Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Ilusi Kekuasaan dalam Cermin Air dan Sayap Lilin
31 Agustus 2024 16:47 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari asep k nur zaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dalam mitologi dan cerita rakyat di berbagai budaya, kita sering menemukan kisah-kisah tentang sosok yang terperangkap oleh ilusi kekuasaan dan ambisi yang berlebihan. Mereka adalah individu-individu yang begitu terobsesi dengan kehebatan dan keagungan egoistik sehingga kehilangan kemampuan untuk melihat realitas.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia modern, kisah-kisah seperti itu tetap relevan. Hal itu bisa kita jadikan bahan refleksi dari perilaku para pemimpin yang lupa bahwa kekuasaan bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk melayani.
Cermin Narcissus dan Sayap Icarus
ADVERTISEMENT
Bayangkan seorang pemimpin yang berdiri di tepi danau. Ia menatap bayangannya di permukaan air. Seperti Narcissus dalam mitologi Yunani, dia terpukau oleh pantulan dirinya sendiri—pesona kekuasaan, harta, dan pujian yang datang dari pengikutnya.
Narcissus yakin bahwa refleksi pada air itu adalah kenyataan. Dan, semakin lama dia terperangkap dalam cermin air tersebut, semakin besar keyakinan bahwa dirinya adalah pusat alam semesta. Namun, pemimpin seperti ini gagal melihat bahwa air hanyalah permukaan yang tipis, dan di baliknya terdapat kedalaman gelap yang bisa menenggelamkannya kapan saja.
Kisah Narcissus tersebut mengingatkan kita pada bagaimana kekuasaan dapat menciptakan ilusi yang membutakan. Pemimpin yang terlalu asyik dengan kekuasaannya sering kali tidak mampu lagi membedakan antara realitas dan ilusi yang diciptakan oleh lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Ketika pujian dan penghormatan terus mengalir, dia mulai percaya bahwa semuanya adalah hasil dari kebijaksanaannya sendiri. Sayangnya, realitas di luar cermin air itu sering kali jauh berbeda—rakyat yang menderita, keadilan yang terabaikan, dan kemakmuran yang hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Namun, Narcissus bukanlah satu-satunya mitos yang relevan. Icarus, dengan sayap lilinnya yang dibangun oleh ayahnya, Daedalus, juga menawarkan pelajaran penting. Dalam keinginan untuk terbang lebih tinggi, Icarus mengabaikan peringatan dan terbang terlalu dekat dengan matahari. Panas matahari melelehkan sayap lilinnya, dan dia jatuh ke laut, tenggelam bersama ambisinya yang tak terkendali.
Pemimpin yang ambisinya tak terukur sering kali seperti Icarus. Mereka terus mendaki tangga kekuasaan, berusaha mencapai ketinggian yang lebih tinggi, tanpa memperhatikan batasan dan peringatan yang ada. Namun, dalam upaya mencapai puncak, mereka sering kali melupakan realitas di bawah, dan ketika mereka jatuh, keruntuhannya akan menghancurkan bukan hanya diri mereka sendiri, tetapi juga semua yang berada di sekitar mereka.
ADVERTISEMENT
Ambisi yang Membutakan
Dalam kisah pewayangan Mahabharata, kita menemukan tokoh Prabu Duryodana, raja Hastina yang menjadi simbol ambisi buta dan kekuasaan yang diperoleh dengan cara yang licik. Duryodana terobsesi dengan takhta dan kekuasaan, hingga rela menghalalkan segala cara, termasuk memperdaya dan menipu, untuk merebut hak sepupu-sepupunya, Pandawa.
Duryodana adalah sosok yang sangat mirip dengan Narcissus dan Icarus. Dia melihat kekuasaan sebagai cermin air yang memantulkan kejayaannya, dan dia terus berusaha mendaki puncak dengan sayap lilin ambisinya.
Namun, seperti kedua mitos di awal, Duryodana juga akhirnya terperangkap dalam ilusi kekuasaan yang dia ciptakan sendiri. Kemenangan yang diperoleh dengan cara curang, seperti melalui permainan dadu yang menipu, tampak seperti emas di permukaan, tetapi sebenarnya adalah jebakan yang menghancurkan dirinya dan kerajaannya.
