Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menakar Peluang Anies Baswedan di Pilpres 2024
26 Juli 2023 10:52 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejauh ini sudah ada tiga nama yang selalu muncul di media sebagai kandidat Presiden di kontestasi pemilu 2024. Nama-nama tersebut adalah Prabowo Subianto yang sudah 4 kali ikut kontestasi Capres dan Cawapres. Dengan demikian nama Prabowo sudah sangat familiar bagi masyarakat Indonesia. Data dari lima lembaga survei pada Table 1 terlihat Prabowo unggul dengan rata-rata perolehan sebesar 37%.
ADVERTISEMENT
Disusul kemudian dengan oleh Ganjar Pranowo dengan angka 33%. Dan di urutan terakhir ada Anies Baswedan sebesar 21%. Ini menunjukan bahwa Anies Baswedan terpaut sangat jauh atau sebesar 56.7% dari Prabowo Subianto. Dengan waktu yang relatif singkat tinggal 6 bulan lagi, Anies Baswedan harus mampu mengejar ketertinggalan untuk bisa memenangkan kontestasi Pemilu 2024.
Strategi Politik Anies Baswedan
Sejauh ini, Anies mendapatkan dukungan dari tiga partai politik termasuk Nasdem, Demokrat dan PKS. Positioning atau penempatan dalam strategi politik yang selama ini digunakan oleh Anies lebih sangat condong kekanan. Strategi sangat lekat sejak Pilkada DKI 2017, bahkan Anis masih menggunakan slogan yang sama ketika menjabat jadi Gubernur Jakarta yakni “Maju Kotanya, Bahagia Warganya”.
ADVERTISEMENT
Anies sering mengusung change and continuity, atau perubahan dan keberjanjutan.
Dengan demikian, ia kerap dilihat sebagai antitesa dari Presiden Jokowi. Ia kerap mengetik kebijakan pemerintah Jokowi termasuk pembangunan jalan tol . Ia membandingkan pembangunan jalan tol di jaman Presiden Bambang Yudhoyono (SBY) 10 kali lipat dibandingkan dengan era Presiden Jokowi.
Selain kritik terhadap jalan tol, ia juga mengkritik subsidi listrik yang dianggap tidak efektif untuk mengurangi emisi karbon. Anies berpendapat bawah, subsidi listrik hanya dinikmati oleh segelintir orang yang kondisi ekonominya sudah mampu. Dengan demikian subsidi listrik ini memiliki manfaat yang sedikit untuk masyarakat menengah kebawah.
Selain itu, pada acara Rakernas XVI Apeksi di Makassar 2023, ia menyoroti ketimpangan antar kota-kota di Indonesia, dimana wilayah timur Indonesia gelap di malam hari. Ketimpangan antar wilayah akan menyebabkan urbanisasi, menurut Anies yang menjadi masalah jika ini berubah menjadi Jakartanisasi dan ini akan memberikan masalah perkotaan termasuk kesenjangan sosial yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Kritikan-kritikan Anies Baswedan terhadap kinerja dan program dibawah Presiden Jokowi ini yang menyebabkan orang berpendapat bahwa ia adalah opposan dari pemerintah. Selain itu, Anies juga lekat dengan stigma politik identitas yang digunakan oleh tim pemenangannya dalam Pilkada DKI.
Ini terbukti dari hasil penelitian dari Triantoro (2019) yang menunjukkan ada praktik politik identitas dalam video sosialisasi baik melalui platform Facebook dan Instagram yang dilakukan oleh Anies-Sandi. Praktik politik identitas terlihat dari pilihan kata yang mengandung unsur “dekat dengan Allah”, “seiman”, “Islami”, dan “berpeci” (Triantoro 2019).
Dengan demikian basis pemilih dari Anies Baswedan adalah masyarakat yang memiliki ketidakpuasan terhadap pemerintah dan juga Islam hardliner (Islam jaringan keras), dan basis 212. Dengan basis pemilih tersebut diperkirakan hanya kurang dari 20% dari keseluruhan pemilih di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Peluang Anies Baswedan Kecil
Berdasarkan pada ulasan diatas, peluang Anies Baswedan untuk memenangkan kontestasi dengan strategi politik yang digunakan sangat kecil. Hal ini disebabkan oleh tiga hal utama.
Pertama, tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi sangat tinggi sebesar 80% , sehingga strategi Anies sebagai oposan pemerintah bisa menjadi backfire untuk pemilih yang pro kepada presiden.
Kedua, politik identitas dan jaringan Islam hardliner tidak akan efektif untuk digunakan karena dua kandidat Capres baik Ganjar dan Prabowo lekat dengan nuansa Islami. Bahkan Prabowo dan Anies pada dasarnya memiliki basis pemilih yang sama. Hal ini sangat berbeda dengan Pilkada Jakarta 2017 yang mengusung tagline "asal bukan Ahok ", memenuhi unsur untuk menggunakan politik identitas. Kondisi Pemilu 2024 sangat berbeda dengan Pilkada DKI 2017, selain itu jaringan organisasi yang berada di belakang pergerakan serta tokoh-tokoh utamanya sudah dibubarkan oleh Pemerintah termasuk FPI .
ADVERTISEMENT
Sehingga akan lebih mudah bagi Prabowo dan Anies jika mereka bersatu karena mereka bisa mendapatkan dukungan dari basis pemilih Islamis dan Nasionalis.
Ketiga, pemilih dari basis nasionalis beserta jaringan pemeluk Agama (diluar Islam) enggan untuk memilih Anies Baswedan karena rekam jejak sejak Pilkada Jakarta. Meski Anies, membantah bahwa sejak ia menjadi Gubernur, ia tidak pernah menerapkan politik identitas dalam kebijakannya. Namun demikian, kekhawatiran pemilih nasionalis yang tidak menginginkan adanya unsur politik agama dalam pemerintahan bisa menjadi hambatan Anies untuk mendapatkan dukungan dari mereka.
Ini bisa saja memunculkan tagline “asal bukan anies ”, dengan demikian Anies memiliki PR panjang untuk bisa melepaskan stigma ia sebagai politisi yang memakai politik Identitas. Anies harus mengubah strategi politiknya yang pendulumnya sangat ke kanan, karena basis suara dari nasionalist akan sukar untuk diraih. Dan yang paling penting adalah strategi Anies yang kerap menyudutkan pemerintahan Jokowi bisa menjadi backfire karena angka kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi sangat tinggi. Jika Anies tetap menggunakan strategi yang sama, maka sangat kecil kemungkinan ia bisa memenangkan Pilpres 2024.
ADVERTISEMENT