Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Praktik Peradilan Pidana: Chapter 1
31 Mei 2022 15:14 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Asmadi Syam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tidak Tersampaikannya Turunan Surat Dakwaan Bersamaan Dengan Perlimpahan Perkara Ke Pengadilan
ADVERTISEMENT
Fenomena Over Capacity Penangganan Perkara
Ketentuan Pasal 143 Ayat (4) KUHAP “Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.” Ketentuan pasal tersebut terkesan hanya merupakan saran bagi penuntut umum agar menyampaikan turunan surat dakwaan kepada terdakwa/penasihat hukumnya bersamaan dengan hari perlimpahan perkara ke pengadilan. Dalam praktik peradilan pidana, khususnya pada tahap penuntutan terkadang jaksa selaku penuntut umum lupa atau tidak menyampaikan turunan surat dakwaan di hari yang sama dengan perlimpahan perkara ke pengadilan kepada terdakwa/penasihat hukumnya. Hal demikian memiliki alasan logis yang dapat dipertanggungjawabkan, disebabkan oleh over capacity penangganan perkara yang ditanggani oleh seorang penuntut umum, yang berakibat terlewatinya penyampaian turunan surat dakwaan tersebut pada hari yang sama dengan perlimpahan perkara ke pengadilan, terkadang juga jika terdakwanya tidak ditahan, penuntut umum sulit menjangkau alamat terdakwa sesegera mungkin.
Sering dijadikan dalil atau materi eksepsi penasehat hukum terdakwa
ADVERTISEMENT
Terlewatinya penyampaian turunan surat dakwaan kepada terdakwa/penasehat hukumnya pada hari yang sama dengan pelimpahan perkara ke pengadilan adalah hal yang lumrah terjadi. Apalagi dalam perkembangan peradilan pidana sekarang, persidangan yang dilaksanakan secara online (daring), menyebabkan kebiasaan penuntut umum menitipkan turunan surat dakwaan pada pengawal tahanan yang bertugas untuk disampaikan kepada terdakwa yang berada di Rutan, sebelum persidangan dimulai. dan/atau jika terdakwa tidak ditahan akan disampaikan pada saat hari sidang perdana sebelum pembacaan surat dakwaan tersebut.
Namun fenomena sebagaimana di atas terkadang tak luput juga atau sering dijadikan bahan/materi oleh terdakwa dan/atau penasehat hukumnya untuk mengajukan eksepsi terhadap dakwaan penuntut umum. Kebiasaannya terdakwa dan/atau penasehat hukumnya mendalilkan hal tersebut dengan istilah tidak diterapkannya hukum acara sebagaimana mestinya yaitu Pasal 143 Ayat (4) KUHAP, sehingga berakibat pada dakwaan batal demi hukum. Ada juga dari kalangan praktisi memaknai Pasal 143 Ayat (4) tersebut “yang menjadi hak terdakwa tidak hanya turunan surat dakwaan namun juga terhadap berkas perkara, yang harus disampaikan oleh penunut umum pada terdakwa dan penasehat hukum pada saat perkara dilimpahkan ke pengadilan”. Hal ini tidak lain didasarkan pada pengertian surat perlimpahan perkara berdasarkan penjelasan Pasal 143 KUHAP “Yang dimaksud dengan surat pelimpahan perkara adalah surat pelimpahan perkara itu sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan berkas perkara.”
ADVERTISEMENT
Untuk memperkuat dalil-dalil keberatan berupa tidak diterapkannya hukum acara sebagaimana mestinya, dalam eksepsinya baik terdakwa maupun penasehat hukumnya terkadang menganologikan atau dikaitkan dengan beberapa putusan sela, salah satunya Putusan Sela Nomor 1607/Pid.B/2001/PN JKT PST dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 367/Pid/1998 tanggal 29 Mei 1998. Yang menjadi menarik, isi pertimbangan majelis hakim dalam putusan sela tersebut adalah materi eksepsi terhadap tidak diterapkannya hukum acara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan, yang berakibat pada batalnya dakwaan demi hukum.
Apakah berakibat pada dakwaan batal demi hukum ?
