Konten dari Pengguna

Minangkabau : Beberapa Pepatahnya untuk Gen Z yang Mengajarkan Tentang Kehidupan

Asilah Sahlaa
Mahasiswi Universitas Andalas
3 Oktober 2024 20:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asilah Sahlaa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : https://www.canva.com/design/DAGShORvU8Y/tNozA5tbkiARxwli9_NzNA/view?utm_content=DAGShORvU8Y&utm_campaign=share_your_design&utm_medium=link&utm_source=shareyourdesignpanel
zoom-in-whitePerbesar
sumber : https://www.canva.com/design/DAGShORvU8Y/tNozA5tbkiARxwli9_NzNA/view?utm_content=DAGShORvU8Y&utm_campaign=share_your_design&utm_medium=link&utm_source=shareyourdesignpanel
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mengetahui penjelasan mengenai Gen Z seperti yang dijabarkan di atas, tumbuh dan berkembang di pinggiran kota Padang sebagai perempuan asli Minangkabau membuatku sedikit tertarik untuk menggiring masuk wujud kebudayaan Minangkabau pada tulisanku ini, sebagai caraku untuk memanfaatkan julukan yang sudah diberikan kepada Gen Z yaitu “Digital Native”.
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang wujud budaya dari Minangkabau tentunya tidak akan jauh-jauh dari makanan khasnya, kesenian yang terus berkembang, karya-karya oleh pendahulu yang masih terkenal hingga saat ini, atau tempat-tempat wisata yang selalu memunculkan pujian dari setiap pengunjung yang berdatangan. Namun, di sini aku akan lebih menekankan kepada caraku melihat kebudayaan Minangkabau sebagai perempuan yang dibesarkan di daerah yang terkenal dengan masakan Rendang ini.
Kembali membahas mengenai Gen Z, dibalik gelar keren yang diberikan kepada mereka, “Digital Native” itu sendiri memberikan banyak dampak buruk yang banyak menyinggung kesehatan mental Gen Z itu sendiri. Saat ini kita sebagai Gen z sudah menormalisasikan budaya individualisme yang beriringan dengan peningkatan kasus depresi, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya dikarenakan dari berbagai tekanan baik dari aspek kehidupan, seperti akademik, sosial, ekonomi dan lain-lain. Dari sinilah aku merasa beruntung tumbuh di Minangkabau dengan kebudayaan yang diterapkannya. Dalam buku Alam Takambang Jadi Guru karya A.A. Navis banyak sekali dijelaskan tentang falsafah Minangkabau yang aku sendiri merasa terbantu sebagai Gen Z untuk menghadapi kehidupan di lingkungan sosial yang beriringan dengan berbagai tekanan tersebut. Berikut beberapa falsafah yang menurutku menarik untuk dibahas oleh kita sebagai Gen Z:
ADVERTISEMENT
1.     Manusia dan Individu
Falsafah alam Minangkabau meletakkan manusia sebagai salah satu unsur yang statusnya sama dengan unsur lainnya, seperti tanah, rumah, suku, dan nagari. Menurut pikiran masyarakat Minangkabau, manusia atau borang merupakan sesuatu yang sempurna, seperti sempurnanya matahari dengan sinarnya, bulan dengan cahayanya, api dengan panasnya, angin dengan busannya, seperti kata pituah Minangkabau “Tagak samo tinggi, duduak samo randah”.
Pemikiran seperti ini seharusnya lebih diterapkan oleh kita semua terutama generasi muda yang sudah tercemar sekali dengan budaya-budaya asing. Kegagalan diri mereka yang menyaring budaya-budaya luar itu masuk mempengaruhi pikiran mereka. Saat ini banyak sekali kasus yang muncul di kalangan remaja yang menganggap dirinya lebih dari orang lain dan hal inilah yang nantinya menjadi cikal bakal tumbuhnya budaya penindasan.
