Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Mengungkap Fenomena Kekerasan Seksual (Persetubuhan) yang Dilakukan Anak
21 Januari 2025 7:38 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Asmara Dewo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pelaku kekerasan seksual yang dilakukan anak tentu ini membuat kita dilema dalam menelaah kasusnya. Di satu sisi kita harus tegas dalam menegakkan hukum, tapi di sisi lain pelaku ini masih kategori anak anak. Maka kita tidak cukup hanya melihat di atas kertas kasus kekerasan seksual saja, tapi kita perlu melihat latar belakang bagaimana bisa terjadi hal yang demikian itu?
ADVERTISEMENT
Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) mencatat sejak 2020 sampai Agustus 2024 kasus kekerasan seksual terus bertambah setiap tahun. Pada periode Agustus 2024 saja tercatat 6.302 anak menjadi korban kekerasan seksual. Perlu diketahui, naiknya tinggi kekerasan seksual yang tercatat ini juga dipengaruhi oleh keberanian korban dan keluarganya untuk mengungkap kasus kekerasan seksual tersebut.
Memahami Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual belum dipahami secara merata di Indonesia, bahkan APH (Aparat Penegak Hukum) seperti Polisi masih bingung memahami apa sebenarnya kekerasan seksual itu. Atau Advokat yang menyakini bahwa terjadinya kekerasan seksual jika pelaku melakukan kekerasan terlebih dahulu sebelum melakukan (persetubuhan atau cabul).
Maka tak heran di lapangan terjadi multitafsir antara APH itu sendiri, meskinya ini sudah selesai pasca lahirnya Undang Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. UU ini sebagai langkah konkret negara dalam upaya menangani kekerasan seksual yang menjamin hak hak korban, bahkan sampai di tahap agar pelaku tidak mengulangi kejahatannya dengan rehabilitasi medis dan sosial.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hukum positif Indonesia, pengertian kekerasan seksual yang sangat lengkap dan terbaru adalah Pasal 12 ayat (1) Permendikbudristek No. 55/2024 Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender yang berakibat pada penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu reproduksi seseorang dan hilangnya kesempatan melaksanakan pendidikan dan/atau pekerjaan dengan aman dan optimal.
Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU TPKS (Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) juga sudah membagikan jenis kekerasan seksual sebagai berikut “Tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas: a. pelecehan seksual nonfisik; b. pelecehan seksual fisik; c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan sterilisasi; e. pemaksaan perkawinan; f. penyiksaan seksual; g. eksploitasi seksual; h. perbudakan seksual; dan I. kekerasan seksual berbasis elektronik.”
ADVERTISEMENT
“Selain tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tindak pidana kekerasan seksual juga meliputi: a. perkosaan; b. perbuatan cabul; c. persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; d. perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan dengan kehendak korban; e. pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; f. pemaksaan pelacuran; g. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan eksploitasi seksual; h. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; i. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual; dan j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagaimana tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang undangan.”
ADVERTISEMENT
Sumintak dan Abdullah Idi (2022) mengutip Christoper Kilmatin (2001) dalam bukunya berjudul Sexual Assault in Context: Teaching College Me about Gender menjelasakan banyak kasus kekerasan seksual bukanlah hasil dari kesalahpahaman atau kekeliruan antara kedua belah pihak, bukan juga karena unsur ketidaksengajaan, khilaf, atau terjadi tiba tiba, melainkan kekerasan seksual terjadi karena adanya unsur perencanaan dan dilakukan secara sadar oleh pelaku yang mempunyai kuasa, kesempatan, dan membaca situasi korbannya.
Bahkan sampai pada pelaku mengetahui dan menganggap korban tidak akan menolak ataupun bercerita ke orang lain atas kejadian yang dialaminya. Pelaku juga tak segan mengancam atau mengintimidasi jika korban berniat melaporkan kejadian tersebut.
