Jatuh Bangun Perekonomian China: dari Bencana Kelaparan ke Jalur Sutra

Asmiati Malik PhD
International Relations - International Political Economist - Young Scholars Initiative - Senior researcher at AsianScenarios - Dosen Hubungan Internasional Universitas Bakrie
Konten dari Pengguna
27 Januari 2022 15:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo @ap
zoom-in-whitePerbesar
Photo @ap
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Too big to fail, mungkin bisa menggambarkan kondisi perekonomian China sekarang. Rentetan permasalahan ekonomi dan politik semakin mendera negara tersebut mulai dari pandemi Covid-19, pemulihan ekonomi dan perang dagang dengan Amerika.
ADVERTISEMENT
Selama 60 tahun, perekonomian china memang terus menanjak dan selama beberapa dekade menikmati pertumbuhan ekonomi diatas sepuluh persen. Suatu prestasi yang sangat luar biasa.
Pertumbuhan ekonomi mereka sempat jatuh sangat dalam minus 27% di tahun 1961, akibat kelaparan parah. Tragedi kemanusian parah tersebut menelan 45 juta jiwa atau setara dengan 5-6% dari populasi China.
Dalam buku Yang Jisheng yang berjudul Tombstone, ia menggambarkan satu dari delapan orang atau satu juta orang terpaksa harus meninggal karena kelaparan serta disiksa secara fisik oleh pemerintah. Dalam sebulan saja, 12.000 orang meninggal di provinsi di wilayah Henan tengah. Salah satu kisah paling miris digambarkan dalam bukunya, ketika seorang anak remaja terpaksa membunuh, kemudian memakan adiknya sendiri yang baru berusia empat tahun karena kelaparan.
ADVERTISEMENT

The great Leap Forward

Kebijakan ekonomi pemerintahan Presiden Mao Zedong yang terkenal dengan the Great Leap Forward di tahun 1952, menjadi salah satu akar dari permasalahan ini. Ia dan pemerintahannya mendesain program selama lima tahun. Salah satu tujuan utama dari program tersebut untuk mereformasi kepemilikan lahan secara struktural dari tuan-tuan tanah yang kaya raya. Ia kemudian membagikan tanah tersebut untuk dikelola oleh para petani. Sekilas kebijakannya terkesan bertujuan mulia. Namun pada saat yang sama, ia juga memberlakukan mengekspansi industri-industri berat untuk meningkatkan produksi dan me-modernisasi industri di China.
Sawah di Provinsi Guangdong Province di tahun 1958. Photo @Keystone via Getty Images
Waktu itu, mayoritas penduduk China atau lima dari penduduk tinggal di wilayah pedesaan, sehingga industri yang berpusat di perkotaan membutuhkan buruh yang lebih banyak untuk memenuhi kuantitas produksi yang diinginkan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah kemudian, menambah kebutuhan buruh dari pedesaan ke perkotaan. Sementara, pada saat yang sama, lahan yang diberikan kepada petani diolah dengan tujuan sektor pertanian dan industri dapat berjalan secara bersamaan dan juga untuk memberi pasokan pangan bagi buruh sektor industri. Jumlah buruh tani mulai tidak seimbang dengan lahan dan target produksi pertanian yang harus dicapai. Akibatnya produksi pertanian menurun ditambah dengan gagal panen dari masalah ekologi dan banjir yang merusak ladang produksi.
Kebijakan pemerintah di sisi industri logam dengan diproduksi secara massal tidak mampu dijual dan digunakan. Sehingga negara juga tidak mampu mendapatkan tambahan penghasilan. Produksi pangan yang buruk serta manajemen fiskal yang lemah, membuat masyarakat hanya bisa menikmati jatah pangan yang diberikan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Pengalaman perih tersebut menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi pemerintahan Mao Zedong. Meski bencana tersebut menelan jutaan jiwa, namun Mao tetap menjadi pahlawan dan simbol reformasi industri bagi orang China.

New Silk Road

Dari Mao Zedong dengan the Great Leap Forwad ke New Silk Road milik Xi Jinping, China telah melalui fase transformasi baik itu secara sosial sebagai masyarakat petani pedesaan ke sektor industri dan manufaktur terbesar di dunia.
Sekarang China kembali dihadapkan dengan masalah utang akibat dari program New Silk Road (BRI) dan merupakan cikal bakal dari program One Belt, One Road. Suatu program yang sangat ambisius untuk mengkoneksikan China dengan 70 negara mitra dagang di tiga kontinen termasuk Asia, Afrika dan Eropa.
Photo @DW
Program ini dibiayai oleh tiga bank besar asal China termasuk Export Import Bank of China, China Investment Corporation, China Development Bank. Selain itu juga mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia, Asia Development Bank, dan Asia Infrastructure Investment Bank dan New Development Bank.
ADVERTISEMENT
Pemerintah memiliki 59% dari total kepemilikan, 26% oleh pihak swasta dan sisanya oleh perusahaan patungan antara BUMN China dan swasta. Proyek ini juga membutuhkan pembiayaan yang tidak tanggung-tanggung sebesar US$8 triliun. Dan selama pandemi Covid-19 merebak, proyek BRI terdampak sebesar 30-40%, sedangkan 20% terdampak secara serius di tahun 2021. Sementara setahun sebelumnya investasi luar negeri China juga menurun secara signifikan. Tentu ini semua berimplikasi terhadap manajemen utang dan projek besar tersebut.
Sangat jelas pertumbuhan ekonomi China termasuk didalamnya program BRI sangat tergantung pada ekspansi kredit dan investasi dengan resiko besar. Pertumbuhan ekonomi China hanya mampu di angka 2,34% di tahun 2020 dan kembali bangkit ke 8.1% (yoy) di tahun berikutnya. Tahun ini menjadi tahun penentuan untuk China, terlebih lagi sektor penopang utama pertumbuhan ekonomi yakni real estate juga berdarah-darah oleh utang yang tidak mampu dibayar.
ADVERTISEMENT
Restrukturisasi utang dan strategi pemulihan ekonomi yang tepat akan menjadi penentu masa depan perekonomian China kedepannya.