Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ngaji Virtual: Mudah Tergoda Nge-Klik Konten "Menyimpang"
2 September 2024 12:57 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari asep k nur zaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era digital yang serba canggih ini, teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita, termasuk dalam upaya mendalami ilmu agama. Namun, seiring dengan manfaat yang ditawarkan, muncul tantangan baru yang mengancam esensi dari pembelajaran agama itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Fenomena tersebut dialami oleh banyak orang, salah satunya Diana. Ibu muda ini semula berniat memperdalam ilmu agama dengan bantuan smartphone.
Diana, seperti kebanyakan orang di zaman sekarang, menggunakan teknologi sebagai sarana untuk belajar agama. Ia rutin membaca Al-Quran dari aplikasi, mengikuti ceramah dari kanal YouTube, dan mendengarkan kajian singkat melalui TikTok.
Dengan dua anak yang harus diurus di rumah, cara itu dirasa lebih praktis dan efisien. Awalnya, Diana merasa bahwa teknologi adalah solusi yang tepat bagi mereka yang ingin tetap beribadah dan belajar agama di tengah kesibukan.
Namun, seiring waktu, Diana mulai menyadari ada yang salah. Algoritma YouTube dan TikTok, yang didesain untuk menjaga keterlibatan pengguna, mulai menyuguhkan konten-konten yang tidak sesuai dengan niat awalnya.
ADVERTISEMENT
Video gosip, teori konspirasi, dan bahkan konten provokatif mulai memenuhi layar handphone-nya. Alih-alih memperdalam ilmu agama, waktu Diana justru terbuang untuk menonton video-video yang tidak relevan. Ini adalah salah satu bentuk “setan gepeng” yang muncul tanpa disadari, mengalihkan fokus kita dari tujuan spiritual yang sebenarnya.
Hilang Keberkahan
Fenomena ini tidak hanya berdampak pada hilangnya fokus dalam pembelajaran agama, tetapi juga menyebabkan kita kehilangan keberkahan ilmu. Dalam tradisi agama, ilmu sering kali dianggap lebih berkah ketika diperoleh melalui "kopi darat" atau pertemuan langsung dengan guru agama (ustaz/ulama).
Berinteraksi secara langsung dengan ustaz tidak hanya memungkinkan kita untuk mendapatkan bimbingan yang lebih mendalam, tetapi juga memberikan dimensi spiritual yang lebih kaya. Hal ini sulit didapatkan ketika kita hanya bergantung pada teknologi digital.
ADVERTISEMENT
Menyadari hal ini, Diana memutuskan untuk mencari alternatif. Ia bergabung dengan majelis taklim di lingkungan rumahnya, berharap bisa kembali mendapatkan pembelajaran agama yang lebih mendalam melalui interaksi langsung dengan ustaz dan sesama jamaah.
Di majelis taklim, ia merasa kembali menemukan esensi dari belajar agama yang sejati: melalui bimbingan langsung dan diskusi yang konstruktif. Namun, ironinya, beberapa ustaz di majelis tersebut juga mempromosikan kanal YouTube dan TikTok mereka, kembali menghadapkan Diana pada tantangan digital yang sama.
Kisah Diana adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi banyak orang di era digital ini. Meskipun teknologi memberikan banyak kemudahan, ia juga membawa risiko yang tidak bisa diabaikan. Algoritma digital yang dirancang untuk menjaga keterlibatan pengguna sering kali menggiring kita ke arah yang tidak kita inginkan, menjauhkan kita dari tujuan spiritual yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan antara penggunaan teknologi dan interaksi langsung dalam pembelajaran agama. Teknologi, meskipun bermanfaat, tidak boleh menjadi satu-satunya alat dalam mendalami ilmu agama. Dengan bijak memadukan kedua pendekatan ini, kita dapat tetap fokus pada nilai-nilai agama dan menghindari jebakan digital yang semakin kompleks.