Anomali Penjabat (Pj) Kepala Daerah dalam Transisi Pilkada 2024

Asrizal Nilardin
Alumni Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, Ketua Umum Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Indonesia
Konten dari Pengguna
31 Desember 2021 15:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asrizal Nilardin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi warga usai menggunakan hak suaranya pada Pilkada serentak. Foto: Aditya Aji/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi warga usai menggunakan hak suaranya pada Pilkada serentak. Foto: Aditya Aji/AFP
ADVERTISEMENT
Asrizal Nilardin
(Wakil Direktur Analisis Kebijakan Publik Bakornas LKBHMI PB HMI, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia)
ADVERTISEMENT
Batalnya revisi UU Pemilu dan Pilkada berdampak pada kegagalan untuk menormalisasi rencana pelaksanaan pilkada serentak 2024. Semula telah menguat wacana untuk menyelenggarakan Pilkada sesuai dengan hitungan normal lima tahun sekali tanpa menunda pelaksanaannya ke 2024. Itu artinya, kepala daerah yang akan habis masa jabatan tahun 2022, pada tahun yang sama juga akan diadakan Pilkada. Begitu pula, beberapa daerah yang akan habis masa jabatan pada tahun 2023, akan dilaksanakan Pilkada di tahun itu juga tanpa penundaan.
Pelaksanaan pilkada serentak nasional ke tahun 2024 merupakan amanat Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 tentang Pilkada. Ketentuan a quo menegaskan, Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, terdapat 101 daerah yang meliputi 7 Provinsi, terdiri dari 76 Kabupaten, dan 18 Kota yang kepala daerahnya dipilih sebelumnya pada pilkada 2017 akan habis masa jabatan pada tahun 2022. Dan terdapat 171 daerah yang terdiri dari 17 Provinsi, 115 Kabupaten, dan 39 Kota hasil pilkada 2018 juga akan habis masa jabatan kepala daerahnya di tahun 2023. Dengan berlakunya ketentuan keserentakan, maka ratusan daerah yang habis masa jabatan kepala daerahnya di tahun 2022 dan 2023 akan diundur pilkadanya ke tahun 2024.

Mekanisme Penunjukan Penjabat (Pj)

Penundaan pilkada tahun 2022 dan 2023 merupakan keniscayaan untuk mewujudkan pilkada serentak di tahun 2024. Maka untuk mengisi kekosongan kepala daerah, pemerintah pusat akan menunjuk penjabat kepala daerah untuk memegang kendali transisi serta melaksanakan program pemerintahan daerah. Luas dan sempit kewenangan penjabat yang ditunjuk bergantung pada pilihan status penetapan yang digunakan.
ADVERTISEMENT
Jika mengacu pada ketentuan pasal 201 ayat (9) UU 10/2016, untuk mengisi kekosongan kepala daerah yang habis masa jabatannya tahun 2022 dan 2023, maka akan ditunjuk penjabat kepala daerah. Penjabat (Pj) kepala daerah pada dasarnya memiliki kekuasaan yang sama seperti kepala daerah definitif.
Selain itu, terdapat kriteria jabatan calon Penjabat untuk diangkat sebagai Penjabat kepala daerah. Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, maka ditunjuk penjabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya. Begitu pula, untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Wali kota, akan ditunjuk penjabat yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama.
Namun, ketentuan UU tersebut tidak menjelaskan lebih jauh mengenai siapa yang berwenang dalam hal penunjukan maupun penetapan penjabat kepala daerah yang dimaksud. Wacana yang menguat akan ada pembagian wewenang antara Presiden yang akan menunjuk Penjabat Gubernur, dan Kemendagri yang akan menunjuk Penjabat Bupati/Wali kota.
ADVERTISEMENT
Jika porsi pengangkatan harus ditetapkan berdasarkan tingkatan kewenangan, maka hal ini akan berdampak pada pertanggungjawaban penjabat yang ditunjuk. Sederhananya, apabila Presiden diberikan kewenangan untuk menunjuk Penjabat Gubernur, maka penjabat Gubernur tersebut harus bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Keniscayaan lanjutannya, dasar penunjukan atau pun mengangkatan Penjabat Gubernur harus sejenis Keputusan Presiden.
Bahkan secara teknis, kedudukan Penjabat Gubernur tersebut dapat disejajarkan dengan Menteri karena sama-sama diangkat oleh Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden. Perbedaannya, hanya pada wilayah tugas yang bersifat sektoral untuk Menteri, dan bersifat regional untuk Penjabat Gubernur.

