“QUO VADIS” PUSAT LEGISLASI NASIONAL

Konten dari Pengguna
18 April 2020 13:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Rohimat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penulis : Dr. Atang Irawan, Dosen Fakultas Hukum Unpas Bandung
Foto : Dr. Atang Irawan (dok. pribadi)
“Kejahatan sempurna yang mengakibatkan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan adalah kejahatan yang dilakukan secara terstuktur dan sistematis dalam perumusan peraturan perundang-undangan”. Kalimat ini mengisyaratakan bahwa kejahatan dalam pembentukan regulasi lebih kejam daripada kejahatan biasa, karena dapat merugikan banyak orang, berbeda dengan kejahatan biasa yang dampak kerugiannya hanya dialami oleh seseorang atau beberapa orang saja.
ADVERTISEMENT
Masih ingatkah pada suasana dialektika gagasan dalam Debat Capres 2019? Pasangan Jokowi-Maruf Amin pernah menjanjikan pembentukan ‘Pusat Legislasi Nasional’ (PLN) untuk merampingkan regulasi, meskipun gagasan ini nyaris tak terdengar dalam penetapan formasi ‘Kabinet Indonesia Maju’, bahkan hingga kini, bayangan PLN semakin hari semakin meredup.
Pemikiran tentang PLN telah memberikan angin segar pagi para penggiat hukum, paling tidak membangkitkan imajinasi tentang proses pemberian ‘vaksin’ atas liarnya (legisferitis) regulasi, yang acapkali membangkitkan pencemaran dalam lingkungan yuridis (juridische milieuveruling). Regulasi sering menimbulkan masalah, bahkan terkuat anekdot di republik ini, pembentukan regulasi dalam rangka ‘mengatasi masalah dengan masalah’.
Dalam perspektif teoritikal, tidak sedikit para penggiat hukum ‘mengamini’ pandangan Mahfud MD, bahwa “hukum merupakan produk politik”. Pembentukan regulasi secara praktikal tidak mungkin terlepas dari politik, bahkan ekstrimnya terpasung dalam bingkai kepentingan konfigurasi politik. Namun perlu disadari bahwa produk hukum akhirnya harus dipatuhi oleh seluruh elemen bangsa tidak terkecuali bagi para perumusnya, sehingga regulasi seharusnya memenuhi syarat keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum bagi rakyat. Pada kenyataanya regulasi semakin menjauh dari kepentingan rakyat (mismatch between law and society).
ADVERTISEMENT
Salah satu problem krusial regulasi di Indonesia adalah terlalu banyaknya peraturan perundang-undangan, sehingga mengalami obesitas/over capacity. Hal ini diakibatkan karena penyelenggara negara telah mengalami kecanduan (wetgevingsverslaving) dalam pembentukan regulasi. Misalnya dalam prolegnas dan/atau program pembentukan perda (Propemperda) ada kalanya hanya berkisah tentang banyaknya daftar regulasi (wishlist). Regulasi di republik ini telah memasuki ‘stadium IV’ yang harus segera ditindaklanjuti, tentunya bukan lagi hanya melakukan koreksi, tetapi harus segera dilakukan ‘amputasi’ dengan memangkas kewenangan organ negara yang menjadi pemicu (trigger) terbukanya kanal pembentukan regulasi.
Kanal pembentukan ‘Pusat Legislasi Nasional’ dibuka dalam Undang-Undang (UU) No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Salah satunya mengamanatkan pembentukan lembaga/badan yang mengurusi pembentukan/penyusunan peraturan perundang-undangan di internal pemerintahan baik pusat maupun daerah, meskipun belum terlihat kemauan pemerintah dalam pembentukan PLN.
ADVERTISEMENT
Suasana obesitas regulasi semakin terpampang saat ini, dengan serangkai regulasi mulai dari Perppu, PP, Perpres, dan Keppres, serta Permen dan diikuti aturan lain seperti surat edaran, pengumuman (maklumat) dalam penanganan Covid-19, sehingga menjadi kewajaran jika dalam implementasinya terjadi disharmoni antar lembaga pemerintah bahkan dengan pemerintah daerah. Seperti yang disaksikan bersama, terjadi disharmoni antara permenkes dan permenhub tentang ojek online, demikian juga antar pusat dan daerah.
Peristiwa ini memang memilukan, mengingatkan ‘semrawutnya’ regulasi saat republik ini baru merdeka, munculnya UU Darurat, Penetaan Presiden, UU Federal, Maklumat bahkan Dektrit. Meskipun sangat disadari karena pada saat itu belum terdapat sumber tertib hukum, baru pada tahun 1966, dengan ditetapkannya tap MPRS No XX Tahun 1966 tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Pemerintah juga menyadari obsetitas regulasi menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi, bahkan dalam RUU Omnibus, pemerintah telah memaparkan hyper regulasi yaitu terdapat 8.486 Peraturan Pusat, 14.815 peraturan menteri, 4.337 Peraturan LPNK, dan 15.966 perda, sehingga totalnya 43.604 peraturan.
ADVERTISEMENT
Jika boleh berkhayal, sebaiknya PLN segera dibentuk. Hal ini dapat membantu negara dalam rangka merajut serangkaian RUU Omnibus yang mengusung semangat simplikasi. Namun di dalamnya terbuka kanal delegasi yang terlalu banyak diatur kemudian dengan/dalam peraturan pemerintah. Adapun PLN dapat ditetapkan dalam bentuk Badan di bawah Presiden, sehingga kedudukannya lebih kuat bukan merupakan subordinat dari organ pemerintah lainnya (kementerian). Badan ini nantinya akan bertugas melakukan harmonisasi dan/atau sinkronisasi terhadap regulasi yang dirumuskan oleh pemerintahan, termasuk kementerian hingga pemerintah daerah. Dengan demikian setiap rancangan regulasi hanya dapat ditetapkan setelah dilakukan harmonisasi dan/atau sinkronisasi oleh Badan tersebut.
Tanpa Badan ini semangat simplikasi akan sulit dicapai, apalagi Presiden dan kementerian tidak lagi dapat melakukan pembatalan terhadap regulasi di daerah, karena kewenangan dalam UU Pemda dibatalkan oleh MK. Padahal diyakini bahwa simplikasi dapat menjadi ‘obat mujarab’ untuk memecahkan masalah obesitas peraturan regulasi yang acap kali tumpang tindih dan disharmoni. Simplikasi regulasi dapat ‘memberangus’ birokratis rente penyelenggaraan pemerintahan, sehingga debirkoratisasi menjadi tujuan dalam simplikasi regulasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Patut diperhatikan bahwa pembentukan Badan saja tidak cukup. Perlu juga menyumbat kanal-kanal kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan, misalnya dalam Pasal 8 UU P3 yang membuka ruang lebar kepada seluruh organ negara baik yang bersifat main organ (organ utama) atau auxiliary organ (organ penunjang), termasuk juga regulasi di daerah berdasarkan permendagri tentang produk hukum daerah.