Prihatin (2017) menjelaskan pada umumnya kekerasan seksual merupakan kekerasan berbasis gender (gender based violence) yang dipahami sebagai suatu tindakan yang mengakibatkan kerusakan atau penderitaan fisik, seksual, atau mental psikologis. Dalam perspektif feminisme akar kekerasan seksual merupakan pandangan streotype terhadap keberadaan seorang perempuan.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, secara sadar atau tidak, perempuan seringkali dipandang sebagai the second sex dan second sex citizen, sebagaimana yang dikenalkan oleh Simone de Beauvoir. Hal inilah yang menunjukkan adanya persoalan ketidaksetaraan gender yang telah berkembang lama dan membentuk suatu kontruksi sosial budaya tersendiri mengenai perempuan, terutama tentang tubuh dan seksualitasnya.
Ada empat diskursus yang membahayakan menurut Michael Foucault, pertama politik (kekuasaan), kedua hasrat (seksualitas), ketiga kegilaan, dan keempat apa yang dianggap palsu atau benar (Lubis, 2014). Dari empat diskursus tersebut, hasrat (seksualitas) ini menjadi salah satu kunci memahami kekerasan seksual, karena menyatunya antara kekuasaan dan seksualitas.
Terjadinya relasi yang timpang, tidak setara antara pelaku dan korban, pelaku pada posisi superior sementara korban pada posisi subordinat. Pelaku memiliki otoritas sehingga korban menjadi ketergantungan, takut, khawatir, dan sungkan, dan terpaksa memenuhi hasrat seksual pelaku.
ADVERTISEMENT
Anak laki laki dan perempuan pada posisi yang tidak setara, budaya patriarki yang turun temurun mengakibatkan perempuan pada posisi yang dilemahkan. Dampak buruk budaya ini berakibat anak perempuan mengikuti apa saja perintah dan kemauan si anak laki laki. Karena laki laki dianggap lebih punya otoritas sehingga bisa mengatur anak perempuan lainnya.
Kenapa Anak Bisa Melakukan Kekerasan Seksual?
Muhammad Syauqi Almalik (2022) mengutip Sigmund Freud yang membagi perkembangan kepribadian menjadi tiga tahap: 1. masa kanak kanak (0-5 tahun), 2. tahap laten (5-12 tahun), dan 3. tahap genital (12 tahun keatas). Tahap genital ini terjadi suatu pertumbuhan tanda-tanda sekunder seksual dan juga primer. Pada fase ini, impuls seks itu mulai disalurkan ke obyek di luar, seperti; berpartisipasi dalam kegiatan kelompok, menyiapkan karir, cinta lain jenis, perkawinan dan keluarga. Terjadi perubahan dari anak yang narsistik menjadi orang dewasa yang berorientasi sosial, realistis, dan altruistik.
ADVERTISEMENT
Hal ini sangat relevan bagaimana terjadi kasus kekerasan seksual (persetubuhan) terhadap korban anak dan pelakunya adalah anak, seperti kekerasan seksual (persetubuhan) yang terjadi pada siswi SMP umur 13 tahun di Palembang, Sumatera Selatan. Korban dibunuh dan diperkosa oleh empat anak (16 tahun, 13 tahun, dua anak lain berumur 12 tahun).
Penulis juga mendampingi korban kekerasan seksual anak di Minahasa Utara, Sulawesi Utara, yang dilakukan 9 terduga pelaku, empat dilakukan oleh anak ( 17 tahun, 16 tahun, 14 dan 13 tahun). Salah satu terduga pelaku juga sempat memvideokan saat terjadinya persetubuhan tersebut. Hal ini boleh jadi terinspirasi dari tontonan konten porno. Sedangkan di Kota Manado dilakukan oleh terduga pelaku anak berumur 13 tahun dan korbannya 9 tahun. Nah, terduga pelaku ini juga kerap menonton konten porno.
ADVERTISEMENT
Bahkan di tahap tertentu seorang anak bisa melakukan femisida, sebagaimana pada kasus di Palembang, tidak hanya diperkosa tetapi juga dibunuh. Fenomena ini bisa dianalisis berdasarkan teori Economic Analysis of Law yang ditulis oleh Richard A. Posner, yaitu cara pandang hukum melalui perspektif ilmu ekonomi. Pelaku kriminal jika memperkosa disamakan dengan hukuman mati. Maka dia memerkosa sekaligus membunuh, lebih efisien karena membunuh menghilangkan saksi. Pelaku kriminal selalu berpikiri efisien (Rocky Gerung, 2023).
