Konten dari Pengguna

Telur Dadar vs Gula: Mana yang Lebih Berbahaya bagi Kesehatan?

Asriadi Masnar
Asriadi Masnar, dosen dan peneliti bekerja di Politeknik Negeri Media Kreatif, Jakarta, Indonesia. Dia menggeluti bidang keahlian Gizi dan Teknologi Pangan
22 Juni 2024 9:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asriadi Masnar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Kontroversi seputar makanan sehat kembali mencuat. Kali ini, telur dadar yang biasa kita santap sehari-hari menjadi sorotan. Benarkah telur dadar bisa merusak kesehatan seperti yang diklaim sejumlah pihak? Atau justru gula yang selama ini jadi primadona di meja makan kita yang lebih berbahaya?

telur dadar
zoom-in-whitePerbesar
telur dadar
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dr. Felix Zulhenri, pakar ilmu pangan lulusan University of Auckland, Selandia Baru, angkat bicara terkait isu ini. Menurutnya, klaim bahwa telur dadar berbahaya karena mengikat biotin adalah tidak berdasar.
ADVERTISEMENT
"Memang benar di dalam putih telur ada protein bernama avidin yang bisa mengikat biotin. Tapi saat dimasak, ikatan itu terlepas. Jadi telur dadar aman-aman saja dikonsumsi," jelas Dr. Felix.
Ia menambahkan, proses pemanasan saat menggoreng telur dadar akan mendenaturasi protein, termasuk avidin, sehingga biotin tetap bisa diserap tubuh. "Telur justru sumber protein dan nutrisi yang sangat baik. Sudah ribuan tahun dikonsumsi manusia," tegasnya.
Lantas, jika bukan telur dadar, makanan apa yang sebenarnya lebih berbahaya bagi kesehatan? Dr. Felix menunjuk gula sebagai biang kerok utama berbagai penyakit metabolik yang mewabah saat ini.
"Konsumsi gula berlebihan, baik dalam bentuk manis maupun tepung, adalah penyebab utama diabetes tipe 2 yang kasusnya melonjak belakangan ini," ujar Dr. Felix. Ia menyoroti kebiasaan masyarakat mengonsumsi minuman manis dan makanan olahan tinggi gula.
ADVERTISEMENT
Data terbaru menunjukkan tren mengkhawatirkan. Kasus diabetes tipe 2 yang dulunya identik dengan orang dewasa, kini banyak ditemukan pada anak-anak dan remaja. "Ini jelas karena pola makan yang salah sejak dini," tegas Dr. Felix.
Tak hanya diabetes, obesitas juga menjadi masalah serius akibat konsumsi gula berlebihan. Indonesia bahkan disebut sedang menghadapi darurat obesitas. Ironisnya, banyak orang masih menganggap gula sebagai sumber energi utama.
"Ini mitos yang harus diluruskan. Tubuh kita sebenarnya bisa mendapatkan energi dari protein dan lemak, tanpa perlu asupan karbohidrat berlebih," jelas Dr. Felix. Ia menekankan pentingnya mengonsumsi makanan seimbang dengan protein hewani yang cukup.
Lalu bagaimana dengan makanan olahan yang marak di pasaran? Dr. Felix menyarankan untuk lebih selektif. "Baca label komposisi, bukan hanya informasi nutrisi. Hindari produk dengan banyak bahan tambahan kimia," pesannya.
ADVERTISEMENT
Ia juga mengkritik tren makanan yang hanya mengejar rasa enak tanpa memperhatikan aspek kesehatan. "Banyak produk didesain agar sangat menggugah selera, tapi sebenarnya minim nutrisi dan tinggi gula," ungkapnya.
Lantas, apa solusi yang ditawarkan untuk pola makan lebih sehat? Dr. Felix menyarankan kembali ke makanan alami atau "real food". "Perbanyak konsumsi sayur, buah, daging, ikan, dan telur. Kurangi makanan olahan dan minuman manis," sarannya.
Untuk yang ingin menurunkan berat badan, ia merekomendasikan metode puasa intermiten dan membatasi asupan karbohidrat. "Protein hewani justru penting untuk menjaga massa otot dan metabolisme tubuh," jelasnya.
Di tengah banjir informasi soal makanan sehat, Dr. Felix mengingatkan pentingnya literasi gizi masyarakat. "Jangan mudah percaya klaim kesehatan yang viral di medsos. Cek sumber ilmiahnya," pesannya.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kunci pola makan sehat ada pada keseimbangan dan moderasi. Telur dadar boleh-boleh saja dikonsumsi, tapi hati-hati dengan asupan gula berlebih yang bisa jadi bom waktu kesehatan. Saatnya kita lebih cerdas memilih makanan demi tubuh yang lebih sehat di masa depan.