Pengusaha Simbiotik dan Parasit di Pusaran Politik Indonesia

Asmiati Malik PhD
International Relations - International Political Economist - Young Scholars Initiative - Senior researcher at AsianScenarios - Dosen Hubungan Internasional Universitas Bakrie
Konten dari Pengguna
13 April 2019 19:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi (Foto: Reuters/Zevanya Suryawan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi (Foto: Reuters/Zevanya Suryawan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pengusaha dengan perusahaannya merupakan tonggak dari struktur negara modern. Dalam teori ekonomi makro, bisnis memiliki peranan yang sangat penting dan juga berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi. Bahkan kualitas ekonomi suatu negara dapat dilihat dari business cycle atau pergerakan roda bisnisnya. Semakin bagus performa bisnis/perusahaan di negara tersebut, maka akan semakin tinggi pertumbuhan ekonominya.
ADVERTISEMENT
Bisnis merupakan negara kecil dalam negara yang saling berikatan membentuk harmoni ekonomi yang sejatinya saling menguntungkan.
Mazhab ekonomi neoklasik mengenal hubungan keterikatan ini dengan istilah trickle down effect atau tetesan ekonomi ke bawah. Dalam teori yang diperkenalkan lebih jauh oleh Philippe Aghion dan Patrick Bolton, konsentrasi kepemilikan modal oleh para pengusaha sejatinya memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan ekspansi bisnis sehingga mereka mampu membuka lapangan pekerjaan baru dan merekrut tenaga kerja yang lebih besar yang pada akhirnya akan m menghasilkan kontribusi pajak yang besar buat negara. Dengan demikian baik masyarakat dan pengusaha masing-masing mendapatkan keuntungan dari konsentrasi modal tersebut.
Negara-negara yang sukses menerapkan prinsip trickle down effect adalah Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan. Pendekatan ini tentunya memiliki beberapa kelemahan termasuk tingginya gap ekonomi atau angka kesenjangan antara pemilik modal (kaya) dan pekerja (miskin-menengah). Akan tetapi negara Jepang dan Korea Selatan merupakan bukti nyata hubungan yang kohesif yang saling menguntungkan antara negara dan pengusaha. Dimana masyarakat benar-benar merasakan kontribusi dari perusahaan-perusahaan besar yang mendapat dukungan luar biasa dari negara seperti misalnya Samsung di Korea Selatan atau Sony di Jepang.
ADVERTISEMENT
Hubungan yang bersifat saling menguntungkan ini mampu membawa perekonomian Jepang dan Korea Selatan ke puncak ekonomi besar dunia dengan angka kesenjangan ekonomi di angka 29.5 - 33.5 (lihat pada Graf 1).
Graf 1: Data di oleh dari WorldBank dan OECD 2019
Dengan demikian, konsentrasi modal yang dikuasai oleh pengusaha tidak serta merta menciptakan gap ekonomi yang begitu besar dalam masyarakat.
Ini disebabkan karena bisnis yang berkembang bersifat simbiotik dengan negara. Korea Selatan mungkin merupakan contoh yang paling dinamis untuk bisa memberikan kita gambaran bagaimana hubungan negara dan pengusaha bersifat simbiotik.
Para siswa SMA di Korea Selatan rata-rata menghabiskan 12 jam waktu di sekolah. Bahkan 35% dari siswa tersebut berangkat ke Sekolah jam 8:00 pagi dan pulang ke rumah jam 10:00, dengan total waktu belajar sebesar 14 jam per hari dengan jam tidur 5.5 jam/perhari. Tujuan utama mereka agar bisa memiliki nilai ujian yang tinggi agar bisa di terima di universitas terbaik di negara tersebut seperti Seoul National University, Korea University, Yonsei University, Korea Advanced Institute of Science & Technology dan Sungkyunkwan University.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan para pelajar yang tersaring masuk di universitas-universitas terbaik , membuka kesempatan yang sangat besar untuk bekerja di perusahaan-perusahaan besar dengan gaji besar seperti Hyundai, Samsung, LG dan masih banyak lagi.
Model ekonomi Korea Selatan ini sebenarnya adalah model yang sama di terapkan di Jepang, di mana penduduk mereka berkompetisi untuk masuk perusahaan besar di negara tersebut (Coba bandingkan dengan mahasiswa Indonesia yang mayoritas cita-citanya ingin jadi PNS).
Kalau begitu kenapa tingkat kesenjangan di Amerika Serikat masih tinggi padahal mereka adalah negara yang menitik beratkan ekonominya pada sektor manufaktur modern.
