Yurisprudensi, Sumber Hukum dalam Pertimbangan Putusan Hakim di Pengadilan

Konten dari Pengguna
12 Agustus 2021 17:03 WIB
·
waktu baca 14 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asri Irwan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi palu hakim dan kitab undang-undang Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi palu hakim dan kitab undang-undang Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh Muh. Asri Irwan, SH. MH
Praktisi Hukum di Jakarta
ADVERTISEMENT
Tulisan ini penulis kemas saat didaulat menjadi pembicara bersama dengan Prof. DR. Arief Hidayat, SH. MS (Ketua Mahkamah Konstitusi RI 2015-2018) dan DR. Bambang Jaya Supeno, SH. M.Hum (Akademisi) oleh komunitas Peradilan Semu Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Semarang. Tulisan ini mengupas tentang bagaimana eksistensi yurisprudensi sebagai sumber hukum di Indonesia saat ini (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum), kemudian bagaimana yurisprudensi dalam kaitannya dengan pertimbangan putusan oleh Hakim di Pengadilan. Dengan latar belakang penulis sebagai praktisi hukum maka tulisan ini adalah hasil pengalaman dan pengamatan tentang eksistensi yurisprudensi tersebut.
Selayang pandang tentang yurisprudensi sebagai sumber hukum
Hukum itu bersumber dari tempat di mana kita dapat menemukan hukum. Dalam hal ini perlu juga diketahui bahwa adakalanya sumber sumber hukum sekaligus merupakan hukum itu juga, contohnya putusan hakim. Beberapa pakar membedakan sumber-sumber hukum ke dalam sumber hukum materiil dan sumber hukum formal. Apa yang termasuk sumber hukum materiil dan apa yang termasuk sumber hukum formal, itupun masih terdapat perbedaan pendapat di antara para pakar.
ADVERTISEMENT
Menurut Sudikno Mertekusumo, sumber hukum materiil adalah tempat darimana materiil itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan factor yang membantu pembentukan hukum misalnya hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, keadaan geografis. Sumber hukum formal merupakan tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku.
Dalam khasanah pengetahuan hukum, yurisprudensi dianggap sebagai salah satu sumber hukum formal. Sumber hukum pendahulunya adalah undang-undang, kebiasaan, traktat, dan doktrin.
Yurisprudensi berasal dari kata Latin ‘iuris’ ‘prudentia’ yang berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerheid). Secara leksikal, Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka (2015: 1568), mendefinisikan yurisprudensi sebagai (i) ajaran hukum melalui peradilan; dan (ii) himpunan putusan hakim. Rachmat Trijono dalam buku Kamus Hukum (2016: 269) menyebutkan yurisprudensi sebagai putusan hakim yang diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya dalam kasus yang serupa. Dalam bahasa Inggris maka terminologi “Jurisprudence” diartikan sebagai teori ilmu hukum, sedangkan pengertian yurisprudensi dipergunakan dalam rumpun sistem “Case Law” atau “Judge-made Law”. Kemudian kata “Jurisprudenz” dalam bahasa Jerman berarti ilmu hukum dalam arti yang sempit (aliran Ajaran Hukum), misalnya Begriff-jurisprudenz, Interressen jurisprudenz dan lain sebagainya. Istilah teknis bahasa Jerman untuk pengertian yurisprudensi, adalah kata “Ueberlieferung.
ADVERTISEMENT
Dalam Black’s Law Dictionary (1999: 871) jurisprudence diterjemahkan ke dalam beberapa pengertian. Pada awalnya, di abad ke-18, jurisprudensi dimaknai sebagai studi tentang prinsip pertama alam, hukum sipil dan hukum bangsa-bangsa, yang lazim dikenal dengan istilah jurisprudentio natularis. Pada era yang lebih modern, dimaknai sebagai studi tentang elemen-elemen dasar sistem hukum. Ia juga bisa dimaknai sebagai studi tentang sistem hukum secara umum; preseden peradilan yang diikuti secara kolektif; studi tentang pengetahuan hukum (dalam literatur Jerman); suatu sistem, badan, atau bagian dari hukum; dan case law.
