Mencari Model Presiden Ideal Setelah Joko Widodo

Asmiati Malik PhD
International Relations - International Political Economist - Young Scholars Initiative - Senior researcher at AsianScenarios - Dosen Hubungan Internasional Universitas Bakrie
Konten dari Pengguna
20 Juli 2023 22:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
Tulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jokowi sedang memberikan pengarahan dan pidato (Photo: Setneg)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi sedang memberikan pengarahan dan pidato (Photo: Setneg)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebentar lagi akan tergantikan oleh sosok penguasa baru. Jokowi telah sukses mendapatkan dukungan politik yang kuat baik di parlemen juga dari masyarakat (public).
ADVERTISEMENT
Hasil survei SMRC menunjukkan kepuasan terhadap kinerja Jokowi mencapai 81,7 persen dengan rentang waktu pengambilan data dari 30 April-7 Mei 2023.
Hasil serupa oleh hasil survei LSI pada April 2023 yang menunjukkan tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi sebesar 82 persen. Angka ini mencerminkan bahwa masyarakat sangat puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi.
Peran Jokowi terhadap politik internasional juga mendapatkan apresiasi secara global, mulai dari kesuksesan pergelaran KTT G20 di Bali pada tahun 2022 sampai Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023.
Ini menunjukkan peran Indonesia tidak hanya secara global. Namun, sekaligus kembali menunjukkan kepemimpinannya dalam konteks politik-ekonomi regional.

Prestasi dan Persepsi

Prestasi-prestasi tersebut menjadi kebanggaan tersendiri terhadap proses demokrasi yang mampu menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Sosok kepemimpinan Jokowi lekat dengan kemampuan dan keinginan untuk bekerja bagi rakyat, sehingga penggambaran kepemimpinannya melekat pada masyarakat menengah ke bawah.
ADVERTISEMENT
Kesuksesan Jokowi juga menunjukkan bahwa kalangan non-elitist (yang kerap disandingkan dengan perolehan kekuasaan karena faktor endowment dari penguasa dan kekuasaan sebelumnya) menjadi terbantahkan.
Latar belakang beliau yang berasal dari non-elitist, mampu merebut kekuasaan tertinggi di Indonesia. Langkah ini tentu didukung oleh kemampuan Jokowi menunjukkan keberhasilan kepemimpinannya merebut hati rakyat ketika menjabat sebagai Wali Kota Surakarta pada tahun 2005.
Ia berhasil menjadikan Surakarta sebagai kota pariwisata, kota budaya dan sekaligus sebagai kota batik yang populer. Setelah itu, karirnya menanjak menjadi gubernur Jakarta pada tahun 2012 dan menjadi presiden Indonesia pada tahun 2014.
Langkah Jokowi untuk meraih posisi kekuasaan menjadi perhatian dari peneliti seperti misalnya Lee (2021) yang menunjukkan bahwa perkotaan menjadi jalan baru bagi politisi lokal untuk mencapai kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, urban-centrism menjadikan wilayah perkotaan seperti Jakarta sebagai panggung yang sangat penting bagi kinerja politik. Ini tidak bisa dilepaskan oleh model snowball politik, di mana pusat pemerintahan, politik, ekonomi dan media semua berada di Jakarta.
Menjadi Gubernur di Jakarta memang memberikan peluang untuk mendapatkan sorotan media secara nasional. Namun demikian, sorotan ini bisa bermakna positif dan negatif.
Menjadi positif jika diinterpretasikan dapat menaikkan tingkat awareness sampai recognition, namun belum tentu berkorelasi dengan tingkat elektabilitas. Sorotan negatif tentu saja akan membentuk persepsi yang buruk terhadap kandidat atau pemimpin yang sedang menjabat.
Hasil penelitian dari Abramowitz (1989) menunjukkan bahwa persepsi dan momentum memiliki andil yang signifikan terhadap keterpilihan seorang presiden. Prior expectation (ekspektasi awal) sangat menentukan terbentuknya persepsi, pemikiran dan aksi.
ADVERTISEMENT
Ketika Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2014, masyarakat memiliki persepsi bahwa pemimpin yang terpilih akan memberikan perubahan. Ketika perubahan tersebut mampu diterjemahkan dalam ekspektasi publik, maka akan berpengaruh terhadap persepsi kepuasan kinerja Jokowi.

Tantangan ke Depan

Dengan demikian, siapapun presiden yang akan menjadi pengganti Jokowi, memiliki tantangan berat untuk bisa mengalahkan kuatnya ekspektasi masyarakat terhadap pemimpin di masa depan.
Selain itu, bagi kandidat capres yang mengambil strategi untuk membentuk persepsi negatif terhadap Jokowi akan terbentur pada kecilnya potensi tingkat keberhasilan, karena persepsi masyarakat sudah terbentuk menjadi kepercayaan atau belief.
Angka kepuasan di atas 80 persen sudah bisa dikategorikan dalam level faith/belief. Untuk melawan level kepercayaan yang sangat tinggi akan sangat sukar karena persepsi sudah bermain di ranah emosional, bukan lagi berada pada level logika.
ADVERTISEMENT
Inilah yang kemudian menjadi tantangan terbesar bagi kandidat Presiden berikutnya. Jokowi’s factor akan sangat berpengaruh, pembentukan narasi yang mampu meneruskan keberhasilan pemerintahan Jokowi menjadi juru kunci untuk merebut hati pemilih. Penggunaan narasi politik identitas dan sara sudah kurang relevan mengingat Jokowi’s factor yang sangat kuat.
Kandidat yang akan bersaing dalam pilpres 2024 mendatang, mau tidak mau akan selalu dibandingkan dengan cara dan gaya kepemimpinan Jokowi.
Pendekatan yang hanya menyudutkan kebijakan selama pemerintahan Jokowi tanpa adanya tawaran data dan solusi konkret akan susah diterima terutama bagi pemilih dengan kemampuan ekonomi menengah ke atas.
Oleh karena itu, persaingan presiden 2024 lekat dengan persaingan ide dan gagasan yang mampu meneruskan kesuksesan pemerintahan Jokowi.
ADVERTISEMENT