Ketika Sumber Cahaya Melahirkan Kegelapan

Asep Abdurrohman
Pendidik dan Penulis Kehidupan
Konten dari Pengguna
20 Juni 2021 20:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Abdurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketika Sumber Cahaya Melahirkan Kegelapan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Siapa sangka kuasa membawa kebahagian. Kebahagian yang menjadi sumber penghidupan. Coba menengok peralihan kekuasaan itu, ia hanya perubahan suasana saja, tak jauh beda dengan pendahulunya.
ADVERTISEMENT
Jangan terlalu kaget dengan titel seabreg dan gelar mentereng. Bayangan titel hanya menunjukkan pernah kuliah saja, bukan menunjukkan kompetensi, apalagi melahirkan peradaban akhlak yang agung. Idealnya sih begitu, cahaya dan sumber cahaya melahirkan sikap humanis. Melahirkan kegembiraan bagi anggota cahaya, umumnya semua deretan cahaya.
Fenomena ini perlu renungan mendalam, agar rahmat cahaya itu mampu merubah kendala jeritan punguk. Punguk yang berharap mendapat celupan kasih yang mampu melipur sumber asap. Kalau bukan menaung di bawah Sang Pemilik Alam, sirnalah harapan mengepul itu.
Untuk mendayung kembali, pikiran jernih harus mampu melawan sumber cahaya. Melawan dengan tulisan, argumen, gemuruh titah akademik, gemuruh rentetan punguk cahaya, dan berbagai solidaritas cahaya.
Aneh memang, sekembalinya menitah sedikit kabar, namun menaung gumpalan awan gelap yang mengepul. Tiang pancang utama pun tak mampu memburu itu, ia "jadi" simbol keberadaan cahaya yang seperti hanya sekadar ada saja. Pecahan struktur lain pun menyokong tegaknya bangunan cahaya, ia seperti mengokohkan sikap main stream yang melahirkan kasih tak sampai.
ADVERTISEMENT
Sembari memecah air dari salah satu pancaindra, yang menetes tiadaguna yang pecahnya hanya memenangkan nafsu menggelapkan. Sang pecahan cahaya hanya tak berkedip, sembari memegang kepala yang menerawang kebingungan. Biarlah kepala itu dipegang untuk membuang darah yang mengalir tak karuan.
Dari semua itu, tetesan anak cahaya hanya menengadah kepada Sang Empunya Jagat. Meskipun cipratan merah itu menyembur ke segala arah yang menelantarkan berbagai titah motivasi jembatan sementara. Mengucap sambil menengadahlah berharap ada perguliran harapan, agar secercah cahaya mampu menerangi anak benua yang terbawa bulir derasnya kehampaan.
Keyakinan tetap terpancar dari suara yang menggetar. Keheningan pun membisu dalam harapan yang kosong. Ia sesekali tersingkap dari gemuruh bantuan moril yang dilempar oleh sekawan sepenanggungan. Meskipun terkadang retak karena perbedaan arah dan keinginan. Namun, gemuruhnya mampu menjadi cadangan yang mengepul di gas yang menjadi sumber panas.
ADVERTISEMENT
Sesekali, ia menjadi penyambung lidah harapan, namun seringkali berbenturan dengan angin yang memporak-porandakannya. Anginnya memang kencang, seperti badai yang terikat di bawah bendungan tak terurai tetesannya.
Di balik itu, mahkota penyambung itu menyumbal tiang-tiang pancang yang menepi di atas ketukan kursi. Turunlah semangat tiang pancang itu. Dilihatnya sekadar pengobat lara sementara. Setelah obatnya terurai, kembalinya mengalir ke tiang utama. Tiang utama, lagi-lagi mengencangkan tampilan luar.
Tampilannya luar, bagi ia, sepertinya lebih menawan daripada mengobati tampilan dalam. Tampilan dalam dilirik dan dilihat secara gemuk jika berhubungan dengan sikap transaksional. Sembari menggulirkan warta kepada ranting, untuk meneguhkan tampilan luar.
Respons ranting yang sudah patah itu, hanya mendaur harap sambil menyimpan energi, untuk siap mengabdi di mana pun rimba menepi. Gemuruh ranting menepi di tiang, didengar untuk memadamkan agar tak terbakar. Setelah itu, kembali mendarat dan kembali dulu yang membiru di tangan pewarta yang tak lazim memberi warta.
ADVERTISEMENT
Pemberi warta seperti tak bergeming. Lamunan derasnya seperti tidak menyadarkan arus bawah. Seperti relasi yang tidak berguna, bagi masa depan wadah cahaya. Bermain tangan terus di atas awan, sesekali mendarat di bumi hanya untuk memoles nafsu. Lepas mendarat, kembali naik ke tempat empuknya kursi untuk mengukir aturan yang membuat cahaya padam.
Semoga tiang utama yang ditopang oleh tiang-tiang pembantu, mampu melawan nafsu, agar hujan kembali deras ke seantero ranting-ranting cahaya.
Dasana Indah, ditulis sambil menunggu magrib tiba, 17.00-17.47, 20 Juni 2021.
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Tangerang