ADVERTISEMENT
Perang Bharatayuddha, yang dipicu oleh ambisi Duryodana, membawa kehancuran besar bagi Hastina dan mengorbankan banyak nyawa tak berdosa. Pada akhirnya, Duryodana menemui kehancurannya sendiri, kalah dalam pertempuran dan mati dengan penuh penyesalan. Kekuasaan yang dia kejar mati-matian hanya membawa kehancuran, bukan kejayaan yang dia impikan.
Kekuasaan yang Membakar
Dalam epik Ramayana, kita juga mengenal sosok Rahwana, raja Alengka, yang perkasa namun terperangkap dalam ambisi dan hawa nafsunya. Rahwana adalah raja yang memiliki kekuatan luar biasa, namun kekuasaan dan kehebatannya menjadi senjata yang membakar dirinya sendiri. Dalam keinginannya untuk memiliki Dewi Sinta, istri Rama, Rahwana menculiknya, mengabaikan semua norma dan etika.
Seperti Icarus, Rahwana terbang terlalu tinggi dengan sayap lilin keangkuhannya. Dia percaya bahwa kekuasaannya cukup untuk menaklukkan siapa saja dan mendapatkan apa saja yang dia inginkan. Namun, tindakan ini justru menjadi awal dari kehancuran Alengka. Rama, dengan bantuan pasukan kera yang dipimpin oleh Hanoman, menyerang Alengka dan membakar kota tersebut hingga rata dengan tanah.
ADVERTISEMENT
Rahwana, meskipun kuat, akhirnya menemui kematian di tangan Rama. Kekuasaan yang dia anggap tak terkalahkan, pada akhirnya runtuh bersama ambisi dan nafsunya. Rahwana adalah contoh lain dari pemimpin yang terperangkap dalam ilusi kekuasaan, yang berpikir bahwa dia bisa melampaui batas-batas moral dan etika tanpa konsekuensi.
Cermin untuk Era Modern
Di zaman modern, kisah-kisah tersebut bisa ditarik relevansinya. Pemimpin yang terjebak dalam ilusi kekuasaan sering kali mengabaikan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka terpesona oleh refleksi diri mereka di cermin air kekuasaan, dan terbang terlalu dekat dengan matahari ambisi mereka sendiri. Mereka lupa bahwa kekuasaan yang tidak diimbangi dengan kebijaksanaan dan moralitas hanya akan membawa kehancuran.
Di berbagai negara, kita melihat bagaimana pemimpin yang terlalu ambisius atau terlalu terobsesi dengan kekuasaan dan kekayaan akhirnya jatuh. Mereka yang tidak mendengarkan nasihat atau kritik, yang hanya mengelilingi diri dengan orang-orang yang selalu setuju, akan menemui nasib yang sama seperti Narcissus, Icarus, Duryodana, dan Rahwana.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan dan ambisi, jika tidak dikendalikan, akan menciptakan kehancuran, bukan hanya bagi pemimpin itu sendiri, tetapi juga bagi rakyat dan negara yang mereka pimpin. Pemimpin yang bijaksana adalah mereka yang memahami bahwa kekuasaan adalah sarana, bukan tujuan. Mereka yang mampu melihat realitas di balik cermin air, yang memahami batas-batas sayap lilin mereka, akan mampu membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.
Pelajaran dari Mitos dan Epik
Kisah-kisah mitos dan epik itu juga mengajarkan kita tentang batasan kekuasaan dan bahaya dari ambisi yang berlebihan. Mereka menunjukkan bahwa kekuasaan yang diperoleh dengan cara yang tidak adil, atau digunakan dengan cara yang salah, hanya akan membawa kehancuran. Baik itu dalam mitos Yunani, epik Jawa, atau dalam realitas modern, pelajaran ini tetap relevan.
ADVERTISEMENT
Kita harus ingat bahwa kekuasaan adalah sebuah cermin yang bisa memantulkan kebaikan atau keburukan, tergantung pada siapa yang memegangnya. Sayap lilin ambisi juga harus digunakan dengan bijaksana, agar tidak meleleh di bawah panasnya matahari kesombongan.
Pada akhirnya, hanya pemimpin yang bisa mengendalikan dirinya dan kekuasaannya dengan bijaksana yang akan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.