Konten dari Pengguna

DITUNDANYA KLASTER KETENAGAKERJAAN, BANGKITKAN DIALOG TRADISI LEGISLASI

28 April 2020 9:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Rohimat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penulis : Dr. Atang Irawan, Dosen Fakultas Hukum Unpas Bandung
Foto : Dr. Atang Irawan (dok. pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Foto : Dr. Atang Irawan (dok. pribadi)
Terlepas dari kekurangan RUU Omnibus, RUU ini memberikan harapan besar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien dalam menghilangkan birokratis rente, sebagai penghambat akselerasi pemerintahan dalam pelayanan perizinan dan pelayanan non perizinan selama ini, penyederhanaan pelayanan dalam RUU Omnibus dilakukan melalui pergeseran wewenang dari kementerian dan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat (presiden) sehingga memperpendek jalur birokrasi. Demikian halnya dengan problem obesitas peraturan pusat, kementerian dan daerah yang mengakibatkan tumpang tindih bahkan telah melahirkan ego sektoral.
ADVERTISEMENT
Dengan menyederhanakan peraturan dan menciptakan debirokratisasi, RUU Omnibus dapat menyumbat potensi terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, sebagaimana diketahui bersama bahwa kanal korupsi dan gratifikasi lahir dari ‘rahim’ birokrasi yang terlalu panjang dan berbelit-belit dalam pelayanan baik perizinan maupun non perizinan.
Dari 11 klaster RUU Omnibus, materi yang sangat kontroversial adalah Klaster Ketenagakerjaan, hampir seluruh serikat pekerja melakukan penolakan, adapun alasan tersebut tidak hanya materi seperti, hilangnya Izin Mempekerjakan Tenaga kerja Asing (IMTA), potensial hilangnya tenaga kerja tetap, lebih mengutamakan kerja kontrak dan outsourcing, hilangnya Upah Minimum Kabupaten/Kota, semakin mempermudah PHK, hak cuti tanpa pembayaran, dan lain sebagainya. Buruh juga menyayangkan pembahasan RUU Omnibus dilaksanakan dalam suasana kegentingan virus Corona.
ADVERTISEMENT
Pergumulan diskursus tentang pembahasan RUU Omnibus, pada akhirnya disambut Presiden Jokowi pada tanggal 24 April 2020, dengan menyampaikan penundaan pembahasan Klaster Ketenagakerjaan, Presiden juga menyatakan bahwa “Penundaan pembahasan Klaster Ketenagakerjaan dalam rangka mendalami substansi dari pasal-pasal terkait, dan juga untuk mendapatkan masukan-masukan dari pemangku kepentingan”.
Berdasarkan hal tersebut, Klaster Ketenagakerjaan tetap dibahas di akhir setelah 10 (sepuluh) klaster yang lainnya telah selesai di bahas, sehingga Klaster Ketenagakerjaan tidak dicabut dalam RUU Omnibus. Dengan demkian dapat terjadi beberapa kemungkinan, kemungkinan pertama, pembahasan tetap dilaksanakan hingga akhir tahun sidang, jika tidak sesuai target pemerintah dalam 100 (seratus) hari atau melampaui akhir tahun sidang, maka RUU Omnibus dilanjutkan menjadi prioritas tahun berikutnya.
ADVERTISEMENT
Kemungkinan kedua, pemerintah sebagai pengusul dapat mencabut Klaster Ketenagakerjaan sebelum pembahasan bersama DPR, dan kemungkinan ketiga, DPR dalam pembahasan menolak Klaster Ketenagakerjaan pada pembahasan tingkat II dalam sidang paripurna, artinya menyepakati RUU Omnibus dengan menolak Klaster Ketenagakerjaan.
Harapan besar dari pemerintah, penundaan Klaster Ketenagakerjaan dapat membuka ruang bagi semua pihak untuk memberikan masukan secara konstruktif terhadap materi-materi ketenagakerjaan, tentunya bukan berarti klaster lain tidak ada ruang pendapat publik. Semoga ini menjadi momentum yang baik bagi tradisi legislasi di republik ini, membuka kanal peran aktif rakyat untuk berkontribusi dalam pembahasan RUU.
Momentum dialog dalam proses legislasi adalah langkah maju, agar produk legislasi dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan bagi rakyat, untuk menghasilkan produk hukum yang responsif dan dan adaptif terhadap kepentingan kebangsaan. Perbedaan pandangan dalam negara demokrasi adalah prasyarat mutlak, demokrasi sesungguhnya alergi dengan pendapat tunggal, sehingga energi demokrasi akan tumbuh dan berkembang dalam dialektika perbedaan gagasan bahkan kritik.
ADVERTISEMENT
Tradisi dialog dengan berbagai kepentingan dalam legislasi dirasakan kurang, sebagaimana ditunjukan dalam berbagai orkestrasi penolakan pada sejumlah RUU di masa lalu, padahal kanal dialog dibuka lebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dialog bukan hanya formalisme layaknya dramatisasi dalam sebuah orkestrasi, tetapi hal ini merupakan keyakinan bersama, bahwa peraturan perundang-undangan yang baik adalah peraturan-perundang-undangan yang lebih banyak merespon aspirasi rakyat, karena aspirasi merupakan bagian dari kesadaran hukum rakyat (conscience).
Memperhatikan urjensi simplikasi dan debirokratisasi dalam investasi dan percepatan perizinan di bidang usaha, sebaiknya Klaster Ketenagakerjaan dicabut dari RUU Omnibus, baik itu oleh pengusul (pemerintah) atau diusulkan oleh DPR dalam pembahasan. Klaster Ketenagakerjaan dijadikan agenda pembahasan dalam RUU terkait, yaitu perubahan UU Ketenagakerjaan di tahun sidang berikut atau jika dimungkinkan menjadi skala prioritas tahun sidang 2020.
ADVERTISEMENT