Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Lelaki di Bayang-Bayang Titik Nol
4 Mei 2025 16:48 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Aslamuddin Lasawedy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

PAGI itu, lelaki itu terbangun di kamar kontrakannya yang sempit di pinggiran kota. Dindingnya berjamur. Catnya mengelupas seperti kenangan yang tak lagi mau melekat. Di luar jendela kamarnya, dunia terus bergerak. Klakson kendaraan sahut-menyahut begitu berisik. Di warung kopi penuh obrolan kosong. Sementara notifikasi ponselnya, nyaris tak pernah membawa kabar baik.
ADVERTISEMENT
Namanya Sofyan, setidaknya begitu nama yang tertulis di KTP-nya yang sudah lama kedaluwarsa secara spiritual. Ia bukan siapa-siapa lagi. Dulu, ia pernah menjadi seseorang yang begitu diperhitungkan. Lulusan terbaik. Aktivis kampus. Pencinta buku. Penyimpan puisi dalam catatan-catatan digital yang kini mengendap di folder-folder sunyi. Namun, setelah semua gelar, kerja keras, dan idealismenya dikunyah habis oleh realitas. Tak ada lagi yang perlu dibanggakan. Yang tersisa hanya satu hal yaitu, kelelahan eksistensial.
Hari itu, Sofyan kehilangan pekerjaan. Bukan karena ia tak mampu. Tapi karena dunia sudah tak butuh ketekunan. Dunia hanya butuh keberuntungan dan koneksi.
Dalam bingungnya, ia berjalan menyusuri trotoar seperti pemimpi yang tersesat dalam kota. Iklan-iklan neon berkedip sinis di atas kepalanya. “Raih impianmu!," "Sukses sebelum usia 30!,“ "Hidup hanya sekali. Buat berkesan!”
ADVERTISEMENT
Tapi apa lagi yang bisa dikesankan dari hidup yang tidak lagi diberi panggung?
Sofyan duduk di halte kosong, memandangi sepatu tuanya yang bolong di ujung. Lalu ia bertanya pada dirinya sendiri, bukan dengan kata-kata, tapi dengan nada putus asa, "Apakah hidupku sudah tamat?"
Seorang pengamen datang menghampirinya, menyanyikan lagu lama dengan gitar yang hanya punya tiga senar. Suaranya sumbang, tapi ada sesuatu yang jujur di dalamnya. Sebuah keberanian untuk tetap bernyanyi meski dunia seolah tuli.
Sofyan memejamkan matanya. Ia merasa bahwa di titik nol seperti ia alami ini, semuanya seolah berhenti. Namun anehnya, ia merasa hidupnya begitu bergairah. Tidak ada lagi pretensi. Tidak ada lagi citra yang harus dipoles. Tidak ada lagi gelar, jabatan, atau followers yang perlu dipertahankan. Yang tertinggal hanyalah dirinya sendiri. Telanjang dari segala peran.
ADVERTISEMENT
Ia sadar, titik nol itu bukan neraka. Tapi cermin. Dan di cermin itu, ia melihat versi dirinya yang lebih jujur. Bukan pahlawan. Bukan pecundang. Hanya manusia yang sedang mencari kembali makna hidup, dalam reruntuhan harapan.
Perlahan, Sofyan berdiri. Langkahnya masih ringan. Namun kali ini bukan karena tak tahu arah. Melainkan karena telah merelakan keharusan untuk selalu tahu.
Dalam ponselnya, ia membuka folder berdebu berisi puisi-puisi lamanya. Ia membaca satu:
"Kita bukan daun yang jatuh. Kita adalah tanah yang menanti hujan."
Dan di bawah langit Jakarta yang kelelahan, Sofyan pun melangkah pasti. . Bukan menuju sukses. Bukan mengejar validasi. Ia menuju dirinya sendiri, yang akhirnya ia izinkan untuk lahir kembali, dari kehampaan.
ADVERTISEMENT