Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Bantuan Hukum untuk Kawan Buruh
30 November 2023 21:36 WIB
·
waktu baca 11 menitTulisan dari Asmara Dewo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
A. Buruh
Ada ketimpangan relasi kuasa antara buruh dan pengusaha. Karena hubungan relasi yang tidak sehat ini, seringkali buruh dalam proses dinamikanya saat bekerja pada posisi lemah. Pengusaha memanfaatkan posisi lemah ini dengan tindakan semena-m
ADVERTISEMENT
ena, seperti PHK sepihak, upah di bawah UMP (Upah Minimum Provinsi), jam kerja berlebihan tanpa lembur, tidak diberikan cuti, dan lain sebagainya.
Padahal karena buruh itu pula pengusaha menjadi tajir melintir, modalnya semakin bertambah dan perusahaannya bercabang di mana-mana. Peran negara terkadang dalam isu perburuhan lebih menutup mata, daripada mengawasi, menegur, dan memberikan sanksi. Bahkan negara malah “menggelar karpet merah” untuk pengusaha dan investor melalui produk hukum, seperti UU Cipta Kerja.
Posisi buruh semakin di ujung tanduk. Buruh butuh pekerjaan untuk bertahan hidup dan menafkahi keluarga, tetapi dia harus berjuang menghadapi sistem yang terus memojokkannya. Maka mau tak mau, suka tak suka, buruh tetap bekerja dengan keadaan yang sangat memprihatinkan.
ADVERTISEMENT
Karena buruh bukan sekadar penopang ekonomi keluarga, tetapi buruh juga penopang ekonomi negara. Maka begitu urgen untuk duduk bersama berdiskusi, membela, dan mencari solusi bagaimana buruh bisa berdaulat, sejahtera, dan bahagia. Alasan itu pula OBH harus mengadvokasi kaum buruh.
B. OBH (Organisasi Bantuan Hukum)
OBH (Organisasi Bantuan Hukum) atau LBH (Lembaga Bantuan Hukum) muncul di setiap sudut kota di Indonesia, bak jamur di musim hujan. Ramai sekali. Meski begitu publik paling akrab mendengar YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) dan PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia). Hanya dua lembaga ini yang terdengar gaungnya sampai ke akar rumput. Padahal 2022 lalu dalam catatan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) ada 619 OBH di seluruh Indonesia. Dan tentu saja masih banyak OBH lain yang belum terdaftar di BPHN.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya mengapa bisa begitu? Jawabannya simpel, karena kedua lembaga tersebut menangani kasus-kasus struktural, seperti sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan/negara, pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang dilakukan pejabat negara, dan kasus perburuhan. Dan tentu saja secara usia mereka sangat tua. YLBHI lahir 1970, sedangkan PBHI 1996.
Memang ada OBH/LBH lokal mulai mengikuti pengadvokasian YLBHI dan PBHI, tapi masih terkendala beberapa hal, seperti pendanaan, kekurangan personil, nir perspektif dan lain sebagainya. Oleh karena itu pula sangat perlu ada aliansi. Jangan berjalan sendiri-sendiri, OBH bukan alpa yang mampu bertarung sendiri. OBH harus bisa melebur ke berbagai organisasi masyarakat, melebur bersama mahasiswa, melebur bersama petani, dan tentu saja melebur bersama buruh. Karena OBH lahir dari rahim masyarakat, ia harus bersama masyarakat. Pamali jika OBH mendurhakai ibunya sendiri, yaitu masyarakat.
ADVERTISEMENT
Zainudin Ali mengenalkan istilah empat kekuatan sosial dalam masyarakat: 1. kekuatan uang; 2. kekuatan politik; 3. kekuatan massa; 4. kekuatan teknologi baru. Dari keempat hal itu OBH meski melakukan kekuatan massa terlebih dahulu.
Untuk melakukan kerja-kerja di atas, maka mesin OBH itu sendiri harus menyala. OBH tidak boleh hanya nama, ia harus aktif sebagaimana mestinya. Advokat, paralegal, staff, relawan, dan siapa saja orang-orangnya yang ada di dalam harus bisa kerja kolektif. Tidak berjalan sendiri-sendiri, meski satu misi dan satu visi, agar OBH bisa berfungsi sebagai alat bantuan hukum bagi masyarakat.
Tak kalah penting adalah pintu kantor OBH harus terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin bertamu “minta pendampingan”. OBH harus bisa menjadi rumah kedua bagi masyarakat sebagai tempat bernaung mencari keadilan. Karena bagi masyarakat akses keadilan itu bisa didapatkan dari OBH.
ADVERTISEMENT
C. Pengadvokasian
1. Non Litigasi
Dijelaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (UUPH) Jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi:
a. Perselisihan hak
b. Perselisihan kepentingan
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Di antara empat poin perselisihan itu, perselisihan pemutusan hubungan kerja yang paling sering terjadi antara buruh dengan perusahaan. Karena itu pula buruh yang belum mandiri biasanya mengadu mencari bantuan ke kantor Advokat atau Organisasi Bantuan Hukum (OBH) di wilayahnya. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 4 UUPH perselisihan pemutusan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
ADVERTISEMENT
Pada kasus buruh tidak serta-merta menggugat perusahaan jika terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sepihak oleh perusahaan. Ada upaya-upaya penyelesaian perkara di luar persidangan, seperti bipartit dan tripartit.
UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI menjelaskan perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Pada tahap ini pekerja berdialog dengan perusahaan untuk mencapai suatu kesepakatan. Apakah tetap akan di-PHK, atau kembali dipekerjakan dengan syarat tertentu, atau seperti apa?
Selanjutnya jika tidak ada kesepakatan, maka persoalan ini akan berlanjut di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) dan Transmigrasi, sebagaimana yang kita kenal dengan tripartit. Jalur tripartit merupakan suatu penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha yang ditengahi oleh mediator yang berasal dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU PPHI.
ADVERTISEMENT
Terakhir, karena belum ada titik temu maka kasus PHK ini akan berlanjut di Pengadilan Hubungan Industrial. Dan ini masuk ke ranah advokasi litigasi.
Sebagaimana sudah disinggung di awal, Advokat atau Paralegal di OBH tidak langsung menjadi superhero yang bisa menyelesaikan masalah. Dia harus bisa memberikan pendidikan progresif terhadap buruh. Tentu saja buruh yang belum berorganisasi akan terkejut jika disuruh mengadvokasi dirinya sendiri, dan semakin takut jika berhadapan dengan perusahaan.
Tentu kita paham, belum lagi pasca PHK, tentu si buruh tadi tidak punya pemasukan. Maka jauh sebelum tanda tangan kuasa, Advokat atau Paralegal tadi sudah memberikan pemahaman dan kesepakatan. Buruh harus paham OBH hadir bukan sekadar menyelesaikan permasalahan hukum pada pucuk daun saja, tapi minimal memotong dahan permasalahan. Maksudnya, OBH tidak menyelesaikan kasus satu persatu, tapi mencicil kesejahteraan buruh. Seperti mendorong undang-undang sesuai impian buruh itu sendiri. Jadi, kalau mau tetap diadvokasi maka buruh harus maju sendiri menghadapi perusahaan dan siap bersidang di pengadilan.
ADVERTISEMENT
Jika buruh sudah seiya dan sekata, maka selanjutnya tugas OBH adalah menjadi lokomotif bagi buruh yang sedang ditindas oleh perusahaan. OBH menyiapkan pendidikan rutin sembari persoalan kasus tetap berjalan. OBH juga semakin menguatkan rasa persaudaraan terhadap kaum buruh.
Pengadvokasian non litigasi ini juga meski didukung dengan kampanye isu ke berbagai media. Diskusi rutin yang membahas permasalahan buruh yang dialami. Dan bila perlu berunjuk rasa atau beraudiensi ke instansi-instansi terkait. Dengan begitu pengadvokasian non litigasi bisa lebih maksimal.
2. Litigasi
Advokasi Litigasi dalam kasus perburuhan sebenarnya buruh sendiri bisa maju di persidangan. Buruh bisa membela kepentingannya dan membela hak-haknya di depan hakim di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Jadi buruh dalam menghadapi perkara tidak perlu lagi memberikan kuasa kepada Advokat.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana termaktub dalam Pasal 25 Ayat 1 huruf b Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh menjelaskan “Serikat Pekerja/Serikat Buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak: Mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial.”
Selanjutnya juga diatur dalam Pasal 87 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI): “Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.”
Namun yang menjadi catatan adalah buruh yang bisa bersidang adalah buruh yang terdaftar dalam serikatnya. Jika buruh tidak berserikat tentu tidak bersidang. Nah, dari hal ini buruh bisa belajar betapa pentingnya untuk berserikat, karena dengan berserikat salah satu haknya bisa diperjuangkan dengan mandiri tanpa harus memberikan kuasa kepada Advokat.
ADVERTISEMENT
Apakah ketika Advokat yang menangani kasus buruh bisa menang di PHI, atau bahkan sampai Kasasi? Belum tentu juga! Perlu diketahui, pihak perusahaan tidak begitu saja mau mengalah. Proses pengadvokasian bisa memakan waktu tahunan, bahkan jika menang sudah saatnya pengeksekusian dari pengadilan, perusahaan masih bisa melakukan Gugatan Perlawanan di Pengadilan Negeri (PN). Walaupun bisa ditebak perusahaan kalah, karena telah melawan produk hukum dari PN, tapi itu mengulur-ngulur waktu. Boleh jadi dalam tenggang waktu itu perusahaan mengatur strategi.
D. Pengorganisasian Buruh
Salah satu kunci keberhasilan pengadvokasian buruh adalah dengan kekuatan organisasi buruh itu sendiri. Maka buruh harus punya organisasi. Hal ini semata-mata untuk kepentingan buruh, bukan yang lain.
Demi terjaminnya buruh untuk berorganisasi ditegaskan pada Pasal 28 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh: Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara :
ADVERTISEMENT
a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;
d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.