Sumber hukum yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang diikuti dan dijadikan pedoman oleh hakim saat ini dan di masa selanjutnya dalam memutuskan suatu perkara yang sama. Jadi jika suatu perkara belum ada sumber sumber hukum dan aturan yang jelas dalam undang undang, maka seorang hakim dapat membuat suatu putusan sendiri berdasarkan yurisprudensi.
ADVERTISEMENT
Ada banyak contoh yurisprudensi, sebagian di antaranya sangat dikenal para praktisi dan akademisi hukum. Salah satunya, yurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtsmatigedaad). Sebelum tahun 1919, Hoge Raad di Belanda menganut pandangan bahwa perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar undang-undang atau berhubungan dengan hak orang lain. Setelah putusan Hoge Raad Belanda tanggal 31 Januari 1919, pandangan pengadilan itu berubah. Kini, perbuatan hukum termasuk pula perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan sikap hati-hati yang pantas dalam lingkup kehidupan bermasyarakat. Contoh yurisprudensi lain yang terkenal adalah pencurian listrik. Meskipun bendanya tidak terlihat, pencurian arus listrik bisa dikualifikasi sebagai pencurian.
Yurisprudensi di berbagai negara dan Indonesia (comparative law)
Secara teoretis dan praktik ada perbedaan pengertian yurisprudensi pada negara yang menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental seperti Indonesia dengan negara yang menganut Sistem Anglo Saxon seperti di Negara Inggris, Amerika Serikat. Pada hakikatnya maka yurisprudensi di negara-negara yang sistem hukumnya Common Law (anglo saxon) seperti di Inggris atau Amerika Serikat, mempunyai pengertian yang lebih luas, di mana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan pengertian yurisprudensi di negara-negara Eropa kontinental termasuk kita di Indonesia yang berdasarkan asas konkordansi juga menganut sistem itu, maka yuriprudensi hanya berarti putusan pengadilan. Yurisprudensi yang kita maksudkan sebagai putusan pengadilan, di negara-negara Anglo Saxon dinamai preseden.
ADVERTISEMENT
Sudikno (1986:89) mengartikan yurisprudensi sebagai peradilan pada umumnya (judicature, rechtspraak) yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret terhadap tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh suatu negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa.
Dalam arti sebagai putusan pengadilan, maka dapat kita membedakan lagi yurisprudensi atas 2 (dua) macam yaitu:
1. Yurisprudensi (biasa) yaitu seluruh putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan pasti (inkracht van gewisjsde) yang terdiri dari : putusan perdamaian (dalam perkara perdata), putusan pengadilan negeri yang tidak dibanding, putusan pengadilan tinggi yang tidak dikasasi, seluruh putusan Mahkamah Agung
2. Yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie) yaitu putusan hakim yang selalu diikuti oleh hakim lain dalam perkara sejenis.
ADVERTISEMENT
Apabila diperbandingkan secara selintas kekuatan mengikat yurisprudensi dalam sistem hukum eropa kontinental seperti di Indonesia dan sistem hukum common law maka terletak pada tidak terikatnya hakim pada peradilan bawahan terhadap suatu yurisprudensi pada sistem hukum eropa kontinental seperti Indonesia. Tegasnya, menurut Prof. Z. Asikin Kusumaatmadja, SH maka kekuatan mengikat yurisprudensi di Indonesia bersifat “Persuasive precedent”. Lain halnya di negara-negara penganut Anglo Saxon, dimana dianut adanya sistem “the binding force of precedent” atau asas “stare decisis” atau asas “stare decisis et quita non movere”. Secara gradual asas ini mengikat hakim pada yurisprudensi untuk perkara serupa, dengan isi yurisprudensi yang bersifat esensial yang disebut ratio decidendi. Pada asasnya, lembaga preseden dalam sistem hukum Common law system menentukan ketentuan ketentuan hukum itu dikembangkan dalam proses penerapannya. Hal ini berarti, bahwa ia merupakan hasil karya dari para hakim dan bukan dari para ahli hukum yang lain, seperti pengajar-pengajar pada perguruan tinggi, bagaimanapun pandainya mereka ini. Sebaliknya, karya-karya hakim itu hanya diakui sebagai hukum manakala ia dihasilkan dalam suatu proses pengadilan. Pendapat seorang hakim yang dinyatakan di luar tugasnya mengadili, bukan merupakan ketentuan hukum yang sah.