Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Proklamasi Primordial dalam Kehidupan Manusia
19 Agustus 2021 11:59 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Asep Abdurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tiga hari yang lalu, bangsa Indonesia sebagai negara yang berdaulat sudah merayakan hari Kemerdekaan yang ke-76. Kemerdekaan bangsa Indonesia bukan satu-satunya perjuangan yang dimonopoli kehendak manusia.
ADVERTISEMENT
Dalam kemerdekaan terdapat campur tangan Tuhan, jika tidak, mana mungkin para pejuang yang merebut kemerdekaan dari bangsa penjajah dapat meraih kemerdekaan. Bambu runcing dan persenjataan yang ala kadarnya, cukup sulit untuk mengatakan memenangkan pertempuran melawan penjajah yang bersenjatakan lengkap.
Tapi itulah, Tuhan berkehendak sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, bahwa kemerdekaan itu atas berkat rahmat Allah, bukan atas rahmat manusia yang terbatas. Adalah wajar, manusia bersyukur kepada Tuhan atas anugerah yang besar itu.
Apalagi, kemerdekaan sebuah nikmat besar, yang patut disyukuri dan sekaligus diisi dengan berbagai acara yang memerdekaan. Begitu pun dalam diri manusia, sebenarnya sudah menproklamasikan kemerdekaan. Namun, proklamasi kemerdekaan itu terhalang oleh situasi lingkungan yang menutupi cahaya agama dalam diri manusia.
ADVERTISEMENT
Evaluasi Proklamasi primordial
Secara teologis, dalam diri manusia terdapat ruang bertuhan. Ruang bertuhan ini, sudah ada sejak manusia berada di dalam kandungan ibunya. Pada waktu itu, semua manusia mengakui Allah sebagai Tuhannya (lihat QS. Al-A’raf ayat 172).
Inilah Proklamasi kemerdekaan pertama kali yang dilakukan oleh semua manusia. Proklamasi ini, sebagai bukti bahwa manusia sudah merdeka dari menghamba kepada selain Allah. Konsekwensinya, manusia harus menjaga dan tetap mempertahankan proklamasi itu.
Persoalannya kemudian adalah apakah manusia mampu menjaga dan mempertahankan proklamasi? Jawabannya, tergantung pada situasi dan kondisi lingkungan. Dalam hadis Rasullah melalui jalur Abu Hurairah, bersabda “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah, maka orangtuanya yang menjadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi (HR. Bukhari Muslim).
ADVERTISEMENT
Ulama ahli tafsir menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan fitrah di sini adalah fitrah bertuhan. Manusia fitrah memeluk agama, yaitu agama Islam. Pada hadis di atas, disinggung orangtuanya mempunyai peran atas status agama anaknya.
Logikanya, jika anak itu dilahirkan dari keluarga muslim, maka anaknya berpotensi menjadi anak yang beragama Islam. Sebaliknya, jika anak itu lahir dari keluarga non muslim, kemungkinan besar akan menjadi non muslim.
Ini artinya, lingkungan mempunyai peran yang sangat besar terhadap pembentukan keberagamaan seseorang. Apalagi, lingkungan bukan hanya ada di keluarga, tetapi ada lingkungan tempat tinggal, atau di mana pun anak itu bergaul dan berkomunikasi dengan sesamanya.
Di sinilah, manusia harus menyadari dalam kehidupannya. Setiap saat manusia berada dalam ancaman pengaruh buruk terhadap identitas keberagamaan dan termasuk kebertuhanannya. Oleh karena itu, perjanjian primordial itu harus dapat dipertahankan sampai bertemu dengan Tuhannya.
ADVERTISEMENT
Salat sebagai Benteng Pertahanan
Dalam upaya untuk mempertahankan proklamasi primordial itu, Tuhan menghadirkan fasilitas berupa salat. Di dalam salat, semua manusia muslim diingatkan secara teratur oleh Tuhannya sebanyak 17 kali perhari. Diingatkan bahwa proklamasi berupa perjanjian manusia harus tetap beribadah kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib kita sembah.
Ketika membaca surat al-Fatihah, manusia membaca “iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in.” Ibnu Abbas, ulama ahli tafsir yang hidup pada abad ke-7, menjelaskan bahwa kata “iyyaaka na’budu” berarti kepadaMu lah kami bertauhid dan hanya kepadaMulah kami taat.