Selanjutnya akan diberikan sanksi yang tegas apabila melarang atau menghalangi buruh yang ingin berserikat sebagaimana Pasal 43 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000:
(1) Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
ADVERTISEMENT
Atas amanah UU di atas maka buruh di setiap perusahaan meski membangun organisasi buruh untuk bisa memperjuangkan hak-hak normatifnya. Dalam proses pembentukannya OBH sebaiknya bisa turut membantu buruh jika memang diperlukan.
Selanjutnya bagaimana agar organisasi buruh tadi semakin mantap dan punya kekuatan untuk berjuang. Maka perlu adanya pelatihan buruh.
1. Pelatihan Buruh
Sudah sepatutnya OBH bisa mendampingi buruh yang sudah berserikat, dan memberikan pendidikan hukum. Pendidikan ini bisa dilakukan sepekan dalam sekali yang membahas apa saja hak-hak buruh. Bisa juga membedah Undang-Undang yang berhubungan dengan buruh. Atau mendiskusikan persoalan-persoalan buruh yang sedang hangat.
Penyelenggara dalam hal ini OBH juga bisa bekerjasama dengan organisasi lain atau instansi dari pemerintah, seperti Dinas Ketenagakerjaan, Organisasi Advokat, Organisasi Mediator, dan instansi atau organisasi yang berhubungan dengan perburuhan.
ADVERTISEMENT
Selain itu intelektual pengembangan diri buruh juga harus ditingkatkan, maksudnya soft skill buruh harus diupgrade. Misalnya buruh yang belum bisa mengoperasikan komputer/laptop, maka dihadirkan seseorang yang profesional untuk memberikan pendidikan tentang penggunaan aplikasi komputer atau laptop. Ini hanya satu contoh saja, bisa pendidikan soft skill lainnya seperti menulis, desain, komunikasi, dan lain-lain.
Dengan begitu buruh tak hanya paham hak normatif buruh saja, dengan mengikuti organisasi buruh tersebut bisa mendapatkan soft skill baru yang tentu saja menunjang kerja-kerjanya di perusahaan.
Pelatihan ini juga meski ditindaklanjuti, tidak cukup diselenggarakan dua atau tiga kali saja. Dan perlu uji uji kerja setelah adanya pelatihan dengan cara diberi tugas untuk mengadvokasi permasalahan buruh. Dengan begitu bisa terlihat sudah sampai di mana pelatihan buruh sudah bekerja. Dan sekaligus bisa melakukan evaluasi kerja, apa yang perlu ditingkatkan dan apa yang harus dikurangi.
ADVERTISEMENT
E. Melebur dengan Buruh
Personil di OBH, seperti Advokat, dan Paralegal kurang elok jika menganggap dirinya istimewa. Karena jika terjadi demikian, akan terjadi gap atau jarak antara OBH dan masyarakat, antara Advokat/Paralegal dengan masyarakat. Personil OBH harus terbiasa dengan karakter masyarakat, memahami karakter masyarakat, dan bisa berbaur dengan masyarakat.
Masyarakat awam apalagi yang perekonomian rendah itu sungkan jika pertama kali ke kantor OBH. Mereka juga tidak bisa membedakan kantor Advokat dengan kantor OBH. Tidak bisa dipungkiri menyinggung nama Advokat, memory masyarakat tertuju ke Hotman Paris. Seorang Advokat yang kaya raya, berpenampilan nyentrik, dikelilingi Aspri yang cantik, kantornya mewah, dan kesana-sini naik lamborghini. Dalam benak masyarakat pasti pakai jasa Advokat mahal.
ADVERTISEMENT
Padahal tidak juga, Advokat juga bisa mengadvokasi secara cuma-cuma. Hotman Paris misalnya, meskipun dia sudah sukses, dia tetap membantu masyarakat miskin. Karena sejak magang di kantor Adnan Buyung Nasution, Hotman sudah mengenal kerja-kerja pro bono. Maka tak heran sampai sekarang dia masih mengadvokasi perkara pro bono, karena kebiasaan itu sudah dilakukan sejak Hotman masih muda.
Oleh karena itu Perlu sosialisasi dan agar OBH semakin familiar perlu kampanye OBH secara masif. Agar masyarakat mengenal, agar buruh akrab dengan OBH. Politisi Adian Napitupulu pernah mengatakan lebih kurang begini, mahasiswa harus dekat dengan masyarakat, tahu aroma keringat masyarakat. Maka OBH juga bisa begitu, meski paham aroma buruh dari setiap tetesnya yang menopang ekonomi negara.
ADVERTISEMENT
Setelah saling mengenal kepercayaan terjalin, maka kerja-kerja pengadvokasian akan lebih mudah.
Selanjutnya jika hubungan baik itu terjalin, maka OBH dan buruh bisa melakukan Kerja Kolektif. Hubungan OBH dan buruh tak hanya soal pengadvokasian saja, masih banyak yang bisa dilakukan OBH dan buruh, seperti membuat event pada 17 Agustus, membuat event pada Hari Buruh setiap 1 Mei, gotong royong di perumahan buruh, dan masih banyak event yang tentunya bisa dikerjakan secara kolektif.
Penulis: Asmara Dewo, Advokat di Manado. Dan juga mahasiswa Hukum Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi