Konten dari Pengguna

Tentang Rumah Gadang dan Kesusastraan Minangkabau

Asilah Sahlaa
Mahasiswi Universitas Andalas
8 Oktober 2024 11:06 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asilah Sahlaa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : https://www.canva.com/design/DAGShORvU8Y/cdSwPECYqHnzbLrup67KmQ/edit?utm_content=DAGShORvU8Y&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=sharebutton
zoom-in-whitePerbesar
sumber : https://www.canva.com/design/DAGShORvU8Y/cdSwPECYqHnzbLrup67KmQ/edit?utm_content=DAGShORvU8Y&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=sharebutton
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dilihat dari bentuk dasarnya, rumah gadang berbentuk segi empat yang tidak simetris yang mengembang ke atas. Garis melintangnya melengkung secara tajam dan juga landai dengan bagian tengahnya lebih rendah. Lengkung pada atapnya tajam seperti garis tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan rumah landai seperti badan kapal.
ADVERTISEMENT
Ternyata Rumah Gadang ini memiliki nama yang beragam menurut bentuk, ukuran, serta gaya keselarasan dan gaya luhak. Menurut bentuknya, Rumah Gadang lazim disebut Rumah Gonjong atau Rumah Bagonjong karena bentuk atapnya yang bergonjong runcing menjulang. Jika menurut ukurannya, ia tergantung pada jumlah lanjarnya. Lanjar ialah ruangan dari depan ke belakang. Sedangkan ruangan yang berjajar dari kiri ke kanan disebut ruang. Rumah yang berlanjar dua dinamakan lipek pandan, rumah yang berlanjar tiga disebut balah babuang.
Menurut gaya keselarasan, Rumah Gadang aliran Koto Piliang disebut si tinjau laut. Kedua ujung rumah diberi beranjung, yakni sebuah ruangan kecil yang lantainya lebih tinggi. Karena beranjung itu ia disebut dengan rumah baanjunang. Sedangkan rumah dari aliran Bodi Caniago lazimnya disebut rumah gadang, bangunannya tidak beranjung atau berserambi sebagaimana rumah dari aliran Koto Piliang, seperti halnya yang terdapat di Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto.
ADVERTISEMENT
Rumah Gadang secara bahasa dapat diartikan sebagai rumah yang besar. Dikatakan besar bukan karena fisiknya melainkan karena Rumah Gadang memiliki fungsi yang  besar. Selain sebagai tempat kediaman keluarga, fungsi Rumah Gadang juga sebagai lambang kehadiran suatu kaum serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan, seperti tempat bermufakat dan melaksanakan berbagai upacara, bahkan juga sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit.
Sebagai tempat tinggal bersama, Rumah Gadang mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Setiap perempuan yang bersuami memperoleh sebuah kamar. Perempuan termuda memperoleh kamar terujung. Pada gilirannya ia akan berpindah ke tengah jika seorang gadis memperoleh suami pula. Perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat kamar dekat dapur. Sedangkan gadis remaja memperoleh kamar bersama pada ujung yang lain. Untuk laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau milik kaumnya masing-masing. Penempatan pasangan suami istri baru di kamar yang terujung, ialah agar suasana mereka tidak terganggu kesibukannya dalam rumah. Demikian pula menempatkan perempuan tua dan anak-anak pada suatu kamar dekat dapur ialah karena keadaan fisiknya yang memerlukan turun naik rumah bila malam hari.
ADVERTISEMENT
Sebagai tempat bermufakat, Rumah Gadang merupakan bangunan pusat dari seluruh anggota kaum dalam membicarakan masalah mereka bersama.
Sebagai tempat melaksanakan upacara, Rumah Gadang menjadi penting dalam meletakkan tingkat martabat mereka pada tempat yang semestinya. Di sanalah dilakukan penobatan penghulu. Di sanalah tempat pusat penjamuan penting untuk berbagai keperluan dalam menghadapi orang lain dan tempat penghulu menanti tamu-tamu yang mereka hormati.
