Memahami Konflik Antara Iran dan Amerika Serikat

Asmiati Malik PhD
International Relations - International Political Economist - Young Scholars Initiative - Senior researcher at AsianScenarios - Dosen Hubungan Internasional Universitas Bakrie
Konten dari Pengguna
10 Januari 2020 8:50 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Asmiati Malik. Foto: Dok: Dimas Prahara/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Asmiati Malik. Foto: Dok: Dimas Prahara/kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa hari belakangan ini terjadi eskalasi konflik antara Amerika Serikat dan Iran yang dipicu oleh pembunuhan pimpinan militer tertinggi di Iran Mayor Jenderal Qassem Soleimani ketika berkunjung ke Irak. Sosok Soleimani sangat diidolakan oleh masyarakat Iran yang ditopang oleh pembawaannya yang tegas, berani tapi sederhana.
ADVERTISEMENT
Selain itu kariernya di militer juga sangat cemerlang dengan menduduki posisi sebagai kepala intelijen, ahli strategi perang yang ulung serta juga diplomat yang handal. Keberhasilannya ini kerap memunculkan anggapan bahwa ia merupakan kombinasi dari James Bond, Heinz Guderian dan Otto von Bismarck. Soleimani merupakan sosok yang ditakuti dan disegani di kawasan Timur Tengah.
Soleimani memulai kariernya ketika memimpin Pasukan Quds di tahun 1997-1998 dengan sukses membangun kerjasama dengan Hizbullah. Hizbullah sendiri adalah partai politik dan group militan yang berasal dari Beirut, Lebanon. Mereka mengazaskan ideologi perjuangan mereka sebagai nasionalis Islam yang berperang melawan penjajahan dan zionisme, sedangkan roh perjuangan mereka dilandaskan pada ajaran khomeinisme yang merupakan ideologi dasar pembentukan negara Iran. Itu berarti ada keterkaitan yang sangat fundamental dan emosional dengan Iran dan Hizbullah.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian Iran dapat dengan mudah menjadikan Hizbullah sebagai perpanjangan tangan dari Iran untuk memukul lawan-lawannya tanpa menggunakan kekuatan mereka secara langsung. Dengan memberikan pendanaan untuk perang di negara-negara yang berkonflik seperti Iran, Iran, Suriah dan Yaman mereka sudah tidak perlu turun langsung dan ikut berperang secara terang-terangan. Ini membuat posisi Iran secara politis aman dari kecaman perang.
Ilustrasi (Foto: Getty)