Sementara Ibnu Katsir dalam tafsirnya, jilid 1, ulama ahli tafsir yang hidup pada abad ke-14, menafisrkan “iyyaaka na’budu” hanya kepadaMu lah kami bertauhid, hanya kepadaMulah kami merasa takut, dan hanya kepadaMu lah kami berharap.
ADVERTISEMENT
Pada waktu membaca “iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’in” itulah, semua manusia beriman diingatkan kembali oleh Tuhan untuk memegang teguh perjanjiannya primordialnya. Dalam ayat tersebut, manusia hanya mentauhidkan Allah.
Manusia hanya menyembah Allah, bukan menyembah harta, tahta, wanita, dan berbagai materila lainnya. Tetapi manusia hanya beribadah dan bertauhid kepada Allah sebagai satu-satunya yang wajib disembah.
Menurut Ibnu Taimiyah, ulama yang hidup pada abad ke-13, mengatakan dalam Majmu Fatawa, Jilid 1, 2, 5 dan 6 bahwa tauhid terbagi kepada tiga, yitu tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, dan tauhid al-Asma Wa al-Sifat. Tauhid uluhiyah adalah mengakui Allah sebagai satu-satunya yang wajib disembah.
Tauhid rububiyah adalah mengakui Allah sebagai pengatur, pemelihara, pencipta, dan pemberi rezeki manusia. Sementara tauhid al-Asma Wa al-Sifat adalah mengakui Allah mempunyai sifat wajib dan juga sifat mustahil.
ADVERTISEMENT
Jadi, salat sebagai pemelihara proklamasi yang sudah dilakukan manusia ketika di alam rahim. Ketika sedang salat, manusia kembali diingatkan sebanyak 17 kali dalam sehari semalam. Bayangkan, kita yang berusia 20 tahun, dipotong masa baligh 10 tahun misalnya, paling tidak sudah Proklamasi 62.050 kali.
Kita yang sudah berusia 30 tahun, paling sudah 620.500 kali. Kita yang sudah berusia 40 tahun, paling tidak 6.205.000 kali. Kita yang sudah berusia 50 tahun, paling tidak 62.050.000 kali. Kita yang berusia 60 tahun, paling tidak sudah 620.500.000 kali. Dan kita yang berusia 70 tahun, paling tidak sudah 6.205.000.000.
Dengan adanya data di atas, manusia mempunyai tenaga untuk mempertahankan perjanjian sucinya. Meskipun pada ujung-ujungnya, kembali kepada lingkungan sebagai arena untuk menguji manusia. Apakah ia akan kuat, atau justru terbawa arus deras yang meluluh lantahkan keyakinannya. Semoga kita tetap istiqomah berada di jalan-Nya. Aamiin..
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Pertama: Semua manusia sudah melakukan proklamasi dalam rahim. Pada waktu itu, manusia mengatakan mengakui Allah sebagai Tuhan. Namun ketika lahir, tergantung pada lingkungan sekitar. Lingkungan tersebut berupa: tempat tinggal di rumah, tetangga, rekan kerja, dan berbagai aktivitas yang bersentuhan dengan manusia.
Kedua, untuk menjaga manusia, Allah memberikan fasilitas berupa salat. Salat yang kita kerjakan setiap kali, pada hakikatnya akan memperkuat perjanjian tersebut. Bayangkan, kita yang berusia 20 tahun, dipotong masa baligh 10 tahun misalnya, paling tidak sudah Proklamasi 62.050 kali.
Kita yang sudah berusia 30 tahun, paling sudah 620.500 kali. Kita yang sudah berusia 40 tahun, paling tidak 6.205.000 kali. Kita yang sudah berusia 50 tahun, paling tidak 62.050.000 kali. Kita yang berusia 60 tahun, paling tidak sudah 620.500.000 kali. Dan kita yang berusia 70 tahun, paling tidak sudah 6.205.000.000.
ADVERTISEMENT
Teks Khutbah Jum'at, Mesjid Al-Mujadid Pasar Kamis-Tangerang, 20 Agustus 2021.
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Tangerang.