Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Advokat Profesi yang Mulia, Tidak Bisa Dipercaya, dan Alternatif Bantuan Hukum
22 Januari 2025 10:25 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Asmara Dewo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Advokat salah satu profesi yang paling tidak bisa dipercaya di Indonesia. Setidaknya ada 500 warga Indonesia yang berpartisipasi atas survei yang dilakukan IPSOS Global Trusworthiness Index 2024. Berikut 12 profesi yang paling tidak dipercaya menurut IPSOS: 1. Poltisi (45%); 2. Pejabat Kabinet/Kementerian (41%); 3. Polisi (41%); 4. Influencer (25%); 5. Pegawai Negeri Sipil (24%); 6. Advokat (24%); 7. Hakim (23%); 8. Eksekutif Periklanan (18%); 9. Pimpinan Bisnis (17%); 10. Jurnalis (15%); 11. Lembaga Survei (13%); dan 12. Bankir (12%).
ADVERTISEMENT
Sebenarnya Advokat merupakan profesi yang mulia atau terhormat (officium nobile), hal itu secara tegas diamanahkan pada pembukaan KEAI (Kode Etik Advokat Indonesia) alinea kedua. “Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada di bawah perlindungan hukum, undang undang, dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada kemandirian, kejujuran, kerahasiaan, dan keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya.”
Kemudian ditegaskan lagi pada Pasal 3 huruf g KEAI “Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile).”
ADVERTISEMENT
Maka menjadi heran profesi yang mulia ini kemudian tidak dipercaya lagi masyarakat. Maka siapa pula yang akan memberikannya pendampingan hukum atau bantuan hukum jika masyarakat sedang mendapatkan permasalahan hukum? Meski begitu ketidakpercayaan masyarakat menjadi evaluasi Organisasi Advokat dan setiap Advokat itu sendiri. Mengingat jika masyarakat sudah tidak percaya lagi, maka tidak diperlukan lagi profesi yang mulia ini, artinya gulung tikar.
Sebagai evaluasi setidaknya ketidak percayaan masyarakat tersebut dikelompokkan menjadi dua faktor:
1. Faktor Internal
Ini menyangkut dengan personal Advokat itu sendiri. Apakah Advokat menggigit kuat Kode Etik Advokat dalam menjalankan advokasinya, atau sesuka hatinya saja demi keuntungan pribadi. Apakah klien merasa dirugikan oleh Advokat tersebut karena memberikan honorarium tetapi kasusnnya tidak berjalan, ditanya soal kelanjutan kasus tidak jelas alasannya dan terkesan menghindar. Atau selalu meminta honorarium tambahan yang tidak ada pada perjanjian penanganan perkara. Atau melakukan upaya lain yang merugikan klien, seperti mendesak perdamaian padahal klien ingin kasus terus berjalan, atau membocorkan identitas korban atau kasusnya sehingga membuat klien malu di depan publik.
ADVERTISEMENT
Pada intinya ini menjadi persoalan pada diri Advokat. Kurangnya integritas pada Advokat sehingga membuat klien kecewa.
2. Faktor Eksternal
Faktor Eksternal sebenarnya di luar kendali Advokat, sehingga meskipun dilakukan berbagai upaya, keadilan belum juga berpihak pada klien. Ini disebabkan dengan sistem hukum, yang terdiri dari struktur hukum, subtansi hukum, dan budaya hukum. Sebagai contoh, Advokat memperjuangkan kliennya dalam tuduhan kasus pencemaran nama baik terhadap seseorang. Honornya sampai puluhan juta rupiah. Kasus itu pun diadvokasi baik secara non litigasi maupun litigasi, tetapi pada akhirnya Hakim memvonis klien dengan hukuman 1,5 tahun karena terbukti melanggar Pasal 27 ayat (1) Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ini salah satu contoh saja. Kita juga tahu lahirnya Pasal Karet UU ITE memang kerap dijadikan alat untuk membungkam suara suara kritis dari orang oranya yang dizalimi. Terutama aktivis yang memperjuangkan demokrasi, HAM, dan hukum.
ADVERTISEMENT
Nah, ini memang di luar kendali Advokat, karena memang sistem hukum negara kita sedang darurat. Perlu ada perubahan struktural total agar hukum kita sebagaimana mestinya. Pada intinya faktor ini di luar kuasanya, sehingga bagaimanapun yang diperjuangkan Advokat, hasilnya tidak sesuai dengan keinginan kliennya.
