Memahami SGIE dan Permainan Register Gibran

Rangga Asmara
dosen bidang linguistik di Universitas Tidar, meminati kajian bahasa di ruang publik, saat ini tinggal di Iowa, US
Konten dari Pengguna
29 Desember 2023 14:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rangga Asmara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cawapres nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka bersalaman dengan Cawapres 01 Muhaimin Iskandar usai debat calon wakil presiden Pemilu 2024 di JCC, Jakarta, Jumat (22/12/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Cawapres nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka bersalaman dengan Cawapres 01 Muhaimin Iskandar usai debat calon wakil presiden Pemilu 2024 di JCC, Jakarta, Jumat (22/12/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka menggunakan strategi unik dengan melontarkan pertanyaan jebakan (tricky question) kepada cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar pada Debat Cawapres 2024, Jumat (22/12). Mendapat waktu 1 menit Gibran mengajukan pertanyaan singkat hanya dalam waktu 25 detik terkait SGIE, tersisa waktu 35 detik yang tidak digunakan Gibran termasuk untuk menjelaskan artinya. Hingga moderator mengingatkan Gibran terkait waktu yang tersisa.
ADVERTISEMENT
Gibran bertanya singkat, “Baik terima kasih karena Gus Muhaimin ini ketua umum dari PKB, saya yakin sekali Gus Muhaimin paham sekali untuk masalah ini, bagaimana langkah Gus Muhaimin untuk menaikkan peringkat Indonesia di SGIE?”
Polemik dari pertanyaan Gibran bukan karena tidak sesuai tema, namun karena piranti singkatan SGIE yang digunakan merupakan istilah teknis atau khusus di bidang ekonomi Islam yang kurang lazim atau jamak didengar masyarakat umum, termasuk lawan debatnya, yakni Muhaimin. Tentu saja pertanyaan Gibran tersebut telah disiapkan sesuai dengan tema debat malam itu, yaitu ekonomi kerakyatan, ekonomi digital, keuangan, investasi pajak, perdagangan, pengelolaan APBN/APBD, infrastruktur, dan perkotaan.
Tidak sedikit yang merasa strategi yang digunakan Gibran terasa menjebak dan menguji pengetahuan lawan debatnya semata. Strategi itu membuat Muhaimin tampak kebingungan dan merelakan sebagian waktunya untuk menanyakan kembali kepada Gibran tentang arti SGIE. Padahal sebagai penjawab Muhaimin memiliki waktu yang lebih panjang 1 menit dibanding penanya.
ADVERTISEMENT
Formal teks yang berpolemik itu termasuk bentuk singkatan. SGIE merupakan kependekad. ari state of the global Islamic economy. Istilah yang lazim digunakan di dunia ekonomi syariah.
Pada kesempatan lain, Gibran juga tampak menggunakan strategi yang hampir sama ketika mengajukan pertanyaan kepada cawapres nomor urut 3 Mahfud MD. Gibran hanya menggunakan waktunya untuk bertanya 10 detik, “Baik terima kasih ini, karena Prof. Mahfud adalah ahli hukum, saya ingin bertanya bagaimana regulasi untuk carbon capture and storage?”
Sekali lagi pertanyaan setipe yang digunakan untuk menguji lawan debatnya semata. Carbon capture and storage merupakan istilah teknis di bidang lingkungan, yang notabene ini di luar topik debat saat itu.
Dalam sosiolinguistik, penggunaan istilah teknis atau khusus dalam komunikasi disebut register. Register adalah varian bahasa yang digunakan dalam domain tertentu, merujuk pada penggunaan bahasa untuk keperluan atau ranah spesifik. Variasi bahasa ini muncul karena cawapres dari latar belakang, bidang, atau profesi yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Menurut Halliday seorang pakar linguistik fungsional, register dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu register selingkung terbatas dan register selingkung terbuka. Register selingkung merujuk pada penggunaan bahasa di kalangan terbatas dan memiliki makna yang terbatas atau khusus pula, sebaliknya register selingkung terbuka memiliki makna yang lebih luas, dengan banyak interpretasi, dan dapat digunakan di berbagai lingkungan atau profesi.
Penggunaan singkatan atau istilah teknis seperti SGIE dan carbon capture and storage merupakan bentuk register selingkung terbatas yang tentu saja akan mudah dipahami bagi mereka yang berlatar belekang keilmuan di bidang yang sesuai. Wajar jika lawan debat gibran malam itu kesulitan memahami pertanyaan yang diajukan.

Etika Komunikasi

Dari segi etika komunikasi, pertanyaan Gibran memang patut dikritik. Terlebih karena ia diberi waktu cukup untuk mengutarakan pertanyaannya secara jelas agar dipahami lawan debat. Pertanyaan tersebut tidak hanya mengindikasikan kekurangpatutan dalam berkomunikasi, tetapi juga menunjukkan kegagalannya memanfaatkan fungsi sosial bahasa.
ADVERTISEMENT
Gaya Gibran menggunakan permainan register dalam bertanya pada debat tampaknya meniru Joko Widodo yang notabene bapaknya. Pada debat capres 2014, masih lekat di benar publik Joko Widodo melempar pertanyaan menggunakan singkatan TPID, sedangkan pada debat capres 2019 Joko Widodo mengajukan pertanyaan dengan istilah asing unicorn.
Strategi permainan register dan atau memberi konteks minimal ketika bertanya sah-sah saja dalam sebuah debat. Hal ini tentu saja menguntungkan untuk memenangkan stigma publik dengan membuat lawan kebingungan dan mempertontonkan kekurangan lawan.
Meski demikian, debat capres atau cawapres ini bukan hanya sekadar kompetisi menang atau kalah, namun lebih dari itu ada hal yang lebih urgen untuk dikompetisikan, yaitu mencari gagasan yang paling logis dan terukur untuk direalisasikan lima tahun mendatang. Sudah seharusnya, debat menjadi salah satu momen penting untuk mendulang dukungan publik dan menggerakkan masyarakat untuk mengambil keputusan, bukan karena trik atau tipuan (gimmick), melainkan semata gagasan dan kebijakan konkret.
ADVERTISEMENT
Sejak lama bahasa telah menjadi instrumen untuk berkuasa dan menguasai. Dalam konteks debat capres/cawapres 2024, trik seperti permainan register kepada lawan debat yang bukan seprofesi memungkinkan penaklukkan lawan debat dilangsungkan melalui bahasa. Cara ini sah-sah saja dilakukan asal kata-kata canggih tidak digunakan hanya sebagai kompensasi untuk menutupi gagasan minor si kandidat.
Akhirnya debat menjadi ajang tiap kandidat baik capres maupun cawapres untuk memberikan impresi kepada masyarakat, tidak hanya sekadar adu kemampuan berbicara dan beretorika. KPU sebagai penyelenggara debat sebaiknya memikirkan kembali formula debat yang lebih efektif agar tiap kandidat dapat lebih optimal menyampaikan gagasan serta kebijakan konkritnya di lapangan.
Dalam konteks teknis debat, seharusnya moderator dapat bekerja lebih luwes, tidak hanya sekadar mengatur lalu lintas debat, tapi juga mengarahkan peserta debat agar pertanyaan dikomunikasikan dengan jelas. Dalam dua kali debat ini peran panelis juga hanya tampak sebagai pembuat soal. Panelis harusnya diberi wewenang lebih untuk menguliti langsung gagasan dan substansi tiap kandidat.
ADVERTISEMENT