Perang proxy di Timur Tengah

Memahami konflik Amerika Serikat dengan Iran tidak bisa dipisahkan oleh perang proxy antara dua negara besar Arab Saudi dan Iran yang sekaligus juga memiliki kepentingan saling tarik-menarik untuk berebut dominasi dan hegemoni di Timur Tengah. Secara teori perang proxy (proxy war) adalah cara yang ditempuh oleh pihak yang sedang berperang dengan menggunakan pihak ketiga untuk memperjuangkan kepentingan mereka di medan parang. Akar perang ini tidak bisa dipisahkan dengan sejarah panjang penemuan minyak secara besar-besaran di Arab Saudi pada tahun 1938.
ADVERTISEMENT
Penemuan ini memberikan keuntungan ekonomis sangat besar bagi Arab Saudi tetapi pada saat yang sama juga membawa ancaman kekuasaan bagi mereka. Untuk menghindari ancaman dari tetangga yang bisa sewaktu-waktu menginvasi Arab Saudi, pada tahun 1945 Presiden Amerika Serikat Franklin D Roosevelt membangun kerjasama dengan Raja Abdul Aziz Asad dengan bentuk kerjasama saling menguntungkan, Arab Saudi menyediakan supply minyak ke Amerika sedangkan Amerika Serikat menyediakan dan menjaga kelanggengan kekuasaan dan dominasi Arab Saudi di Timur Tengah.
Pada tahun 1967 terjadi perang besar yang melibatkan Israel, Syria, Jordan dan Irak yang menyebabkan posisi politis Amerika menjadi berubah karena Israel adalah negara sekutu mereka. Naiknya ketegangan pada saat itu menyebabkan Arab Saudi merasa dalam ancaman yang sangat besar. Kondisi ini menyebabkan Saudi meningkatkan volume permintaan mereka pada peralatan perang Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Pada saat yang sama Amerika Serikat juga membentuk aliansi kerja sama dengan Iran yang notabene merupakan negara tetangga dari Arab Saudi. Tujuan Amerika Serikat membantu Iran tidak bisa dilepaskan dari perang dingin antara Amerika dan Rusia. Iran juga menjadi taman agar pengaruh Rusia tidak masuk ke Timur Tengah secara langsung.
Di saat yang sama Arab Saudi mengkhawatirkan besarnya kapasitas Iran yang semakin besar terlebih lagi Iran sejak dulu menjadi musuh yang ingin merebutkan hegemoni baik secara material dan ideologi. Sebagaimana diketahui Iran menganut ideologi syiah sedangkan Arab Saudi menganut ideologi sunni. Pada tahun 1979 ketika Presiden Ayatollah Khomeini memenangkan pemilu dan anti sentimen Amerika semakin meningkat dan Iran pun menjadi sangat ambisius untuk mengembangkan teknologi perang dan nuklir mereka.
ADVERTISEMENT
Ini kemudian menyebabkan eskalasi konflik secara terus menerus terlebih lagi negosiasi politis yang dilakukan Arab Saudi ke Amerika Serikat membuat Iran terus meradang. Kalau kedua negara yang sedang berkonflik menyerahkan keamanannya kepada pihak yang sama maka tentu menjadi pilihan yang sangat buruk.
Ini yang memicu konflik antara Amerika Serikat dengan Iran. Dengan kata lain konflik ini sebenarnya merupakan konflik utama antara Iran dan Arab Saudi. Kedua negara ini terus menerus ikut campur dengan beberapa proxy war termasuk di Afganistan dan Pakistan yang sekaligus menjadi tetangga Iran. Apabila perang dimenangkan oleh pihak Arab Saudi, itu berarti Iran akan dikepung oleh musuh.
Sementara itu kemenangan pihak Arab Saudi di Afganistan dan Pakistan akan memberikan posisi yang menguntungkan untuk mereka. Ini yang menyebabkan dominasi Amerika Serikat sangat besar di perang Afghanistan dan Irak. Kemenangan Amerika ini mengamankan posisi taktis bagi Arab Saudi. Namun demikian ini tidak serta merta menjadikan Iran menjadi melemah, karena untuk menyeimbangi dominasi Amerika Serikat sebagai penyuplai peralatan terbesar.
ADVERTISEMENT
Iran sadar betul bahwa mereka membutuhkan bantuan dan aliansi dengan musuh Amerika yaitu Rusia dan Cina. Dengan demikian perang di kawasan itu semakin sangat kompleks karena terlalu banyak pihak yang terlibat di balik perang yang ada.
Masing masing negara berusaha untuk memperoleh hegemoni melalui perpanjangan tangan mereka. Iran yang menggunakan perpanjangan tangan mereka melalui organisasi organisasi militan di Timur Tengah dikenal dengan perang proxy/cold war.
Banyak negara yang terlibat dalam perang proxy ini, termasuk Arab Saudi, Israel, Rusia, Turki dan Amerika Serikat, Rusia, China, Tukri, Syiria, Afganistan, Pakistan, Qatar dan masih banyak lagi.. Banyaknya pemain yang ikut menabur perang dan konflik di wilayah ini setidaknya telah menyebabkan empat negara di kawasan ini hancur lebur termasuk Yaman, Suriah, Libya dan Irak.
ADVERTISEMENT
Hancurnya negara ini tidak bisa dilepaskan oleh banyaknya grup militansi yang mendapatkan banyak pendanaan dari berbagai pihak. Pendanaan perang yang besar ini menciptakan konflik yang berkepanjangan dan tidak ada habisnya. Ini juga yang membuktikan bahwa perang proxy jauh lebih berbahaya dari pada perang kombatan.