Konten dari Pengguna

Daging Merah: Kawan atau Lawan bagi Kesehatan Jantung?

Asriadi Masnar
Asriadi Masnar, dosen dan peneliti bekerja di Politeknik Negeri Media Kreatif, Jakarta, Indonesia. Dia menggeluti bidang keahlian Gizi dan Teknologi Pangan
20 Juni 2024 14:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asriadi Masnar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi daging merah. Foto: Meat & Livestock Australia (MLA)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi daging merah. Foto: Meat & Livestock Australia (MLA)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Daging merah, salah satu santapan favorit banyak orang, belakangan ini sering dipertanyakan dampaknya terhadap kesehatan. Beragam penelitian mengaitkan konsumsi daging merah berlebih dengan risiko penyakit jantung dan diabetes yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Namun, jangan buru-buru memvonis daging merah sebagai musuh! Mari kita kupas tuntas dilema ini dan temukan solusi jitu agar tetap bisa menikmati kelezatan daging merah tanpa mengorbankan kesehatan.

Daging Olahan vs Non-Olahan, Apa Bedanya?

Ternyata, tidak semua daging merah itu sama. Studi ilmiah mengungkap rahasia di balik perbedaan risiko antara daging merah olahan dan yang masih alami. Para peneliti mengamati lebih dari 34 ribu perempuan Swedia dan mendapati fakta mencengangkan.
Mereka yang kerap mengonsumsi daging olahan seperti sosis, salami, atau daging asap dalam jumlah besar (lebih dari 50 gram per hari), memiliki risiko gagal jantung 23% lebih tinggi dibanding mereka yang makannya sedikit (kurang dari 25 gram per hari). Sementara itu, konsumsi daging merah tanpa proses pengolahan tidak menunjukkan efek serupa.
ADVERTISEMENT
Lalu, sebuah analisis besar-besaran terhadap puluhan studi menegaskan temuan ini. Setiap penambahan 100 gram daging merah non-olahan per hari meningkatkan risiko penyakit jantung sebesar 11%, sedangkan penambahan 50 gram daging olahan per hari meningkatkan risiko lebih tinggi lagi, yakni 26%. Efek ini lebih kuat terlihat pada masyarakat Barat dibandingkan Timur.
Jadi, apa yang membuat daging olahan lebih berisiko? Jawabannya ada pada kandungan natrium dan bahan aditif yang lebih tinggi dalam daging olahan. Namun, bukan berarti daging merah alami bebas dari masalah.

Kunci Penting: Cara Pengolahan dan Menu Seimbang

Meskipun beberapa studi menyoroti efek negatif daging merah, jangan lupakan kandungan nutrisi pentingnya seperti protein, vitamin B12, zat besi, dan seng. Yang jadi masalah adalah cara pengolahan dan pemasakannya. Memasak daging langsung di atas api atau dengan suhu tinggi bisa menghasilkan senyawa pemicu kanker.
ADVERTISEMENT
Selain itu, menu makanan secara keseluruhan juga berperan besar. Perbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan, biji-bijian utuh, dan serat untuk mengimbangi dampak buruk daging merah. Buktinya, sebuah studi jangka panjang menunjukkan, mereka yang setia menjalankan pola makan ala Mediterania—yang mencakup konsumsi daging merah dalam jumlah kecil hingga sedang—memiliki risiko 30% lebih rendah terkena serangan jantung dibandingkan mereka yang menerapkan diet rendah lemak.

Studi Konsumsi Daging dengan Bantuan Kecerdasan Buatan

Dengan banyaknya faktor yang memengaruhi hubungan antara daging merah dan kesehatan, para ahli menyarankan pemanfaatan teknologi canggih seperti kecerdasan buatan dan machine learning untuk menganalisis data secara menyeluruh. Mulai dari pola makan, aktivitas fisik, riwayat kesehatan, hingga faktor genetik dan sosial, semuanya akan diperhitungkan.
ADVERTISEMENT
Sebuah studi ilmiah yang memberdayakan kecerdasan buatan untuk menentukan konsumsi daging merah atau tidak menunjukkan bahwa meskipun banyak penelitian telah dilakukan tentang hubungan konsumsi daging merah dengan risiko penyakit kardiovaskular, diabetes, dan kanker, hasilnya masih belum konklusif. Studi meta-analisis terbaru menunjukkan setiap kenaikan asupan 100 g/hari daging merah segar meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular sebesar 11% dan 50 g/hari daging olahan sebesar 26%.
Inkonsistensi hasil penelitian dapat disebabkan beberapa faktor seperti: tingkat pembuktian yang moderat-lemah dari studi observasional, kurang akuratnya pengukuran asupan makanan, tidak diperhitungkannya metode pengolahan dan pemasakan daging, serta pola diet keseluruhan.
Oleh karena itu, diperlukan analisis big data menggunakan kecerdasan buatan dan machine learning dengan mengintegrasikan berbagai faktor seperti asupan makanan, aktivitas fisik, riwayat klinis, mikrobioma, variasi genetik, dan data sosiodemografi untuk dapat menyimpulkan pola diet yang paling sehat, seperti pola diet Mediterania dengan konsumsi daging merah yang rendah-sedang.
ADVERTISEMENT
Jadi, bagaimana sikap kita terhadap daging merah? Konsumsi secara berlebihan memang sebaiknya dihindari, terutama untuk daging olahan. Namun, menikmati daging merah dalam jumlah sedang sebagai bagian dari pola makan sehat tetap bisa dilakukan.
Ke depannya, bantuan kecerdasan buatan akan semakin memperjelas hubungan kompleks antara daging merah dan kesehatan kita. Sekarang, mari kita bijak dalam memilih dan mengolah daging merah agar bisa tetap mengenyangkan perut tanpa membahayakan jantung!