Menyikapi Advokat yang Merugikan Masyarakat
Advokat punya Kode Etik, maka jika Advokat tersebut bermasalah bisa ditindak di organisasinya. Silahkan hubungi DPC (Dewan Pimpinan Cabang) di mana Advokat tersebut bergabung, misalnya di Peradi atau Organisasi Advokat lainnya. Lihat Pasal 6 huruf a Undang Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan: a. mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya.
Sanksi yang diberikan Dewan Kehormatan Advokat juga tegas, jika masalahnnya memang sangat serius Advokat yang bermasalah itu bisa dipecat sebagaiaman Pasal 7 UU No. 18/2003 “Jenis tindakan yang dikenakan terhadap Advokat dapat berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; c. pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan; d. pemberhentian tetap dari profesinya.”
ADVERTISEMENT
Pada 2017 lalu DPN Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) menghukum 108 Advokat yang bermasalah. 12 Advokat dipecat, 66 Advokat diberhentikan sementara, 22 Advokat menerima peringatan keras, dan 8 Advokat menerima peringatan biasa (Detik, 2017). Ini sebenarnya bukti konkret Organisasi Advokat yang berani bersikap terhadap anggotanya yang nakal. Meski begitu, Advokat yang dipecat tadi bisa berpindah ke OA (Organisasi Advokat) lainnya, mengingat begitu menjamurnya OA, hampir setiap tahun ada saja OA yang baru.
Jadi kelemahan pada salah satu konsep multibar pada OA belum bisa memberikan manfaat hukum bagi pencari keadilan. Karena Advokat nakal tadi tidak akan khawatir jika ia merugikan kliennya, dilaporkan oleh klien ke Dewan Kehormatan Advokat, hingga akhirnya dipecat. Toh, dia bisa mencari OA lain. Cukup banyak kasus seperti ini. Jadi sebenarnya tugas negara untuk memberikan langkah konkret menyikapi banyaknya OA.
ADVERTISEMENT
Terlepas carut marutnya konsep OA, yang pasti masyarakat membuat aduan saja ke OA jika merasa dirugikan oleh Advokat nakal. Jangan khawatir, kita tentu masih percaya bahwa hukum bisa ditegakkan meskipun pada sisa napas terakhir.
Bagi Masyarakat yang Sedang Menghadapi Proses Hukum
Pertama tama jika masyarakat sedang mengalami masalah hukum, sebaiknya jangan buru buru menggunakan jasa Advokat. Upayakan menyelesaikan masalah itu sendiri, mungkin bisa meminta pertolongan ke keluarga lain, kerabat, atau teman yang mungkin sedikit mengerti tentang proses hukum. Jika saat dijalani proses hukum berbelit belit, saat itulah coba berkonsultasi hukum dengan OBH (Organisasi Bantuan Hukum).
Biasanya OBH akan memberikan solusi atau memberikan bantuan terhadap pencari keadilan. Terlebih lagi kasus tersebut memang harus segera diadvokasi, seperti kasus kejahatan HAM, kasus berbasis struktural (kasus antara buruh dengan pengusaha, THL dengan Pimpinan Kantor, masyarakat melawan pemerintah daerah), kasus kekerasan seksual dan lain lain yang memang perlu cepat ditangani.
ADVERTISEMENT
Setidaknya OBH yang konsentrasi pada kasus kasus di atas adalah PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAk Asasi Manusia), YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), LBH APIK Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), dan OBH progresif lainnya. Ketiga organisasi/lembaga tersebut dalam mengadvokasi menggunakan BHS (Bantuan Hukum Struktural) dan BHGS (Bantuan Hukum Gender Struktural) jika menangani kasus berbasis gender. Biasanya dalam pendampingan masyarakat juga tidak dipungut biaya, alias gratis tapi ini dipastikan terlebih dahulu pada kantor cabang wilayahnya.
Mereka mengadvokasi tidak seperti advokasi konvensional, mereka mencoba mengikutsertakan masyarakat yang sedang memperjuangkan keadilan. Masyarakat tersebut akan diberi pendidikan hukum kritis agar lebih memahami lagi sistem hukum di Indonesia. Selain itu masyarakat dibekali dengan pendidikan pengorganisiran, agitasi, dan propaganda. Hal itu semata mata dilakukan agar ada perubahan yang tersetruktur pada negara, karena persoalan hukum bukan persoalan individu, tetapi seluruh rakyat Indonesia. Maka perlu advokasi menuju perubahan struktural secara bersama sama dari berbagai elemen masyarakat.
ADVERTISEMENT