VERP, Alat bukti yang Sah dan Ilmu Bantu bagi Hakim

Asmadi Syam
Asmadi Syam, S.H., M.H. Merupakan Praktisi Hukum.
Konten dari Pengguna
28 Juni 2023 5:20 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asmadi Syam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi palu sidang diketuk tanda putusan hakim dijatuhkan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi palu sidang diketuk tanda putusan hakim dijatuhkan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setiap kasus hukum, tentu saja berkaitan dengan pembuktian perkara pidana. Pembuktian tersebut dikenal dalam beberapa teori, seperti positif wettelijke, menurut teori ini sistem pembuktian harus berdasarkan alat bukti yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang hukum positif suatu negara.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem ini keyakinan hakim sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk membuktikan bersalah tidaknya terdakwa yang dihadapkan ke persidangan.
Kedua, ada Conviction in time, pada sistem ini pandangan subjektif hakim menjadikan dasar untuk menentukan salah tidaknya terdakwa melakukan suatu perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya
Lalu, ketiga adalah Conviction rainsonce, hakim berdasarkan keyakinannya secara bebas tanpa dibatasi oleh undang-undang menentukan bersalah tidaknya seorang terdakwa yang dihadapkan ke persidangan.
Namun, hakim tersebut wajib menjelaskan atau mempertanggungjawabkan dasar keyakinannya tersebut berdasarkan ilmu pengetahuan dan logika sehingga menurut Martiman Prodjohamidjojo mengatakan ajaran ini disandarkan sama semata-mata atas dasar pertimbangan akal pikiran, dan hakim tidak dapat terikat kepada alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang dengan demikian hakim dapat mempergunakan alat bukti lain yang di luar undang-undang.
ADVERTISEMENT
Teori terakhir adalah Negatief wettelijke. Sistem ini merupakan pembuktian yang dianut dalam Sistem Peradilan Pidana kita, yaitu yang mewajibkan hakim menyandarkan diri dalam pembuktian berdasarkan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang, kemudian dengan alat bukti tersebut yang membuatnya yakin akan kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa.
Di dalam KUHAP secara limitatif telah ditentukan alat bukti yang sah, terdiri dari keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa Sebagaimana Pasal 184 KUHAP.
Konsekuensi logis daripada sistem pembuktian Negatief wettelijke adalah keharusan minimal 2 (dua) alat bukti (Pasal 183 KUHAP) untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa, yang dengan 2 (dua) alat bukti tersebut membuat hakim yakin terdakwa telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
ADVERTISEMENT
Fakta yang terjadi dalam proses pengoperasian sistem peradilan pidana, terkadang keharusan mencari 2 (dua) alat bukti sangat sulit bagi penyidik, dan penuntut umum untuk menformulasikannya dan dihadirkan ke persidangan, apalagi dengan alat bukti tersebut harus dapat meyakinkan hakim.
Ada beban tersendiri bagi penuntut umum dalam upaya meyakinkan hakim tersebut, karena pada dasarnya sebanyak apa pun penuntut umum menghadirkan alat bukti ke persidangan kalau alat bukti tersebut tidak dapat meyakinkan hakim, alat bukti tersebut tidak akan bernilai dan tidak memiliki kekuatan pembuktian serta akan berujung pada pembebasan terdakwa.
Salah satu alat bukti yang menjadi pamungkas dalam pembuktian perkara pidana adalah ada bukti surat, alat bukti surat yang lazim dipergunakan khususnya untuk kejahatan yang berhubungan dengan orang/ kekerasan fisik adalah Visum et Repertum, Di mana alat bukti ini dipergunakan sebagai konsolidasi telah terjadi kekerasan fisik terhadap seseorang selain keterangan saksi korban.
ADVERTISEMENT
Penyesuaian antara keterangan saksi korban dan Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter membuat hakim yakin akan kejahatan kekerasan fisik yang dilakukan terdakwa. Namun terkadang dalam kondisi tertentu keterangan dari Visum et Repertum tidak cukup mendukung pembuktian.
Hal ini disebabkan tidak adanya korelasi antara keterangan saksi korban dengan hasil Visum et Repertum, atau memang suatu kondisi kekerasan fisik tersebut telah lama terjadi sehingga tidak berbekas.
Kondisi sebagaimana di atas, oleh Penyidik dan penuntut umum harus dicari jalan keluar agar tercapainya kesuksesan pembuktian suatu tindak pidana di persidangan salah satunya dengan meminta Visum et Repertum Psychiatricuum (VERP) kepada psikiater.
Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran kondisi kejiwaan, baik itu tersangka maupun korban. VERP ini adalah sah dan bernilai pembuktian sebagai alat bukti surat, karena memenuhi ketentuan Pasal 187 huruf C KUHAP.
ADVERTISEMENT
Dalam satu kesempatan pada acara Bimbingan Teknis Jaksa se-Aceh tentang hukum Jinayat, DR. Ferry Ichsan selaku pemateri mengatakan VERP sangat berperan penting dalam pembuktian perkara pelecehan seksual, pemerkosaan yang diatur Qanun Jinayat dan bahkan perkara pembunuhan sekalipun.
Dalam perkara pelecehan seksual, adalah sangat sulit untuk menemukan saksi yang melihat langsung kejahatan seksual tersebut, kecuali hanya keterangan saksi korban semata, bagaimana juga jika saksi korban tersebut masih di bawah umur dan tidak bisa disumpah, ditambah lagi tidak mendukungnya alat bukti surat berupa Visum et Repertum, yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda pelecehan seksual.
Oleh karenanya, peran VERP ini mampu memberikan pengetahuan bagi aparat penegak hukum untuk mengetahui benar seseorang telah melakukan perbuatan pidana. VERP ini Juga akan menjadi ilmu bantu bagi hakim untuk menentukan berat tidaknya hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa.
ADVERTISEMENT
Untuk perkara-perkara besar seperti pembunuhan dan perkara besar lainnya tidak salahnya penyidik untuk turut meminta VERP kepada psikiater untuk mendukung pembuktian, walaupun sebenarnya alat bukti lain telah cukup, apalagi jika alat bukti masih kurang dan meragukan.
Setidaknya VERP terhadap tersangka dan korban juga turut menambah keyakinan, bahwa benar tersangka itu sebagai pelakunya, dan sebagai dasar rujukan penggalian motif pelaku melakukan tindak pidana.
Dalam praktik peradilan pidana penggunaan VERP masih sangat jarang dipergunakan sebagai salah satu alat bukti yang sah. Hal tersebut terjadi karena masih kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap sistem pembuktian yang dianut dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Ditambah keterbatasan jumlah psikiater di Indonesia yang belum mencukupi kebutuhan. Terlebih lagi untuk perkara-perkara yang terjadi di tempat yang jauh dari rumah sakit dan klinik yang mengeluarkan VERP tersebut.
ADVERTISEMENT
Harapannya, ke depan VERP semakin banyak dipergunakan, karena dengan diundangkannya KUHP baru, ada kewajiban bagi hakim untuk mempertimbangkan motif kejahatan dalam putusannya, dengan VERP cukup sangat membantu merumuskan pertimbangan tersebut.