Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Beralih ke Ekonomi Sirkular
2 April 2021 10:40 WIB
Tulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pandemi Covid-19 menekan proporsi konsumsi masyarakat dan industri terhadap beberapa jenis barang dan jasa secara temporer. Hal ini tidak akan mengubah pola konsumsi dan produksi yang bersifat linier dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Pola Ekonomi Linier atau dalam bahasa sederhana adalah ‘beli-pakai-buang’ masih mendominasi pola konsumsi dan produksi di negara kita.Ini tercermin dari jumlah sampah dari hasil konsumsi yang begitu besar.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2017 menunjukkan jumlah sampah secara nasional mencapai 64 ton per tahun dengan asumsi setiap orang menghasilkan 0,7 kg sampah per hari.
Ini berarti ada 175.00 ton sampah yang dihasilkan setiap harinya. Angka ini diperkirakan mencapai 223,23 ton per tahun, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang diperkirakan mencapai 318,9 juta jiwa di tahun 2045.
Sebagian besar atau 60 persen dari komposisi total sampah yang ada, didominasi oleh sampah organik yang masih memiliki potensi besar untuk didaur ulang. Kemudian disusul oleh sampah plastik sebesar 14 persen dan sampah kertas sebesar 9 persen.
ADVERTISEMENT
Besarnya volume sampah ini sudah barang tentu memiliki potensi dampak yang cukup besar terhadap pencemaran lingkungan, terutama sampah yang dibuang di saluran pembuangan air.
Sampah tersebut berpotensi menghambat saluran air sekaligus merusak ekosistem serta biota sungai dan laut. Setidaknya terdapat 1,29 juta ton sampah dibuang ke sungai yang kemudian bermuara di laut.
Berdasarkan data dari Bank Dunia, sampah yang ada di saluran air kita dipenuhi oleh sampah organik sebesar 44 persen, kemudian popok 21 persen, plastik yang mencakup kantong plastik, kemasan plastik dan plastik lainnya sebesar 30 persen.
Data-data di atas mempertegas bahwa sebagian besar produk yang kita konsumsi berasal dari hasil produksi industri ‘habis-pakai-buang’.
Budaya konsumsi masyarakat yang didukung oleh industri yang tidak memikirkan kelestarian lingkungan dalam jangka panjang menyebabkan susahnya peralihan di model produksi yang ramah lingkungan. Oleh karena itu, perlu ada pola pendekatan baru yang bisa mengubah dan melonggarkan sekat-sekat tersebut.
ADVERTISEMENT
Saya berargumentasi bahwa salah satu pendekatan yang tepat untuk dilakukan adalah dengan mengadopsi model Ekonomi Sirkular untuk menciptakan ekosistem ekonomi yang berkelanjutan serta mampu menjaga kelestarian lingkungan.
Ekonomi Sirkular
Konsep Ekonomi Sirkular merupakan konsep yang relatif masih baru. Uni Eropa pertama kali memperkenalkan action plan Ekonomi Sirkular di tahun 2015. Tujuan utama mereka adalah untuk meningkatkan daya kompetisi mereka di level global, mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menciptakan lapangan kerja baru. Ekonomi Sirkular secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah konsep ekonomi yang benar-benar berkelanjutan dan mampu diterapkan tanpa adanya sisa (sampah) serta mampu bersinergi dengan ekosfer bumi.
Walter Stahel (2016) berpandangan bahwa Ekonomi Sirkular adalah pendekatan yang berusaha untuk mencari cara bagaimana barang yang kita gunakan hari ini, menjadi sumber daya yang bisa digunakan besok dengan harga atau beban ekonomi yang sama.
Pendekatan Ekonomi Sirkular sudah banyak didukung dan diadopsi oleh pelaku pasar internasional. Seperti misalnya Apple memiliki program yang mereka sebut sebagai Apple Recycling Programs. Melalui program tersebut, Apple bisa mendaur ulang kembali komponen-komponen dari produk bekas termasuk aluminium, baja, emas, litium, platinum dan tembaga menjadi bahan baku untuk digunakan pada produk baru mereka.