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, walaupun di Indonesia yurisprudensi secara teoretis dan praktik bersifat “persuasive precedent” akan tetapi dalam praktiknya tidak sedikit yurisprudensi tersebut dijadikan acuan oleh hakim bawahannya (yudex facti). Menurut Utrecht ada 3 (tiga) sebab maka seorang hakim menurut keputusan seorang hakim lain:
1. Keputusan hakim mempunyai kekuasaan (gezag) terutama apabila keputusan itu dibuat oleh Pengadilan Tinggi atau oleh Mahkamah Agung. Mr. Wirjono Projodikoro, yang pernah menjadi Ketua Mahkamah Agung RI, mengatakan: “Misalnya di Indonesia Mahkamah Agung adalah badan pengadilan yang tertinggi yang bersendi atas Undang-Undang Dasar melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan-perbuatan pengadilan pengadilan yang lain. Dalam pengawasan ini dan lagi dalam peradilan kasasi sudah seharusnya Mahkamah Agung dengan putusan-putusannya mempengaruhi cara berjalannya peradilan di seluruh Indonesia. Seorang hakim menurut keputusan seorang hakim lain yang kedudukannya lebih tinggi--Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung karena hakim yang disebut terakhir adalah pengawas atas pekerjaannya. Di samping itu juga sering juga dihormatinya, karena jasa-jasanya (telah banyak pengalamannya). Dapat dikatakan: karena suatu sebab yang psikologis, maka seorang hakim menurut keputusan seorang hakim lain yang berkedudukannya lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
2. Di samping sebab yang psikologis itu ada juga sebab praktis, maka seseorang hakim menurut keputusan yang telah diberi oleh seorang hakim yang berkedudukannya lebih tinggi. Bila seorang hakim memberi keputusan yang isinya berbeda dari pada isi keputusan seorang hakim yang kedudukannya lebih tinggi, yaitu seorang hakim yang mengawasi pekerjaan hakim yang disebut pertama, maka sudah tentu pihak yang tidak menerima keputusan itu akan meminta apel atau revisi, yaitu naik banding. Pihak yang tidak menerima keputusan tersebut akan meminta perkaranya dapat dibawa ke muka hakim itu yang kedudukannya lebih tinggi daripada kedudukan hakim yang telah memutuskan perkaranya, dan yang pernah memberi keputusan mengenai suatu perkara yang coraknya sama tetapi bunyinya keputusan berlainan.
ADVERTISEMENT
3. Akhirnya, ada sebab: hakim menurut keputusan hakim lain, karena ia menyetujui isi keputusan hakim lain itu, yang sebab persesuaian pendapat.
Pada asasnya, dari apa yang telah diuraikan konteks di atas maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwasanya yurisprudensi adalah hukum (judge made law) dan mempunyai kekuatan mengikat terhadap para pihak (Pasal 1917 KUH Perdata) serta mengikat berlandaskan asas ResJudicata Proveri ate Habetur.
Apabila diperbandingkan secara selintas kekuatan mengikat yurisprudensi dalam sistem hukum eropa kontinental seperti di Indonesia dan sistem hukum common law seperti di Amerika serikat dan Inggris maka terletak pada tidak terikatnya hakim pada peradilan bawahan terhadap suatu yurisprudensi pada sistem hukum eropa kontinental. Tegasnya, kekuatan mengikat yurisprudensi di Indonesia bersifat “Persuasive precedent” sedangkan di negara-negara penganut Anglo Saxon menganut sistem “the binding force of precedent” atau asas “stare decisis” atau asas “stare decisis et quita non movere”. Secara gradual asas ini mengikat hakim pada yurisprudensi untuk perkara serupa, dengan isi yurisprudensi yang bersifat esensial yang disebut ratio decidendi. Pada asasnya, lembaga preseden dalam sistem hukum Common law system menentukan ketentuan-ketentuan hukum itu dikembangkan dalam proses penerapannya.
