Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Notifikasi Terakhir tentang Mindfulness Financial
11 Mei 2025 13:55 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Aslamuddin Lasawedy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Oleh :
Aslamuddin Lasawedy CFP®
Perencana Keuangan Independen
ADVERTISEMENT
PAGI yang cerah. Winda duduk santai di coworking space lantai dua. Headphone nempel di telinganya. Spreadsheet di laptopnya dibiarkan terbuka. Sementara dompet digitalnya terus berbunyi seperti anak kecil yang tak sabar minta perhatian. Gajinya baru cair kemarin siang. Tapi pagi ini, ia baru saja checkout dari mini market dengan tiga keranjang belanja. Sisa uangnya? Lebih banyak angka nol, daripada isinya.
Di layar gawainya, ada tulisan kecil:
“Saldo kamu hampir habis.”
Di kepalanya, ada suara: “Tapi kamu pantas dapat semua itu, kan?”
Winda hidup dalam ritme cepat. Kopi pesan lewat aplikasi. Ia juga ikutan promo flash sale yang cicilannya tanpa bunga. Tapi tetap saja, tiap akhir bulan ia merasa seperti berdiri di tengah mal kosong, dengan kantong belanja di tangan dan hati yang hampa.
ADVERTISEMENT
Hingga suatu malam, ia iseng ikuti kelas meditasi finansial online. Judulnya seperti bercanda ; “Uang dan Keheningan: Hubungan yang Terlupakan.” Pembicaranya bukan motivator berjas licin. Melainkan lelaki berkaus biru. Rambutnya beruban sebagian. Bicara lambat seperti lagu slow rock.
“Mindfulness finansial bukan tentang mati-matian jadi hemat” katanya, penuh semangat. “Tapi tentang membeli dengan kesadaran. Mengeluarkan uang seperti menulis puisi: satu kata. Satu nilai.”
Winda nyaris menutup laptopnya. Tapi ada satu kalimat yang membuat jarinya berhenti:
“Kebanyakan orang tidak boros karena mereka punya terlalu banyak. Mereka justru takut kehilangan rasa cukup.”
Kalimat itu menghantam kepala Winda lebih keras dari notifikasi tagihan.
Beberapa minggu kemudian, Winda mulai bereksperimen. Setiap transaksi yang ia lakukan, harus lulus satu pertanyaan: “Apakah ini memenuhi kebutuhannya atau hanya mengisi waktunya dan mengalihkan perhatiannya?”
ADVERTISEMENT
Ia mulai mencatat bukan hanya pengeluaran, tapi juga alasan di baliknya. Di sebelah angka Rp 85.000 untuk kopi premium yang ia pesan, ia tulis: “Butuh rasa nyaman sebelum meeting penting.”
Lalu, pelan-pelan, ia belajar membedakan: mana transaksi yang hanya pelarian, mana yang pemulihan.
Di satu pagi yang sepi, ia menutup aplikasi belanja. Ia malah membuka catatannya. Di sana tertulis:
“Aku membeli diam dengan membatalkan diskon. Aku membayar kehadiran dengan menyimpan kartu kredit.”
Belakangan, meski Winda masih suka belanja. Tapi ia juga suka menunda berbelanja. Suka melihat angka saldonya tetap utuh. Bukan karena takut miskin. Namun karena ia tahu, tak semua kekayaan harus terlihat di riwayat transaksi.
ADVERTISEMENT
Di Instagram, ia menulis caption: “Wealth isn’t in what you show. It’s in what you no longer need to prove.”
Dan...
Di antara semua notifikasi yang masuk tiap hari. Ada satu yang selalu ia ingat. Tidak berbunyi,. Tidak berkedip. Tapi menyala tenang di kepalanya:
“Kamu sudah cukup.”