Mengapa perkembangan anak bisa sampai ke tahap kenakalan yang luar biasa? K. Bartens (2005) mengutip John Locke yang menyatakan bahwa pengalaman dan pendidikan merupakan faktor yang paling menentukan dalam perkembangan anak. Menurut Locke isi kejiwaan anak ketika dilahirkan diibaratkan secarik kertas kosong, di mana corak dan bentuk kertas ini ditulis. Locke memberikan istilah tabula rasa (Blank Slate), mengungkapkan pentingnya pengaruh pengalaman dan lingkungan hidup terhadap perkembangan anak.
ADVERTISEMENT
APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) mendata pengguna internet pada 2024 mencapai 221.563.479 orang dari total populasi 278.696.200 penduduk Indonesia pada 2023. Penggunanya adalah mayoritas Gen Z (berumur 12 sampai 27 tahun) sebanyak 34,40 persen. State of Mobile berdasarkan riset data.ai mengungkapkan pengguna internet Indonesia dalam sehari menghabiskan waktu 6,05 jam per hari (Jawa Pos, 2024).
Pendidikan Indoneisa perlu lebih progresif lagi, memberikan pendidikan seksual secara maksimal. Karena selama ini membicarakan seksual dianggap tabu, padahal jika diabaikan maka anak anak akan mencari pengetahuannya sendiri dengan cara yang keliru. Anak anak yang saban waktu memegang smarphone akan terjebak pada konten konten porno. Dan ini akan menjadi rutinitasnya, seperti kecanduan. Awalnya menonton, lama kelamaan akan mempraktikkannya. Ia akan mencari objek seksualitasnnya, karena sudah tidak bisa mengontrol diri.
ADVERTISEMENT
Psikolog Klinis Anak dan Remaja Vera Itabiliani Hadiwidjojo mengungkapkan salah satu pemicu utama pelaku kekerasan seksual itu akibat situs porno (Media Indonesia, 2024). Di mana seorang anak tidak mengetahui pendidikan yang salah terhadap seksualitas. Senada dengan Psikolog Gisella Pratiwi yang menjelaskan terjadinya kekosongan edukasi seksual, sehingga konten porno menjadi pencarian anak anak (Project Multatuli, 2021).
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kekerasan seksual harus menjadi perhatian serius oleh negara, maka negara harus tegas dalam membuat kebijakan dan penanganan kasus kekerasan seksual secara maksimal. Karena korban harkat dan martabatnya hancur, juga mengalami trauma berkepanjangan. Tentu lebih bijak jika negara melakukan upaya pencegahan daripada sudah terjadi kekerasan seksual.
Selain itu, pelaku anak ini juga sangat berbahaya jika tidak ditangani serius oleh negara, perlunya kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatn hukum, sebagaimana tujuan hukum itu sendiri. Karena Tidak seriusnya penanganan terhadap pelaku sama saja negara memelihara predator seksual.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu yang Pertama, negara meski memberikan pendidikan seksual yang komprehensif di lingkungan pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Kedua, memprioritaskan kasus kekerasan seksual pada tataran penegak hukum. Ketiga, negara harus tegas terhadap produsen konten porno. Kelempat, memastikan masa depan korban kekerasan seksualnya, baik dari segi pendidikannya, kesehatannya, maupun perekonomiannya. Kelima, negara menjamin fasilitas mendukung hobi yang positif terhadap anak anak di tingkatan desa sampai kota, agar mereka tidak terjebak pada rutinitas internet yang tidak produktif.
Dan tak kalah penting, upaya keluarga bisa memastikan pendidikan seksual dimulai sejak di rumah, agar tidak menjadi korban ataupun pelaku kekerasan seksual. Orangtua meski perduli dengan tumbuh kembang anak, tidak cukup hanya menitipkan anak di sekolah berharap mereka dididik otak dan moralnya oleh gurunya.
ADVERTISEMENT
Penulis: Asmara Dewo, Advokat/Pendamping Korban Kekerasan Seksual di Sulawesi Utara