ADVERTISEMENT
2.     Harga Diri
Ego seorang manusia di dorong oleh motivasi yang bertemakan “malawan dunia urang” atau dalam bahasa Indonesianya dapat diartikan sebagai melawan dunia orang. Tema ini mengandung amanat untuk hidup terus-menerus dalam mencapai kemuliaan, kenamaan, kepintaran, dan kekayaan seperti yang dimiliki orang lain. Seperti sebuah petuah : Mau mulia bertabur urai, mau ternama dirikan kemenangan, mau pintar rajin berguru, mau kaya kaut berusaha. Nilai yang dicapai dalam melawan dunia orang diukur dengan prestasi orang lain. “Baa di urang, baa di awak” yang memiliki arti, bila orang lain mampu, kita pun tentulah mampu. Petuah ini masih berhubungan dnegan falsafah sebelumnya tentang bagaimana manusia itu statusnya sama.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini yang menjadi permasalahan utama bagi Gen Z adalah pengaruh sosial media yang sangat berdampak bagi pola pikir mereka. Sosial media yang menjadi pintu ajaib untuk ke mana saja memberikan kesempatan kepada penggunanya untuk mencari apa saja yang mereka inginkan. Beruntung bagi pengguna yang dapat memilah apa yang dapat mereka lihat karena pada kenyataannya sekarang banyak dari Gen Z yang menggunakan sosial media malah merasa tersaingi dengan apa yang mereka lihat di luar sana. Rasa tersaingi bukannya membakar semangat mereka untuk menjadi yang lebih baik sesuai dengan petuah yang disampaikan sebelumnya, melainkan sebaliknya. Rasa iri dan merasa tidak cukup membuat kita sebagai Gen Z merasa tidak mampu untuk memperoleh sesuatu yang sebenarnya bisa kita perjuangkan juga. Oleh sebab itu ada baiknya untuk lebih bijak lagi dalam menggunakan sosial media dengan menerapkan pemikiran yang lebih sehat.
ADVERTISEMENT
3.     Pola Awak sama Awak
Awak artinya sama dengan anggota atau kita. Orang Minangkabau sendiri membentuk masyarakat yang komunalistik, baik dalam kediaman, sosial maupun dalam usaha dengan cara hidup berkelompok. Setiap kelompok nantinya akan berbaur dengan identitas masing-masing yang terpelihara dalam suatu ikatan kebudayaan dan falsafah yang sama. Karena kehidupan yang berkelompok inilah nantinya setiap kesulitan, kejayaan atau kepentingan seseorang, kerabat, kaum, bahkan sealam Minangkabau, merupakan kesulitan, kejayaan, dan kepentingan bersama.
Mudahnya pola pikir “Awak samo awak” atau “Awak sama awak” ini mengarah pada rasa simpati dan empati yang dirasakan seseorang kepada orang lain. Ketika seseorang yang ada di lingkup kita tengah ditimpa musibah, kita akan turut merasakan kesedihan yang sama begitu juga sebaliknya. Nah, yang kita temukan sekarang ini terutama dilingkungan Gen Z sudah sangat menipis rasa simpati dan empati yang mereka miliki. Sifat bodoamat dirasa lebih “keren” ketimbang harus memiliki kepedulian terhadap orang lain, karena dipercaya banyak faktor-faktor yang membuat mereka lebih memilih sibuk mengurusi diri sendiri daripada harus susah-susah memikirkan orang lain.
ADVERTISEMENT
Pemikiran seperti itu tentunya akan membawa pada perpecahan dan akan lebih memperkuat budaya individualisme terutama pada Gen Z, karena seperti yang kita tahu, Gen Z akan lebih cenderung pada apa yang sekarang tengah banyak diminati banyak orang. Oleh karena itu, salah satu falsafah Minangkabau ini sebaiknya lebih dipahami oleh kita sebagai Gen Z dan mengubah pola pikir kita serta cara pandang kita terhadap orang lain dengan pemikiran yang lebih positif.
Masih banyak sekali falsafah Minangkabau lainnya yang dituliskan oleh A.A Navis dalam buku tersebut namun aku mencoba mengambil tiga poin di atas sesuai dengan pemahamanku tentang falsafah tersebut dan bagaimana aku sebagai Gen Z membandingkannya dengan apa yang umumnya terjadi sekarang. Secara umum, falsafah-falsafah atau petuah-petuah Minang itu menjelaskan kepada kita seberapa berharganya kita sebagai manusia yang diciptakan dengan akal dan pemikiran yang luar biasa. Hidup berdampingan dengan manusia lainnya kemudian dapat bekerja sama untuk memunculkan ide atau gagasan baru dalam hidup dengan belajar kepada lingkungan sekitar atau alam semesta.
ADVERTISEMENT
Seharusnya kita sebagai manusia yang hidup berdampingan tentunya harus memanfaatkan kondisi itu dengan baik. Tolong menolong, kepedulian, saling menghargai sudah sangat jarang kita rasakan seiring berjalannya waktu. Pengaruh budaya luar yang juga tidak bisa dihambat kehadirannya membuat banyak timbulnya opini-opini baru membuat kita orang awam menjadi terpecah belah. Diharapkan dengan tulisan ini kita sebagai Gen Z bisa lebih paham lagi dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar agar dapat membawa perubahan yang lebih baik ke depanya.