Relasi Kuasa dalam Pertanggungjawaban

Sejatinya terdapat empat skema penetapan yang biasa digunakan untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah. Skema itu antara lain; Pelaksana tugas (Plt), Pelaksana harian (Plh), Penjabat sementara (Pjs), dan Penjabat (Pj). Dalam praksisnya, Pelaksana tugas (Plt) dan Penjabat (Pj) Kepala Daerah memiliki kewenangan yang sama dengan Kepala Daerah definitif.
ADVERTISEMENT
Secara normatif, ketentuan Penjabat (Pj) telah ditegaskan oleh UU 10/2016. Artinya tidak ada alasan untuk menggunakan skema Plt, Plh, atau Pjs. Dengan demikian, untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah 2022 dan 2023 skema yang digunakan adalah pengangkatan Penjabat (Pj). Hal ini mengisyaratkan bahwa pengganti kepala daerah definitif akan memiliki kewenangan yang sama dengan kepala daerah definitif pilihan rakyat untuk menjalankan tugas dan wewenang pemerintahan daerah.
Kehadiran Penjabat kepala daerah akan berpotensi menimbulkan pelbagai persoalan jika menjabat dalam waktu yang relatif lama. Baik itu menyangkut dengan pelaksaan roda pemerintahan, keberlanjutan program strategis pembangunan, maupun menyangkut dengan keberlangsungan demokratisasi di daerah.
Dengan kewenangan yang besar, serta relasi pertanggung jawaban kepada pemerintah pusat, maka kehadiran Penjabat kepala daerah dalam waktu yang lama akan potensial menimbulkan abuse of power. Partisipasi rakyat daerah menjadi terbatas. Tidak ada kewajiban bagi Penjabat untuk mengakomodir aspirasi rakyat.
ADVERTISEMENT
Pola sentralistik pembangunan daerah -selama masa transisi- tidak bisa terelakkan lantaran blue print program pembangunan Penjabat sepenuhnya ditetapkan oleh pemerintah pusat. Hal ini berkelindan dengan pertanggung jawaban penjabat yang tidak bertanggung jawab kepada rakyat di daerah, melainkan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat.
Secara sadar, pilihan mengangkat penjabat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dalam waktu yang relatif lama sampai dilantiknya kepala daerah definitif hasil pilkada 2024 lebih banyak menghasilkan mudarat. Maka pilihan yang paling rasional dan legitimate ialah memperpanjang masa jabatan kepala daerah definitif sampai tahapan proses pilkada 2024.
Dengan memperpanjang masa jabatan kepala daerah definitif, maka keberlangsungan program pembangunan daerah, jalannya roda pemerintahan, serta keberlangsungan demokrasi di daerah lebih terjamin. Maka dengan waktu yang tersedia, menjelang tahapan proses pilkada 2024, dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan atau melanjutkan program pembangunan daerah yang telah dilaksanakan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Memperpanjang masa jabatan kepala daerah definitif yang dipilih langsung oleh rakyat juga lebih demokratis. Karena relasi pertanggung jawaban kepala daerah definitif kepada rakyat secara langsung. Pilihan ini lebih memberikan ruang terhadap partisipasi rakyat dalam mengontrol jalannya pemerintahan.
Terhadap pilihan tersebut, Presiden dapat mengeluarkan Perppu guna memberikan dasar hukum untuk memperpanjang masa jabatan kepala daerah definitif. Perppu sebagai pilihan yang paling konstitusional untuk dilakukan. Selain itu, pilihan menetapkan perppu ialah sebagai komitmen dalam menjamin pelaksanaan roda pemerintahan, keberlangsungan program stategis pembangunan daerah, serta sebagai wujud keberpihakan terhadap prinsip demokrasi di daerah.