Kekerasan Simbolik di Era Digital

Asep Abdurrohman
Pendidik dan Penulis Kehidupan
Konten dari Pengguna
15 Juni 2021 11:28 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Abdurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Era digital, siapa yang tidak mempunyai HP. Hampir dapat dipastikan, masyarakat perkotaan mempunyai HP. Iya HP, benda yang menjadi familiar di era digital ini hampir menjadi kebutuhan pokok plus dengan kuotanya. Hampir sudah umum, masyarakat jarang yang mempunyai pulsa telepon daripada kuota.
ADVERTISEMENT
Berbanding lurus dengan kuota, HP pun sudah demikian adanya. Di kota sudah wajar dan menjadi hal biasa hampir mayoritas mempunyai HP. Yang menyedihkan lagi, di kampung sana, di berbagai pelosok Indonesia sudah banyak yang merengek-rengek minta dibelikan HP. Meskipun, yang merengek-rengek itu bukan lagi usia anak-anak, tetapi mendekati 60 tahun.
Ini artinya, memaksa keadaan keluarga untuk mencari cara agar bisa membelikan HP untuk anggota keluarganya. Keinginan memiliki HP, karena melihat teman sebayanya di desa yang memegang HP. Pada akhirnya, wajar usia menjelang 60-an itu merengek-rengek minta HP kepada keluarganya.
Padahal, penggunaan HP bagi yang tidak jelas untuk apa dan apa, rentan sekali terkena dampak yang tidak sedikit mengubah perilaku, pola pikir dan yang tidak kalah pentingnya adalah pola keinginan. Pola keinginan ini menyebar dalam bentuk action kebutuhan eksistensi yang tersebar dalam berbagai share men-share foto, artikel, bahkan video yang menjelaskan tentang pihak-pihak tertentu.
ADVERTISEMENT
Keadaan itu, bagi pihak yang menerima dan membuka share pelan tapi pasti memberikan dominasi gaya hidup orang lain yang menerobos ke dalam pihak masyarakat lain. Jika tidak kuat iman dan sikap merasa bersyukur, bukan tidak mungkin akan terpengaruh, bahkan terbawa arus dominasi gaya hidup dalam bentuk modal budaya dan modal sosial. Bukankah ini salah satu bentuk kekerasan, mari kita lihat lebih jauh.
http://belajarpedagogik.blogspot.com/
Stop Dominasi dan Berilah Inspirasi
Kehidupan digital, memang menggoda seribu godaan. Bukan menggoda berbau fisik, tetapi menggoda berbau imaginer yang korbannya kikuk dengan mengikuti jalan hidup orang lain. Tidak dipungkiri, berawal dari godaan menebar eksistensi diri, seperti yang dikatakan Abraham Maslow, kebutuhan diri untuk aktual di tengah kehidupan digital adalah kebutuhan setiap individu masyarakat.
ADVERTISEMENT
Keinginan aktual di tengah kehidupan digital, sekali lagi, bukan barang tabu dan juga tidak ada yang melarang. Seyogyanya, alih-alih untuk memberikan inspirasi banyak kalangan, namun justru pihak yang menerima pesan itu tergoda dengan rayuan share yang menilap pikiran masyarakat yang sedang tergoda.
Apalagi, kehidupan masyarakat sedang tinggi-tingginya dhinggapi generasi milenial dan generasi Z, jika ditotal jumlah keduanya bisa berjumlah 52% dari total jumlah penduduk Indonesia berkisar 270.000.000 jiwa. Artinya, 135.000.000 lebih anak-anak muda yang sedang haus pengakuan dari publik.
Jumlah tersebut, tentunya sangat besar dan jika dikelola dengan baik maka akan menghasilkan energi positif untuk kemajuan bangsa ini. contohnya, munculnya layanan transportasi online, bisnis online dengan berbagai merek providernya, media sosial, ruang guru, dan lain sebagainnya tidak terlepas dari peran anak muda yang mampu menelurkan inspirasi di tengah kekeringan vigur yang kurang banyak memberikan contoh.
ADVERTISEMENT
Namun sebaliknya, jika jumlah anak muda tersebut tidak terkelola dengan baik, maka menjadi beban berat bagi pemerintah dan masyarakat serta keluarga pada khususnya. Beban berat berat bagi masyarakat, secara fisik mungkin tidak akan terlalu kasat mata, tetapi dalam konteks psikologi akan membawa dampak yang kurang baik bagi perkembangan psikologi masyarakat.
Buktinya, tenaga kerja yang paling banyak hilir mudik di lapangan bisnis adalah anak muda yang lulusan tingkat SMA dan kedua anak muda yang lulusan SMP. Sementara anak muda yang lulusan sarjana, tidak sedikit juga yang menjadi pengangguran.
Menurut laporan BPS tahun 2021 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2021 sebesar 6,26 persen, turun 0,81 persen poin dibandingkan dengan Agustus 2020. Penduduk yang bekerja sebanyak 131,06 juta orang, meningkat sebanyak 2,61 juta orang dari Agustus 2020.
ADVERTISEMENT
Pada kasus pengangguran tersebut, bukan tidak mungkin menjadi beban berat masyarakat. Korelasi pengangguran dengan tindakan kekerasan mempunyai hubungan yang erat. Tindakan kekerasan langsung, bisa terlihat nyata. Tetapi kekerasan tidak langsung tidak akan terlihat dampaknya, yang kita kenal dengan kekerasan simbolik. Menurut Pierre Bourdieu (1994), kekerasan simbolik adalah kekuasaan yang dapat dikendali dari tujuannya untuk mendapatkan pengakuan.
Artinya, menurut Chazizah Gusnita dalam jurnal media neliti dapat merentang dalam kekuasaan (baik ekonomi, politik, budaya, atau lainnya) yang memiliki kemampuan tidak dapat dikenali bentuk aslinya, kekerasannya, atau kesewenang-wenangannya. Kekerasan simbolik bekerja dengan mekanisme penyembunyian kekerasan yang dimiliki dan menjadi sesuatu yang “seharusnya memang demikian”.
Berdasarkan teori Pierre Bourdieu dan analisis Chazizah Gusnita kalau kita coba membaca dalam kehidupan sehari-hari, khususnya media sosial, ini cukup terbuka lebar bagi siapa pun untuk menguasai medan sarana eksis tersebut. Apalagi, didorong oleh pengangguran, akan semakin menjadi-jadi.
ADVERTISEMENT
Ketika barang mewahnya dishare ke WAG atau media sosial, masyarakat yang belum bisa mendapatkan barang mewah tersebut, jika tidak bersabar dan memiliki sikap bersyukur akan tergoda dengan cepat. Apalagi misalnya, dishare secara terus-menerus. Pelan tapi pasti akan terpengaruh terhadap para nitizen yang mempunyai banyak luang karena pengangguran atau sekedar rehat di sela-sela waktu bekerja.
Di grup-grup WAG, kita sering menyaksikan dengan mata kepala sendiri, di antara teman-teman kita ada yang inten menyebar berbagai kegiatannya ke grup. Ini memang tidak salah, namun apabila dilakukan secara secara terus menerus akan mampu mengubah dari yang tidak seharusnya menjadi yang seharunya.
Dalam amatan penulis, penyebar berbagai kegiatan tersebut ternyata lebih banyak dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh lokal dan juga tokoh nasional. Tafsirannya menyebar berbagai agenda itu, awalnya terdorong untuk menebar informasi baik. Tetapi, ketika sampai pada kalangan pembaca WAG menjadi bias, rentan menjadi sasaran empuk bagi pihak korban.
ADVERTISEMENT
Menurut Nanang Martono, yang mengamati kekerasan di lembaga pendidikan, menurutnya sekolah seolah-olah mengawetkan dan melanggengkan budaya kelas menengah atas. contohnya, berangkat ke sekolah dengan memakai mobil, liburan ke tempat bergengsi, ke sekolah dengan memaki simbol-simbol orang menengah atas, dan lain sebagainya.
Lebih parahnya lagi, berbagai sikap masyarakat menengah itu masuk ke dalam buku-buku pelajaran anak-anak di sekolah. Maka wajar, pendapat Nanang Martono tersebut mengatakan “sekolah menjadi pihak yang mengawetkan dan melanggengkan perilaku kelas menengah yang mengorbankan kelas bawah.” Lagi-lagi, yang menjadi korban masyarakat kelas bawah. Ibaratnya, “ sudah jatuh dari tangga, tertimpa tangga pula.”
Lalu Harus Bagaimana?
Dok. Pribadi.
Bagi masyarakat digital, sebaiknya, tidak salah apabila akan menyebarkan berbagai informasi ke WAG, baik informasi yang sifatnya pribadi maupun sifatnya umum, terlebih dahulu berpikir ulang. Apakah informasi tersebut akan memberikan manfaat atau tidak.
ADVERTISEMENT
Jika informasi tersebut bermanfaat, silahkan diteruskan untuk disebarkan ke dalam WAG atau media sosial. Tetapi sebaliknya, jika informasi tersebut mengandung muatan pihak tertentu menjadi tergila-gila atau terkena imbasnya, maka sebaiknya tidak disebarkan.
Artinya pada kasus ini, kita sebagai masyarakat digital agar bisa lebih hati-hati dalam menyebarkan berbagai informasi. Sebagai insan yang beragama, akan lebih mulia dalam kehidupan jika menebar sesuatu mengandung muatan nilai-nilai pendidikan yang akan menginspirasi dan juga mendorong masyarakat berbuat baik.
Jika apa yang kita bagikan itu ditiru dan dikerjakan oleh orang lain, maka akan menjadi pahala untuk kita. Sebaliknya, yang kita bagikan kepada WAG itu mengandung nilai negatif atau bermuatan ganda, tidak ada salahnya kita memilih menghindari kerusakan harus lebih diutamakan dan agar kita tidak terkena dosa jariyah dari orang lain yang mengikuti jejak kita.
ADVERTISEMENT
Sementara, bagi yang menerima informasi dari WAG, sebaiknya memandang yang menyangkut masalah materi tidak ke atas, tetapi lihatlah ke bawah. Betapa banyak orang-orang yang ada di bawah kita tidak mempunyai kesempatan baik seperti kita. Sebaliknya, jika melihat kebaikan boleh melihat ke atas, agar kita bisa menebar manfaat lebih kepada orang lain, selama kebaikan itu sesuai dengan “merek” kita. Wallahu a’lam.
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Tangerang