Kenapa Permasalahan Papua Kelihatan Begitu Pelik?

Asmiati Malik PhD
International Relations - International Political Economist - Young Scholars Initiative - Senior researcher at AsianScenarios - Dosen Hubungan Internasional Universitas Bakrie
Konten dari Pengguna
6 April 2018 7:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kenapa Permasalahan Papua Kelihatan Begitu Pelik?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Photo: Kondisi Kota Jayapura sekarang (Sumber: the Colour of Indonesia)
ADVERTISEMENT
Pembahasan tentang permasalahan ekonomi, politik dan keamanan Papua tidak pernah ada habisnya. Mulai dari kalangan pejabat elit, politisi, forum mahasiswa, LSM, bahkan sampai sering jadi perbincangan di warung kopi.
Yang menjadi topik pembahasan utama paling tidak selalu bersinggungan dengan kenapa perekonomian Papua lebih tertinggal dari wilayah lain di Indonesia dan kenapa selalu terjadi konflik di Papua, sampai pada isu pelanggaran HAM?
Pada dasarnya permasalahan yang ada di Papua tidaklah begitu pelik seperti yang ada digambaran media nasional, apalagi di media internasional. Karena inti dari permasalahan yang ada di Papua terletak pada rendahnya kualitas birokrasi pemerintahan di wilayah tersebut dan juga karena kontur wilayah yang terpisah antara penduduk pantai dan gunung. Sehingga permasahan tersebut seperti lingkaran setan yang tidak pernah ada habisnya.
ADVERTISEMENT
Tentu saja tidak semua aparatur pemerintah tidak profesional, pasti ada yang betul-betul berdedikasi mengabdi pada daerahnya, akan tetapi fakta lapangannya banyak praktek yang tidak sesuai dengan kode etik birokrasi. Contoh kecil seperti kantor-kantor dinas yang kosong meskipun itu masih jam kerja dan banyaknya pejabat pemerintah yang tidak ada di pos kerjanya.
Tinjauan Ekonomi
Kalau ditinjau dari segi ekonomi, pembangunan di Indonesia itu bersifat gradual dari Jawa. Dalam artian semakin wilayah tersebut mendekat ke pulau Jawa maka akan semakin maju ekonominya.
Kondisi pembangunan di daerah perkotaan seperti Jaya Pura di Papua dan Sorong di Papua Barat mirip dengan kondisi perekonomian Makassar diawal tahun 2000.
Kemajuan pembangunan Makassar (Sulawesi Selatan) sebenarnya tidak terlepas dari faktor wilayah yang menjadi penghubung strategis dengan pulau-pulau laiinya di kawasan timur Indonesia. Hal itu kemudian ditunjang dengan berkembangnya berbagai sarana perguruan tinggi, sehingga banyak pendatang baik itu dari Maluku, Ambon, Papua dan daerah timur lainnya yang memilih untuk melanjutkan pendidikannya di Makassar. Disamping itu Makassar juga lebih dekat dari daerah asal mereka dan dianggap lebih murah ketimbang di Jawa, apalagi tentu ongkos transportasi ke Jawa jauh lebih mahal.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa dari Papua yang menuntut ilmu baik di Sulawesi dan di Jawa bisa dikategorikan sebagai mahasiswa unggulan, karena tentu yang biasanya merantau untuk kuliah itu tergolong menjadi dua, mahasiswa berkecukupan dan mahasiswa berprestasi yang mendapatkan bantuan pembiayaan.
Mahasiswa yang memiliki kemampuan ekonomi yang cukup, biasanya berasal dari keluarga yang mapan, baik itu memiliki latar belakang pendidikan yang cukup atau kemampuan soft skill yang lain seperti berdagang, tenaga pengajar dll. Sehingga pada dasarnya anak tersebut sudah memiliki dasar yang kuat.
Nah yang menjadi permasalahan kemudian, ketika anak-anak rantau tersebut sudah selesai dengan pendidikan mereka, banyak yang memilih untuk tinggal dan menetap di wilayah perkotaan yang menyebabkan kemampuan sumber daya manusia terampil menjadi terpusat di kantong-kantong wilayah tertentu. Apalagi fenomena lulusan sarjana yang ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
ADVERTISEMENT
Lulusan sarjana yang berkualitas akan mampu tersaring untuk bekerja diwilayah perkotaan akan tetapi bagi yang tidak lolos biasanya akan pindah ke wilayah lain yang persaingannya tidak begitu berat, akan tetapi itupun dengan niat setelah terangkat jadi PNS akan mengusulkan pindah ke wilayah perkotaan kembali, tentu dengan alasan fasilitas umum diwilayah perkotaan jauh lebih nyaman.
Inilah yang menyebabkan kualitas aparatur negara yang ada di Papua berbeda dengan aparatur di Sulawesi, dan kualitas aparatur pemerintah di Sulawesi juga berbeda dengan kualitas kinerja yang ada di Jakarta. Dari sini saja sudah keliatan gradasi kualitas birokrasinya.
Faktor Politik
Yang membedakannya hanya ada pada kontur politiknya saja. Di Papua banyak oknum pemerintah dan LSM yang memainkan isu HAM dan lepas dari Indonesia sebagai komoditas tawar-menawar politik dengan pemerintah pusat untuk mendapatkan perlakuan khusus dan dana tambahan. Terbukti dengan segitu banyaknya dana otsus yang digelontorkan tidak memberikan manfaat yang berarti secara kasat mata untuk masyarakat Papua.
ADVERTISEMENT
Belum lagi adanya hubungan kekerabatan antara pendiri gerakan Papua merdeka Benny Wenda dengan beberapa pejabat elit dipapua. Dengan budaya kekerabatan dan kesukuan yang tinggi tidak menutup kemungkinan oknum tersebut bermain didua kaki untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongannya.
Terlebih lagi masih begitu kurangnya penelitian ilmiah tentang Papua dan banyak rujukan penelitian yang dilakukan oleh peneliti asing yang sudah lama dan sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang. Karena faktanya, pembangunan di Papua sudah banyak perubahan dalam 20 tahun belakangan ini.
Kalaupun ada penelitian tersebut hanya mengutip penelitian sebelumnya tanpa pernah sekalipun menginjakkan kaki di Papua, sehingga apa yang ada dibayangnya masih kondisi Papua 30 tahun yang lalu.
Contohnya adalah hasil penelitian dari ESRC dan Warwick University yang berjudul Assessement Report on the Conflict in the West Papua Region of Indonesia yang dipublikasikan ditahun 2016. Dari penelitian itu menggunakan sumber yang sudah tidak relevan dan terlebih yang meneliti juga tidak pernah ke Papua, akibatnya hasil penelitiannya juga menjadi tidak relevan dengan kondisi kekinian.
ADVERTISEMENT
Hal ini kemudian diperparah oleh pengambil kebijakan dari pemerintahan pusat yang mengandalkan rekomendasi dari pakar atau konsultan kebijakan publik yang notabene tidak pernah ke Papua, atau hanya ke Papua untuk kunjungan kerja selama 2-3 hari kemudian balik membuat kebijakan, meskipun pakar tersebut dari lulusan universitas terbaik di dunia, tapi miskinnya wawasan tentang kondisi lapangan akan tidak berarti.
Oleh karena permasalahan ekonomi politik di Papua, harus dimulai dari peningkatan SDA secara keseluruhan serta peningkatan kualitas aparatur negara dan juga perumusan kebijakan yang benar-benar melibatkan secara penuh stakeholder setempat.