yang diikat khawatir jatuh imannya dan menimpa kepada orang yang tidak sanggup mengalaminya.
Tetapi Allah maha adil, iman itu jatuh buat manusia yang tidak hati-hati dalam menjaga perbuatannya. Perbuatan yang negatif, pertanda imannya telah "jatuh". Pada tahap ini, manusia akan mengerti bahwa menjaga dengan berpegang teguh pada tali agama Allah adalah kuncinya.
Kunci di mana menjaga agar iman tetap stabil atau berusaha menaikannya adalah idaman setiap orang. Namun, pertanyaan di atas menjadi PR untuk dijawab dengan hati nurani. Durian memang tampilannya berduri. Tampangnya serem, berduri tajam, namun dalamnya wangi.
ADVERTISEMENT
Manusia Durian
Pada diri orang ada seperti durian, tampilannya ngeri tapi justru dalamnya baik, berhati emas.
Lihat saja Bilal bin Rabbah. Meskipun tampangnya berkuliat hitam, tapi amalannya harum. Perbuatannya mulia. Dan suaranya merdu, keras dan bagi pendengar jadi sendu. Tapi bukan seneng duit he..he..
lewat tampilan durian ini, Allah ingin mengajarkan kepada kita, tidak boleh terjebak pada tampilan lahir. Boleh saja tampilan lahirnya manis, tapi dalamnya justru pahit.
Aroma durian yang semerbak, menunjukkan bahwa manusia yang harum adalah manusia yang sudah diikat oleh Allah lewat al-Qur’an dengan ikatan yang proporsional sesuai tabiat dan karakter manusia.
Tetapi sebaliknya, tampilannya serem justru dalamnya baik. Lebih baik lagi, tampilan luar dan dalamnya sama-sama bernilai baik. Dalam kehidupan sehari-hari, kadang kita menemukan manusia seperti durian.
ADVERTISEMENT
Luarnya tidak sedap dipandang, tapi dalamnya sungguh membuat decak kagum. Belum lagi isinya. Isinya manis dan wangi. Manis dan wangi bagi manusia meski tak diinginkan, lama-lama akan tercium.
Karena perbuatan dan amaliahnya yang tulus tanpa tujuan yang menyimpang. Ia benar-benar hanya semata-mata dorongan iman. Bukan karena dorongan ingin dipuja dan dipuji, tetapi karena itu keharusan dorongan iman.
Saat imannya manis, perbuatannya menjadi harum semerbak, sampai kemudian mengundang manusia ingin bergabung dan berguru kepadanya.
Tak jarang kita banyak menemukan para ulama yang imannya manis, perbuatannya harum, kreativitas akademiknya luar biasa, banyak dikunjungi orang-orang.
Ibaratnya, imannya yang manis itu, gaya magnet yang menarik benda-benda berharga untuk selalu menempel pada dirinya. Ketika menempel, maka akan merasakan ketenangan seperti bau harum yang menusuk hidung.
ADVERTISEMENT
Meskipun tidak semua orang suka akan yang harum, tapi biarlah itu menjadi dinamika kehidupan. Ada yang suka dan juga ada yang tidak suka. Imbasnya, tidak semua orang suka sama harum nama baik seseorang.
Ada juga yang tidak suka, seraya sambil memusuhinya, bahkan sampai memerangi dalam bentuk umpatan, teror dan fitnah yang keji.
Semoga kita semua bisa berlindung dari rasa tidak suka yang berakhir memusuhinya. Karena sesuatu hal yang membuat iman kita jatuh dan tersungkur ke dalam kegelapan dan juga kekeliruan akan berbekas pada diri. Baik kekeliruan dalam berpikir, berkata dan juga kekeliruan dalam bertindak dan bersikap. Wallahu a'lam.
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Tangerang