ADVERTISEMENT
Penulis sependapat dengan pandangan Prof. DR. Achmad Ali, bahwa kita tidak lagi dapat membedakan secara kaku antara system Eropa continental dan system Anglo Saxon. Dalam kenyataannya pada kedua system tersebut ada kombinasi. Di Inggris pun Hakim sering melepaskan diri dari putusan yang lalu, jika kebutuhan masyarakat menghendaki lain. Sebaliknya di negara negara yang menganut sistem kodifikasi termasuk kita di Indonesia, hakim-hakimnya pun seringkali mengikuti putusan hakim sebelumnya untuk perkara sejenis, dengan alasan praktis.
Peranan Yurispudensi dalam pertimbangan putusan
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat), artinya segala aspek dalam penyelenggaraan dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus didasarkan atas aturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis.
ADVERTISEMENT
Yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum, merupakan acuan dalam tindakan memutus dari Hakim, yang ditujukan untuk menyelesaikan suatu perselisihan tertentu. Oleh karena itu putusan Hakim pada dasarnya selalu berupa penyelesaian yang hanya berlaku untuk hal yang konkret yang menjadi perselisihan yang sedang diputuskan dan hanya mengikat kepada pihak-pihak yang bersangkutan (kecuali dalam hal-hal yang bersifat ”erga omnes” mengikat tidak hanya terhadap pemohon saja akan tetapi semua orang). Sekalipun demikian, maka Yurisprudensi akan tetap menjadi kebutuhan fundamental yang dapat dijadikan dasar dan acuan Hakim di dalam memutus perkara dalam kasus yang serupa.
Menurut Lilik Mulyadi bahwa hakekat pada pertimbangan yuridis dalam putusan hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu delik apakah perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan delik yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga pertimbangan tersebut relevan terhadap amar/diktum putusan hakim.
ADVERTISEMENT
Putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Putusan Hakim adalah pernyataan dari seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki kekuatan hukum tetap.
Berlandaskan pada visi teoretis dan praktik peradilan maka putusan Hakim itu merupakan: “Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara”.
Putusan adalah mahkotanya hakim. Mempertimbangkan alat-alat bukti, fakta yang terungkap, plus keyakinan batinnya, majelis hakim memutuskan suatu perkara dengan menggunakan irah-irah ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Jika substansi perkaranya relatif sama, hakim bisa menggunakan putusan terdahulu sebagai rujukan. Putusan-putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap dan diikuti hakim-hakim lain itulah yang dipahami akademisi dan praktisi hukum di Indonesia sebagai yurisprudensi. Tradisi mengikuti putusan hakim terdahulu sebenarnya sudah lama dipraktikkan di Indonesia. Meski tak wajib, yurisprudensi bisa menjadi panduan.
ADVERTISEMENT
Yurisprudensi menjadi guidelines bagi para hakim dalam memutus perkara. Fungsi yurisprudensi sendiri dalam hal hakim membuat putusan adalah mengisi kekosongan hukum. Kekosongan hukum hanya bisa teratasi dan ditutupi melalui judge made law yang akan dijadikan pedoman sebagai yurisprudensi sampai terciptanya kodifikasi hukum yang lengkap dan baku.
Berdasarkan penelurusan literatur hukum (Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi 2004) putusan dijadikan yurisprudensi jika memenuhi sejumlah unsur. Pertama, putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturannya dalam undang-undang. Kedua, putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketiga, telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus suatu perkara yang sama. Keempat, putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan. Kelima, putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dalam Seminar Hukum Nasional VI pada 25-29 Juli 1994 telah menentukan kesimpulan eksisnya yurisprudensi dalam konteks bahwa:
1. Yurisprudensi merupakan kebutuhan yang fundamental untuk melengkapi berbagai peraturan perundang-undangan dalam penerapan hukum karena dalam sistem hukum nasional memegang peranan sebagai sumber hukum;
2. Tanpa yurisprudensi, fungsi dan kewenangan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman akan dapat menyebabkan kemandulan dan stagnan;
3. Yurisprudensi bertujuan agar undang-undang tetap aktual dan berlaku secara efektif, bahkan dapat meningkatkan wibawa badan-badan peradilan karena mampu memelihara kepastian hukum, keadilan sosial, dan pengayoman;
4. Diperlukan langkah yang sistematis untuk meningkatkan yurisprudensi tetap sebagai sumber hukum nasional;
5. Atas kebebasan hakim jangan dipertentangkan dengan yuriprudensi tetap sebagai sumber hukum nasional. Asas kebebasan hakim menunjuk pada kebebasan hakim terhadap pengaruh eksekutif.