Sebagai tempat merawat keluarga, Rumah Gadang berperan pula sebagai rumah sakit setiap laki-laki yang menjadi keluarga mereka. Seorang laki-laki yang diperkirakan ajalnya akan sampai akan dibawa ke Rumah Gadang atau ke rumah tempat ia dilahirkan.
Selain Rumah Gadang, masyarakat Minangkabau juga memiliki ciri khas lainnya dalam segi bahasa. Bahasa Minangkabau sendiri memiliki banyak dialek yang berbeda dari setiap luhaknya, bahkan dialek di suatu nagari yang bertetangga pun bisa berbeda, setidaknya dalam irama. Ada dialek yang melodius, ada yang rata, juga ada yang kasar. Namun, ada juga suatu bahasa umum yang menjadi pengantar bagi seluruh suku bangsa. Bahasa umum inilah yang menjadi pendukung kesusastraan Minangkabau.
ADVERTISEMENT
Kesusastraan Minangkabau banyak mengandung ungkapan yang plastis dan penuh dengan kiasan, sindiran, perumpamaan atau ibarat, pepatah, petitih, mamangan, dan sebagainya yang dikategorikan para ahli sebagai peribahasa. Meskipun dalam percakapan sehari-hari orang biasa menggunakan peribahasa, bahasa percakapan banyak berbeda dengan bahasa kesusastraan. Kalimatnya panjang-panjang dengan menggunakan banyak anak aklimat, yang masing-masing terdiri dari empat buah kata, tidak ubahnya seperti kalimat pantun. Oleh karena itu mengungkapkannya tidak ubahnya sebagaimana mengungkapkan pantun dengan irama dan tekanan suara yang teratur.
Buah kesusastraan Minangkabau yang terpenting adalah pantun, kaba, dan pidato. Pantun menjadi buah bibir, bunga kaba dan hiasan pidato. Pantun terdiri dalam beberapa baris dalam jumlah yang genap, dari dua baris sampai dua belas baris. Setiap baris terdiri dari empat kata dengan rima akhir yang sama. Separuh berikutnya adalah isi pantun yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Untuk masyarakat Minangkabau pantun yang terdiri dari enam sampai dua belas baris disebut dengan Talibun. Selain itu ada juga pantun yang terdiri dari empat baris dan beberapa untai yang dinamai dengan Seloka. Menurut isinya, di Minangkabau pantun dibedakan menjadi lima jenis pantun di antaranya; pantun adat, pantun tua, pantun muda, pantun duka, dan pantun suka.
Pantun adat digunakan dalam pidato, isinya berupa kutipan undang-undang, hukum, tambo, dan sebagainya, yang berhubungan dengan adat. Pantun tua berisi petuah orang tua kepada anak muda, yang mengandung nasihat serta ajaran yang etik yang lazim berlaku di masa itu. Pantun muda lebih mengarah kepada pantun asmara, yang mengiaskan atau menyindirkan betapa dalam cinta asmara yang terpendam. Isi pantun ini sering merupakan dialog antara bujang dan gadis yang seorang menyatakan cintanya dan yang seorang meminta bukti. Kemudian ada pantun duka yang umumnya diucapkan anak dagang yang miskin, yang tidak sukses hidupnya di rantau.
ADVERTISEMENT
Selain pantun, dalam kesusastraan Minangkabau ada cerita yang disebut dengan Kaba. Kaba sendiri merupakan cerita rakyat di samping dongeng, hikayat, dan cerita lainnya. Ada beberapa perbedaan yang khas antara Kaba dan lainnya, seperti bahasanya liris, ungkapan-ungkapannya yang plastis, dan penggunaan pantun yang cukup dominan. Hadirnya pantun dalam Kaba merupakan unsur yang paling dominan. Pada umunya setiap Kaba  dibuka dengan pantun dan ditutup juga dengan pantun.
Dengan mengangkat tema yang serba menyenangkan, fungsi kaba betul-betul sebagai pelipur lara. Peristiwa yang dikisahkan pada suatu tempat yang tidak jelas lokasinya dan pelaku diberi nama-nama yang tidak lazim dipakai, seperti pada cerita hikayat. Banyak kisah raja atau anak raja, tetapi tidak ada cerita epos dan episode sejarah Minangkabau.
ADVERTISEMENT