Konten dari Pengguna

Pelajaran Oposisi dari Abad XVII: Kesultanan Cirebon Vs Mataram

asep k nur zaman
Veteran Jurnalis
17 Oktober 2024 9:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari asep k nur zaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Kekuasaan bear Kesultanan Mataram menghadapi sikap oposisi Kesulyanan Cirebon. (Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Kekuasaan bear Kesultanan Mataram menghadapi sikap oposisi Kesulyanan Cirebon. (Istimewa)
ADVERTISEMENT

Oposisi kerap dianggap sebagai tindakan berani yang penuh risiko, terutama ketika menghadapi kekuasaan dominan. Namun, sejarah masa kerajaan mengajarkan bahwa oposisi bukan hanya bentuk perlawanan, melainkan juga strategi diplomasi untuk menjaga otonomi dan kepentingan.

Salah satu contoh klasik yang dapat kita ambil pelajaran adalah perlawanan cerdik Kesultanan Cirebon terhadap hegemoni Kesultanan Mataram di abad ke-17. Meski secara nominal tunduk pada "Raja Jawa" Mataram, Cirebon tidak pernah sepenuhnya menyerahkan kedaulatannya, memilih cara-cara halus untuk mempertahankan kemandirian.
ADVERTISEMENT
Kini, di era modern, penting bagi kita untuk mengambil semangat oposisi tersebut. Jika Kesultanan Cirebon bisa menunjukkan keberanian dan kecerdikan di tengah tekanan kekuasaan yang dominan, mengapa kita harus takut untuk beroposisi hari ini? Apalagi, oposisi bukanlah sesuatu yang asing dalam tradisi politik Indonesia, meski sering kali dianggap bertentangan dengan semangat presidensialisme yang dipraktikkan.
Bagian Demokrasi yang Sehat
Salah satu anggapan yang sering muncul adalah bahwa dalam sistem presidensial seperti Indonesia, oposisi kurang memiliki ruang atau dianggap sebagai "anak haram" dan ancaman bagi stabilitas pemerintahan. Namun, anggapan ini salah kaprah.
Oposisi adalah elemen penting dalam demokrasi yang sehat. Tanpa oposisi, kekuasaan akan berjalan tanpa kontrol, tanpa akuntabilitas, dan cenderung menyalahgunakan kewenangan.
ADVERTISEMENT
Kesultanan Cirebon, dalam sejarahnya, menunjukkan bahwa bahkan dalam kondisi ketika dominasi kekuasaan begitu kuat, oposisi masih bisa diupayakan. Cirebon tidak hanya menyerah pada Mataram, tetapi terus menjaga keseimbangan diplomatik antara kesetiaan simbolis dan perlindungan terhadap kepentingannya sendiri.
Itu adalah cerminan dari oposisi yang matang: tidak selalu frontal, tetapi tetap mempertahankan prinsip dan otonomi.
Koalisi Besar, Peran Oposisi Menyempit
Ironisnya, Indonesia yang secara konstitusional menganut sistem presidensial justru banyak menerapkan pola koalisi besar yang lebih lazim dalam sistem parlementer. Partai-partai besar sering kali "merapat" kepada kekuasaan, dengan alasan menjaga stabilitas pemerintahan. Ini hanya meninggalkan sedikit ruang bagi oposisi, yang seharusnya menjadi penyeimbang dan pengawas.
Namun, inilah tantangannya. Di tengah koalisi besar yang mengepung kekuasaan, penting untuk mengingatkan bahwa tanpa oposisi yang kuat, aspirasi rakyat sering kali terabaikan.
ADVERTISEMENT
Sejarah mengajarkan bahwa oposisi yang cerdas dapat menjaga hak-hak rakyat meski berada di bawah tekanan kekuasaan dominan. Seperti Cirebon yang tetap berdiri tegar di hadapan Mataram, oposisi di era modern harus tetap berani dan tidak tersingkirkan oleh dominasi koalisi.
Jangan Takut untuk Beroposisi
Sejarah Kesultanan Cirebon mengajarkan bahwa beroposisi bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti, melainkan perlu dilakukan dengan strategi yang tepat. Panembahan Girilaya mungkin tunduk secara simbolis pada Amangkurat I, tetapi Cirebon tetap melindungi para pelarian Mataram dan tidak sepenuhnya menyerahkan kedaulatan mereka kepada "Raja Jawa". Ini adalah bentuk oposisi yang halus, tetapi signifikan.
Di era modern, kita seharusnya tidak kalah berani dari Cirebon. Ketika ada kekuasaan yang terlalu dominan atau cenderung menyalahgunakan wewenangnya, oposisi harus berani muncul. Tidak ada alasan untuk takut atau berdiam diri. Demokrasi yang kuat tidak akan berjalan tanpa oposisi yang berani.
ADVERTISEMENT
Penjaga Keseimbangan Kekuasaan
Ketakutan terhadap oposisi sering kali dibesar-besarkan oleh mereka yang berkuasa. Mereka yang menentang gagasan oposisi biasanya berargumen bahwa oposisi akan merusak stabilitas atau menciptakan konflik.
Namun, tanpa oposisi, kekuasaan akan berjalan tanpa batas. Oposisi adalah penjaga keseimbangan kekuasaan, memastikan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah tetap berada di jalur yang benar dan tidak merugikan rakyat.
Kesultanan Cirebon memahami hal ini dalam konteks hubungan mereka dengan Mataram. Mereka tahu bahwa menyerahkan semua kepada Mataram akan menghancurkan otonomi mereka. Maka dari itu, Cirebon mempertahankan oposisi mereka dengan strategi yang cerdas, menggunakan diplomasi dan hubungan dengan Banten untuk memperkuat posisi mereka.
Di era modern, oposisi harus tetap berperan sebagai pengawas dan pengkritik yang konstruktif terhadap kebijakan pemerintah, memastikan bahwa demokrasi tetap berjalan dengan baik.
ADVERTISEMENT
Sejarah mengajarkan bahwa kekuasaan yang dominan selalu membutuhkan oposisi yang kuat untuk menjaga keseimbangan. Amangkurat I dari Mataram, meski sangat berkuasa, tidak bisa sepenuhnya menaklukkan Cirebon karena ada oposisi yang muncul dari kesultanan kecil ini.
Hal yang sama berlaku di era modern. Tidak peduli seberapa besar kekuasaan yang dipegang oleh pemerintah, selalu ada ruang bagi oposisi untuk mempertahankan hak-hak rakyat dan mengkritisi kebijakan yang salah arah.
Oposisi Bukan Ancaman, tetapi Kekuatan
Pada akhirnya, pelajaran dari Kesultanan Cirebon dan hubungannya dengan Mataram mengingatkan kita bahwa oposisi adalah elemen penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan. Di era modern, oposisi harus dilihat sebagai kekuatan yang konstruktif, bukan ancaman bagi stabilitas.
Kita tidak boleh kalah oleh mereka yang berani beroposisi. Justru, oposisi yang kuat adalah fondasi dari demokrasi yang sehat, supaya kekuasaan tidak berjalan tanpa kontrol, dan rakyat tetap memiliki suara dalam menentukan arah bangsa.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem demokrasi, oposisi adalah hak yang tidak bisa diabaikan, dan kita harus berani menegaskan posisi ini, bahkan dalam tekanan politik yang berat. Belajar dari Cirebon, kita harus tetap tegar dan cerdas dalam beroposisi, memastikan bahwa kekuasaan yang dominan tidak mengabaikan hak-hak dan aspirasi rakyat.