ADVERTISEMENT
Sebagai sumber hukum dalam sistem hukum di Indonesia yurisprudensi mempunyai peranan penting dalam menentukan arah perkembangan hukum. Oleh karenanya merupakan tantangan bagi dunia peradilan, agar para hakim mampu meningkatkan profesionalismenya dalam rangka mengisi peranan tersebut.
Menurut penulis, jika suatu perkara belum ada sumber sumber hukum dan aturan yang jelas dalam undang undang, maka seorang hakim dapat membuat suatu putusan sendiri berdasarkan yurisprudensi. Dengan konteks demikian ini maka yurisprudensi dalam sistem hukum Indonesia di samping membangun, menemukan dan menciptakan hukum juga bersifat menjadi pegangan, acuan serta pedoman para hakim yudex facti dan bahkan di tingkat Mahkamah Agung (yudex juris) sebagai “kunci” dalam memutus perkara. Aspek ini misalnya secara tegas dapat dilihat dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi.
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu contoh yurisprudensi MA yang menerapkan sifat melawan hukum materiil dengan fungsi negatif yang bertujuan menghilangkan alasan penghapus pidana (yang tidak tertulis) adalah dalam Putusan MA Nomor: 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama terdakwa Machroes Effendi (kemudian diikuti pula Putusan MA Nomor: 71/K/1970 tanggal 27 Mei 1972, Putusan MA Nomor: 81/K/Kr/1973 tanggal 30 Mei 1977) di mana MA berpendapat bahwa adanya 3 (tiga) sifat hilangnya unsur (bestandellen) melawan hukum materiil sebagai alasan penghapus pidana (yang tidak tertulis) berupa faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat untung.
Sedangkan yurisprudensi MA yang berpendirian perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi positif terdapat dalam perkara Putusan Nomor: 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983 atas nama terdakwa Drs. R.S. Natalegawa (kemudian diikuti pula dalam Putusan MANomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993, Putusan MA Nomor: 1571 K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995). Pada asasnya, yurisprudensi MA ini pertimbangan putusannya bersifat futuristis dengan titik tolak penafsiran yang keliru pengertian “melawan hukum” dari yudex facti diidentikkan sebagai “melawan peraturan yang ada sanksi pidananya”, Kemudian, yurisprudensi MA tersebut secara implisit memberikan pertimbangan bahwa penanganan kasus ini mengacu kepada pengertian melawan hukum materiil dari fungsi positif. Aspek ini lebih detail dipertimbangkan dengan redaksional sebagai berikut: “Menimbang, bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan melawan hukum”, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak”
ADVERTISEMENT
Jadi, putusan MA memberikan ruang dan dimensi tentang diterapkannya perbuatan melawan hukum materiil, baik dalam fungsi negatif dan fungsi positif. Apabila dijabarkan, walaupun yurisprudensi tersebut bertitik tolak kepada UU Nomor 3 Tahun 1971, akan tetapi dalam perkembangan berikutnya dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, ajaran perbuatan melawan hukum materiil tetap dipertahankan dan diterapkan secara normatif, teoretis dan praktik peradilan.
Di akhir tulisan ini penulis hendak menyimpulkan bahwa perkembangan hukum di dunia Internasional telah membuktikan bahwa dikotomi antara kedua sistem hukum Eropa continental dan Anglo Saxon dalam kaitannya dengan yurisprudensi sudah tidak perlu dipertentangkan secara diametral. Indonesia sebagaimana halnya dengan negara-negara lain yang termasuk dalam rumpun Civil-Law, memang mempunyai sistem kodifikasi yang secara prinsip tidak menganut sistem precedent dan ’’Judge made law”. Tetapi perkembangan hukum dalam realita telah menunjukkan bahwa pengkotakan ke dalam dua sistem hukum tersebut sudah tidak relevan lagi. Peranan keaktifan hakim sudah semakin penting dan tidak hanya sekadar menjadi ’’bouche de la loi” (mulut dari undang-undang) seperti yang pernah dikatakan oleh MONTESQUIEU.
ADVERTISEMENT