Arti Kemenangan Partai Konservatif Bagi Politik Modern Inggris

Asmiati Malik PhD
International Relations - International Political Economist - Young Scholars Initiative - Senior researcher at AsianScenarios - Dosen Hubungan Internasional Universitas Bakrie
Konten dari Pengguna
15 Desember 2019 14:47 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar 1 : Hasil perolehan suara Pemilu Desember 2019 di Inggris (Foto BBC UK)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar 1 : Hasil perolehan suara Pemilu Desember 2019 di Inggris (Foto BBC UK)
ADVERTISEMENT
Inggris baru saja melaksanakan pemilihan umum yang keempat kalinya dalam lima tahun terakhir untuk mencari jalan keluar dari legislatif deadlock berkepanjangan mengenai keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang juga dikenal dengan Brexit.
ADVERTISEMENT
Hasil dari pemilu memberikan hadiah Natal yang manis untuk Partai Konservatif (Tory) sebagai pemenang dan mampu mengalahkan 27 partai lain yang ikut kontestasi. Partai Konservatif bahkan sanggup mengalahkan pesaing beratnya yaitu Partai Buruh di kandang mereka. Dari sejak awal sudah bisa diprediksikan Tory akan menjadi pemenang namun kemenangan dramatis Tory dengan 47 kursi tambahan di parlemen dan hilangnya 59 kursi bagi Partai Buruh menyisakan tanda tanya besar mengenai masa depan politik Inggris (lihat Gambar 1).
Gambar 2: Perdana Menteri Inggris Boris Johnson (Foto Tolga AKMEN / AFP)

Bagaimana Brexit Terjadi?

Inggris satu-satunya negara di dunia ini yang mampu menjaga stabilitas politik nasional selama satu abad terakhir. Tidak hanya itu mereka juga mampu menjaga keguncangan politik yang muncul baik dari kalangan kelas pekerja, menengah, dan elite. Kemampuan Inggris menjaga stabilitas politik mereka tidak bisa dilepaskan dari penerapan etika mengungkapkan pendapat dan menyatakan pendapat mereka secara etis. Mereka sangat jarang menampakkan aksi protes yang bersifat anarkis atau berakhir pada aksi perusakan.
ADVERTISEMENT
Namun dibalik kestabilan politik tersebut terjadi segregasi besar-besaran di masyarakat antara pemilih yang menghendaki Inggris berpisah dengan Uni Eropa pemilih yang memilih untuk tetap menjadi bagian dari masyarakat Eropa. Akar permasalahan ini bisa dirunut dari krisis finansial yang berawal di Amerika Serikat kemudian merambat ke Eropa termasuk Inggris di tahun 2008/2009. Pada saat itu banyak perusahaan yang harus gulung tikar dan menyebabkan jumlah pengangguran yang terus meningkat bahkan mencapai 8.1% di tahun 2011 (lihat Graf 1).
Graf Tingkat Pengangguran dalam (%) di Inggris tahun 2008-2018 (Foto Statistika)
Jumlah angka pengangguran yang terus meningkat ini menyebabkan ketidakpuasan pada mekanisme pasar dan imigrasi yang dianggap terlalu ramah untuk penduduk Eropa yang bisa dengan leluasa masuk ke Inggris untuk mencari pekerjaan. Bahkan para pendatang dari negara Eropa ini dianggap sebagai sumber utama hilangnya pekerjaan banyak warga negara Inggris karena diambil dari pendatang yang mau dibayar dengan gaji rendah.
ADVERTISEMENT
Gesekan-gesekan sosial dari bawah ini yang memicu reaksi politik terlebih lagi munculnya argumen-argumen yang menyangsikan manfaat dari bergabungnya Inggris di Eni Eropa, terlebih lagi biaya keanggotaan yang besar yang harus di bayar setiap tahunnya. Misalnya saja di tahun 2018, Inggris harus membayar kontribusi ke anggaran Uni Eropa sebesar £13 miliar poundsterling atau setara dengan $17 miliar dolar Amerika Serikat. Biaya yang sangat besar ini dianggap oleh banyak kalangan tidak cukup memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Inggris.
Ketidakpuasan terhadap progres ekonomi yang begitu lamban terlebih lagi standar gaji yang dianggap sangat rendah membentuk desakan politik yang akhirnya direspons oleh Perdana Menteri David Cameron yang menginisiasi referendum keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Hasil dari referendum ini membuat para kalangan elite politik di Inggris terkejut karena mereka tidak pernah menyangka hasil pemilu akan membawa dilema politik yang berkepanjangan terlebih lagi untuk Tory.
ADVERTISEMENT

Masa depan Inggris setelah Brexit

Di partai Tory sendiri sudah terpecah menjadi dua kubu yaitu kubu yang menghendaki Inggris keluar tanpa adanya dil-dil atau perjanjian yang mengingat atau juga dikenal dengan (hard Brexit) dan kubu yang menginginkan dil (soft Brexit). Perpecahan dalam Tory sebagai partai penguasa ini menciptakan deadlock yang berkepanjangan bahkan perdana Menteri Theresa May terpaksa mengundurkan diri karena gagal mendapatkan dukungan dari parlemen bahkan dari partainya sendiri.
Pengunduran Theresa May ini memberikan jalan bagi Boris Johnson untuk meraih tampuk kekuasaan sebagai Perdana Menteri Inggris. Namun perjalanan politik Boris juga tidaklah mulus, ia mendapatkan perlawanan dari anggota partainya sendiri. Sayangnya percikan perlawanan ini tidak mampu dimampu digunakan oleh Partai Buruh di pimpin oleh Jeremy Corbyn. Kegagalan Partai Buruh di kandangnya sendiri menjadi presiden buruk bagi masa depan partai.
ADVERTISEMENT
Kegagalan tersebut tidak bisa dilepaskan dari ketokohan Jeremy Corbyn yang tidak mendapatkan respons yang sama seperti Gordon Brown dan Tony Blair ketika memimpi Partai Buruh. Selain itu program yang ditawarkan juga terlalu sosialis kiri seperti misalnya internet gratis memunculkan argumen akan mematikan persaingan antar perusahaan telekomunikasi yang ujungnya pasti menyebabkan rendahnya kualitas jaringan internet di UK. Selain itu Partai Buruh juga terkesan abu-abu mengenai kebijakan mereka keluar dari Uni Eropa. Ini menyebabkan ambiguitas dan kebingungan antar pemilih, sehingga tidak mengherankan suara Partai Buruh beralih ke Tory.
Dengan kemenangan Tory sudah bisa dipastikan Inggris akan keluar secepatnya dari Uni Eropa. Namun kemenangan ini menyisakan pekerjaan rumah dan beban politik yang sangat besar, mengingat Scottish National Party (SNP) juga meraih kemenangan jumlah 48 kursi di parlemen yang cukup signifikan. Kemenangan SNP yang getol berjuang untuk tetap berada di Uni Eropa mengancam keutuhan dan persatuan Inggris dengan munculnya kemungkinan Scotland akan meminta untuk berpisah dari Inggris. Lepasnya Scotland dari Inggris ditambah Brexit sudah pasti akan mengecilkan peran dan kekuatan politik dan ekonomi mereka di dunia Internasional dan ini sudah barang tentu akan mengubah landscape masa depan modern politik Inggris.
ADVERTISEMENT