ADVERTISEMENT
Dari pelaku industri garmen, perusahaan multinasional asal Swedia H&M juga mulai kebijakan daur ulang. Ini hanyalah sebagian kecil dari banyaknya perusahaan global yang sudah mulai mendukung pola bisnis yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Pemerintah Indonesia juga lewat Bappenas sudah menyepakati penerapan strategi Ekonomi Sirkular dengan tujuan akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan yang memberikan dampak positif terhadap lingkungan. Dampak positif yang bisa didapatkan bisa mengurangi beban biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi kerusakan lingkungan seperti misalnya pencemaran tanah, air dan udara.
Kekayaan alam yang kita punya memiliki keterbatasan untuk menopang kebutuhan nasional yang setiap tahunnya bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Sumber daya alam yang kita keruk, digunakan dan kemudian dibuang tidak memberi nilai tambah yang optimal, bahkan akan menimbulkan beban baru (negative externalities) dari model konsumsi yang selama ini kita anut. Sedangkan dari sisi produksi, pelaku usaha kita memang masih cenderung didominasi oleh model usaha yang mengikuti permintaan konsumen. Seperti misalnya, masih banyak pelaku usaha yang menjalankan bisnis yang modelnya linier. Sehingga kohesivitas antara konsumen dan pelaku usaha juga cenderung bersifat buat-pakai-buang.
ADVERTISEMENT
Ekosistem Inovatif
Penerapan Ekonomi Sirkular memang memiliki tantangan tersendiri termasuk membutuhkan inovasi bisnis model yang tepat.
Model bisnis yang ekstraktif dan cenderung orthodox harus diganti dengan demikian transisi dari model Linier ke Sirkular bisa cepat dijalankan. Ini bisa dimulai dengan membentuk ekosistem yang baik itu secara suprastruktur, infrastruktur serta modal sosial yang kuat.
Pengambil kebijakan, politisi dan para akademisi perlu mendukung peralihan yang diperkirakan memang akan menghasilkan perubahan pada pola konsumsi dan produksi. Kendati demikian, ini sangat kita butuhkan untuk mengurangi dampak yang dihasilkan dari pola hidup dan ketersediaan sumber daya yang semakin besar biayanya akibat dari terus tumbuhnya konsumen baru, sementara ketersediaan barang belum mampu mengimbangi besarnya jumlah permintaan. Dukungan sosial dari masyarakat untuk mengubah pola pandang mereka terhadap barang yang dikonsumsi juga tidak kalah penting. Seperti misalnya peralihan dari penggunaan kantong plastik ke kantong serbaguna terutama untuk aktivitas jual beli di pasar-pasar tradisional.
ADVERTISEMENT
Kerja sama dan dukungan antara pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat untuk mendukung peralihan dari model Ekonomi Linier ke model Sirkular akan membentuk kelembagaan ekonomi yang kuat. Salah satu langkah dari program pemerintahan Joko Widodo yang patut diapresiasi adalah dengan dikeluarkannya Perpres No. 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan.
Kita bisa memfokuskan keunggulan daya saing (competitive advantage) kita di industri mobil listrik yang 60 persen kunci pengembangannya ada di baterai. Material atau bahan baku utama dari pembuatan baterai itu bisa diperoleh dari dalam negeri, sehingga biaya yang keluarkan akan semakin efisien. Program seperti ini juga mampu memberikan dampak positif terhadap lingkungan dengan mengurangi kandungan CO2 di udara yang menyebabkan polusi udara. Dengan demikian, ada dua manfaat yang bisa kita dapatkan termasuk dari segi ekonomi dan Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah dalam tugasnya menjadi catalyst yang bisa menjadi aktor yang mengubah model ekonomi. Tapi pada prinsipnya, semua kebijakan tidak bisa berdiri sendiri karena membutuhkan agen-agen perubahan dari semua pelaku ekonomi termasuk pelaku usaha dan masyarakat. Kita bisa memulai itu semua dengan mengubah pola pikir dan pola konsumsi kita ke arah yang berkelanjutan, karena pada ujungnya generasi bangsa sekarang dan masa depan yang akan merasakan manfaat dari model Ekonomi Sirkular.