Materi tentang eksepsi sebenarnya telah diatur secara limitatif dalam Pasal 156 Ayat (1) KUHAP (pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan). Pengadilan tidak berwenang mengadili berkaitan dengan kompetensi absolut dan relatif (Pasal 84, 147, 148 KUHAP), dakwaan tidak dapat diterima yaitu ; menurut Van Bemmelen "Terjadi jika tidak ada hak untuk menuntut, misalnya dalam delik aduan tidak ada pengaduan", sedangkan Andi Hamzah menyatakan "Dakwaan tidak dapat diterima jika delik itu dilakukan pada waktu dan tempat yang hukum pidananya tidak berlaku atau hak menuntut telah hapus", kemudian mengenai dakwaan batal demi hukum, yaitu berkaitan dengan Syarat formil dan materil surat dakwaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Hemat penulis berkaitan dengan dakwaan batal demi hukum telah diatur juga secara limitatif dalam norma KUHAP, yaitu berkaitan uraian dakwaan secara cermat, jelas dan lengkap yang tidak kita bahas lebih lanjut dalam pembahasan ini sebagaimana ketentuan Pasal 143 Ayat (3) KUHAP ”Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”. Dengan demikian tidaklah ada alasan dakwaan batal demi hukum selain alasan tersebut.
Selanjutnya berkaitan dengan Pasal 143 Ayat (4) KUHAP jika dilihat bentuk norma yang dirumuskan dalam ketentuan pasal tersebut tidak ada satu pun kata yang menyatakan wajib bagi penuntut umum, tetapi klausula dalam pasal tersebut lebih bersifat pemberitahuan semata, penyampaian turunan surat dakwaan agar terdakwa mengetahui perkaranya tersebut telah dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan.
ADVERTISEMENT
Mengenai Putusan sela Nomor 1607/Pid.B/2001/PN JKT PST dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 367/Pid/1998 tanggal 29 Mei 1998, yang terkadang sering dianalogikan untuk membenarkan dalil materi eksepsi terhadap tidak diterapkannya hukum acara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan, hemat penulis dalam pertimbangan majlis hakim terhadap putusan sela tersebut adalah berkaitan dengan dengan tidak dipenuhinya hak tersangka pada tahap penyidikan, berkaitan dengan Pasal 56 ayat (1) KUHAP,”.. ...bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”. Pertimbangan majelis hakim dalam putusan sela tersebut masih bisa atau dapat diterima, karena penyimpangan dari Pasal 56 Ayat (1) KUHAP berakibat pada tidak sahnya penyidikan. Tidak sah penyidikan, juga berujung pada tidak sahnya penuntutan atau berakibat pada batalnya dakwaan demi hukum. Namun hal tersebut dalam perkembangan sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini sudah tidak relevan lagi diterapkan, karena berkaitan dengan sah tidaknya penyidikan, penghentian penyidikan/penuntutan dan/atau upaya paksa lainnya telah tersedia lembaga praperadilan yang dapat ditempuh oleh tersangka yang merasa haknya telah dirugikan, sebagaimana ketentuan Pasal 77 KUHAP dan Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Sehingga ketika ketentuan Pasal 143 Ayat (4) KUHAP dikaitkan atau dianalogikan dengan 2 (dua) putusan sela tersebut, tidaklah mempunyai relavansinya sama sekali. Dengan demikian tidak disampaikan turunan dakwaan bersamaan dengan surat perlimpahan perkara ke pengadilan, tidaklah menyebabkan dakwaan batal demi hukum, namun dengan ketentuan setidaknya turunan surat dakwaan sudah disampaikan sebelum sidang pembacaan dakwaan dimulai.
ADVERTISEMENT
Bagaimana idealnya pelaksanaan ketentuan Pasal 143 Ayat (4) KUHAP
Sebagaimana diuraikan di atas, tidak tersampaikan turunan surat dakwaan kepada terdakwa maupun penasihat hukum bukan dikarenakan alasan kesengajaan dari pada penuntut umum, tetapi lebih pada situasional penangganan perkara. Hemat penulis tidaklah tepat mengartikan penjelasan Pasal 143 KUHAP sebagai “Penuntut umum juga harus menyampaikan berikut turunan dakwaan serta berkas perkara kepada terdakwa dan penasehat hukumnya yang dimaknai sebagai hak positif dari pada terdakwa dan penasehat hukumnya” karena hal tersebut secara sistematika norma yang terumus dalam KUHAP kontradiksi dengan beberapa pasal lainnya dalam KUHAP, khususnya dengan Pasal 72 KUHAP “Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya”. yang makna pasal tersebut berupa hak negatif daripada terdakwa.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu idealnya mengikuti perkembangan sistem peradilan pidana saat ini, turunan surat dakwaan cukup disampaikan kepada terdakwa dan/atau penasihat hukum pada saat sebelum sidang perdana pembacaan surat dakwaan dimulai, dan harus dimaknai juga penjelasan Pasal 143 KUHAP tidak termasuk dengan pemberian berkas berkas, kecuali diminta atau dimohonkan secara sah untuk kepentingan pembelaaannya.
*Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis bukan merupakan pandangan resmi dari institusi Penulis