Kita bisa melihatnya perspektif geografis Amerika Serikat berbeda dengan Jepang dan Korea Selatan. Amerika Serikat adalah negara yang luas dengan sumber daya alam yang melimpah. Kondisi geografis yang besar ini tidak akan mudah untuk di atur secara serempak. Di samping itu masing-masing negara bagian memiliki kemampuan sumber daya alam yang berbeda. Dengan demikian penghasilan setiap negara bagian berbeda dengan negara bagian yang lain.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh Maryland sebagai negara bagian terkaya di Amerika terkenal dengan sistem Pendidikan yang sangat baik. Menyusul Alaska yang terkenal dengan sumber daya alam yang melimpah dan New Jersey yang merupakan lumbung usaha Bioteknologi, farmasi dan IT.
Tetapi negara bagian yang juga kaya seperti California memiliki gap kesenjangan ekonomi dan angka kemiskinan yang tinggi disebabkan oleh banyaknya imigran yang tidak terdokumentasi dengan baik, sehingga menciptakan masalah eksternalitas yang juga sangat kompleks. Akan tetapi secara keseluruhan, meskipun tingkat kesenjangan ekonomi di Amerika cukup tinggi tapi standar kualitas hidup juga tinggi. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi masih berkualitas. Itu bisa dilihat dari banyaknya perusahaan Amerika yang menjadi tulang punggung ekonomi dunia seperti Apple, Microsoft, Borland, HP, McDonald, KFC, Nike, Amazon dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Pengusaha-pengusaha di Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan memiliki kesamaan pada sifat alami pengusahanya yang didominasi oleh perusahaan yang menitik beratkan pada inovasi jangka panjang. Jenis pengusaha ini dikenal dengan istilah entrepreneur. Sedangkan pengusaha yang hanya menitik beratkan pada keuntungan jangka pendek dikenal dengan istilah pedagang.
Dari ketiga negara ini juta terdapat kesamaan sepertinya misalnya, pengusaha sudah sukses dan membasiskan usahanya pada sektor manufaktur modern dan teknologi tidak memiliki keinginan untuk masuk dalam kontestasi politik.
Berbeda dengan pengusaha (pedagang) yang bekerja pada sektor ekstraktif lebih mengedepankan usahanya pada sektor perdagangan komoditas. Mereka akan memiliki kecenderungan untuk masuk politik demi untuk memperoleh dukungan dan akses politik untuk memperluas ekspansi usaha mereka.
ADVERTISEMENT
Secara teori inilah yang disebut dengan pengusaha parasit, karena pengusaha dengan jenis usaha seperti ini akan memutuskan rantai persaingan usaha yang sehat dengan kekuatan politik yang mereka punya. Dan DNA struktur dan jenis pengusaha semacam ini banyak di dapatkan di Filipina, negara-negara Amerika Latin, seperti misalnya Venezuela, Cuba, Brazil dan Mexico. Dengan demikian salah satu yang menyebabkan keterpurukan perputaran usaha di negara-negara tersebut disebabkan oleh kosentrasi modal dan material power di kuasai oleh pengusaha ekstraktif (parasift).
Di Indonesia, pengusaha parasit bagaikan jamur di musim politik. Semua berlomba-lomba meraih rente di sektor politik. Salah satu contoh pengusaha parasit adalah pengusaha-pengusaha yang meraup untung di sektor pertambangan mineral dan kelapa sawit. Apalagi pengusaha yang berkontribusi besar pada kerusakan lingkungan dan mengorbankan hak-hak dasar orang kecil yang terang-terang tidak memiliki kekuasaan politik.
ADVERTISEMENT
Kurangnya moralitas dan etika politik, jelas menjadi faktor utama kenapa pengusaha parasit memiliki simbiosis mutualisme yang kental dengan penguasa.
Greg Barton mengasosiasikan tipe negara ini dengan istilah negara preman. Ini juga lah yang menyebabkan kenapa pengusaha besar di Indonesia hanya bisa besar kalau masuk sektor politik.
Negara yang seharusnya memberikan akses yang sama dan merata bagi seluruh warganya malah menjadikan kekuasaannya sebagai ATM untuk membiayai ongkos politik.
Sedangkan bagi pengusaha parasift, politik adalah jalan cepat untuk meraih kekuasaan finansial dan mengamankan aset-aset mereka dari kompetitor elit-elit oligark. Ini juga membuktikan kualitas pengusaha di Indonesian masih sangat jauh dari visi ekonomi modern yang berbasis pada teknologi dan inovasi. Dan ini juga yang menyebabkan teori trickle down effect tidak dapat dirasakan oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT