Konten dari Pengguna

Manfaat Memaknai Literasi Keuangan Bagi Keluarga

Aslamuddin Lasawedy
Pemerhati Masalah Ekonomi, Budaya dan Politik
3 Juni 2025 14:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Manfaat Memaknai Literasi Keuangan Bagi Keluarga
Literasi keuangan bukan hanya tentang tahu lebih banyak tentang keuangan keluarga. Pun tentang bagaimana mengurangi rasa takut kekurangan uang.
Aslamuddin Lasawedy
Tulisan dari Aslamuddin Lasawedy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto : Aslamuddin Lasawedy
zoom-in-whitePerbesar
Foto : Aslamuddin Lasawedy
ADVERTISEMENT
Oleh :
Aslamuddin Lasawedy CFP®
Perencana Keuangan Independen
ADVERTISEMENT
HARI itu, Ririn kembali dari seminar literasi keuangan dengan segenggam brosur, secarik mimpi, dan segunung kecemasan. Ia duduk di ruang tamu yang remang-remang. Mendengar detik jam berdetak seperti suara neraca keuangan yang belum seimbang. Di tangannya, tercetak bagan piramida finansial, sebut saja ; dana darurat, dana pendidikan anak, asuransi, investasi, perencanaan pajak, perencanaan pensiun, perencanaan warisan dan seterusnya. Semua itu seperti kata-kata yang menjanjikan sesuatu yang lebih pasti daripada doa.
“Literasi keuangan adalah kunci masa depan keluarga,” kata pembicara dalam balutan jas hitam, pagi itu. Ririn mendengarnya dengan seksama. Namun, sejumlah pertanyaan berputar-putar di kepalanya. Jika semua orang sudah tahu pentingnya menabung. Mengapa banyak orang tetap tenggelam dalam jebakan utang ? Jika ilmunya tersedia gratis, mengapa hidup terasa mahal ?
ADVERTISEMENT
Suaminya, Erwin, masuk membawa dua kantong belanja. Satu berisi bahan makanan. Satu lagi boneka beruang besar untuk ulang tahun anak mereka.
“Lagi promo. Harga diskon besar-besaran,” katanya ringan.
Namun Ririn punya pandangan berbeda. Belanja promo itu walau murah, ia seperti peluru yang menembus dan merobek anggaran keuangan keluarga mereka yang rapuh. Meski begitu, ia diam saja. Ia tahu, cinta seringkali datang dalam bentuk yang tidak efisien.
Malam itu, setelah anaknya tertidur dan lampu kamarnya diredupkan. Ririn duduk di meja makan. Membuka laptopnya, dan mulai menyusun rencana keuangan keluarga. Sepintas ia seperti seorang kartografer yang mencoba menggambar peta benua yang terus bergerak. Setiap angka adalah jejak. Setiap asumsi adalah doa yang tersembunyi. Tapi di balik formula keuangan keluarga itu, ada satu hal yang tak bisa ia rumuskan, yaitu ketakutan kekurangan uang.
ADVERTISEMENT
Ia teringat pada ibunya yang dahulu pandai dan rajin menabung dalam celengan ayam. Meski ibunya tak tahu apa itu inflasi. Tak pernah ikut seminar keuangan. Namun ibunya tahu, mana yang penting untuk dibeli dan mana yang dibeli karena gengsi. Ririn yang kini memahami semua teori keuangan keluarga, justru merasa terombang-ambing dalam badai konsumsi, tuntutan gaya hidup dan algoritma iklan yang begitu menggoda.
“Literasi keuangan,” gumamnya dalam hati. “Adalah cahaya yang bisa menyilaukan bila tak tahu ke mana harus memandang.”
Ada paradoks di sana. Semakin banyak pengetahuan yang kita miliki. Semakin besar ketakutan kita membuat keputusan keuangan yang salah.
Meski Ririn banyak membaca riset. Kerap menonton beragam webinar keuangan keluarga. Banyak mencatat proyeksi ekonomi. Namun semua itu, tak mampu menjawab pertanyaan paling mendasar di kepalanya. Bagaimana menyeimbangkan hidupnya, antara cukup dan bahagia ?
ADVERTISEMENT
Erwin mendekat ke arah Ririn. memeluknya dari belakang.
“Kamu terlalu keras pada diri sendiri,” katanya.
“Kita ini bukan spreadsheet. Kita ini seperti taman, yang terus bertumbuh dan berubah. Yang mekar bukan karena pupuk terbaik, melainkan karena musim yang ramah.”
Ririn terdiam. Ia ingin percaya. Tapi bagaimana seandainya musim yang datang tak selalu ramah ?
Ia menatap layar kosong laptopnya. Lalu menulis satu kalimat: “Literasi keuangan bukan hanya tentang tahu lebih banyak tentang keuangan keluarga. Pun tentang bagaimana mengurangi rasa takut kekurangan uang.”
Tanpa ia sadari, air matanya menetes. Bukan karena sedih. Ia menangis karena untuk pertama kalinya, ia memahami bahwa angka-angka di dunia keuangan keluarga ternyata hanya simbol. Yang sejati adalah keberanian mencintai hidup. Sekalipun banyak hal dalam hidup ini, tak bisa dikendalikan.
ADVERTISEMENT
Keesokan harinya, Ririn mulai menabung, bukan hanya dalam bentuk uang. Pun dalam bentuk harapan. Ia tak lagi mencari kepastian mutlak dalam hidupnya. Ia memilih untuk tumbuh dalam ambiguitas. Karena di dunia perencanaan keuangan keluarga, literasi bukanlah jaminan bebas dari masalah keuangan. Literasi keuangan itu seperti lentera kecil di jalan yang gelap, yang membuat kita terus melangkah meski gelap menyelimuti jalanan.(*)