Rendahnya Standar TWK Polri

Asrizal Nilardin
Alumni Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, Ketua Umum Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Indonesia
Konten dari Pengguna
30 September 2021 10:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asrizal Nilardin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Asrizal Nilardin
Ilustrasi Garuda Pancasila. Foto: Shutter Stock
"Kapolri akan rekrut Novel Baswedan dkk jadi ASN di Tipikor Polri". Demikian judul berita Kumparan 28 Oktober 2021. Seketika saya teringat wacana yang sempat menyeruak sebelumnya, perihal tawaran--mungkin sebagai kompensasi--dari pimpinan KPK kepada beberapa dari 56 pegawai untuk bekerja di perusahaan BUMN. Sigap saja, setelah informasi itu bocor dan menimbulkan reaksi keheranan publik, sekjen KPK dan Plt jubir KPK seketika berlomba klarifikasi.
ADVERTISEMENT
Banyak analis yang masih waras saat itu mengambil kesimpulan, langkah itu hanya siasat menenangkan keadaan pasca keputusan menyingkirkan para pegawai telah menimbulkan kecaman, distrust hingga disobedience publik terhadap pimpinan KPK. Alih-alih mengajak kompromi dengan menawarkan kompensasi ke BUMN, integritas 56 pegawai yang dipecat tak bisa ditukar dengan cara spekulatif nan culas.
Wacana memindahkan pegawai tak lolos TWK ke BUMN, sama nyelenehnya dengan niat baik Kapolri merekrut mereka menjadi ASN Polri. Jika menggunakan parameter hasil TWK Pimpinan KPK dan BKN, ini bukan sekadar soal keterbatasan IQ dari ilmu eksak, tapi ini soal rasa, nilai kebangsaan, nasionalisme, atau bisa saja soal Pancasila, namanya saja Tes Wawasan Kebangsaan. Apalagi instansi negara prestisius seperti Polri, TWK harus lebih tinggi standar nilainya ketimbang kemampuan yang lain.
ADVERTISEMENT
Jika Polri tetap nekat melakukannya, indikasinya hanya dua, pertama, standar TWK Polri yang rendah, atau kedua, Standar TWK pimpinan KPK yang teramat tinggi. Jika standar TWK Polri yang rendah, maka standar TWK Presiden juga rendah, karena rencana Kapolri merekrut pegawai yang tak lolos TWK, diklaim telah disetujui oleh Presiden Jokowi. Sekali lagi, jika menggunakan standar TWK pimpinan KPK, rencana Kapolri serta dukungan Presiden harus dipikirkan kembali secara serius. Pasalnya, ini amat riskan bila memperkerjakan 56 orang yang tak lolos TWK di instansi Polri.
Akan tetapi, nalar waras kita tentu tidak akan percaya jika Kapolri berani merekrut orang-orang yang tidak memenuhi standar TWK untuk bekerja pada posisi strategis Polri. Dengan berbagai kemampuan dan perangkat yang dimiliki, instansi Polri adalah instansi yang teramat selektif. Demikian pula, tidak mudah diangkat menjadi ASN Polri bila integritasnya bermasalah.
ADVERTISEMENT
Apalagi rencana Kapolri merekrut pegawai yang tidak lolos TWK hasil persetujuan bersama Presiden. Hal ini semakin menguatkan, bahwa TWK yang diadakan oleh pimpinan KPK memang bermasalah, baik secara prosedural maupun substansial. Tidak ada yang meragukan penilaian integritas dan standar TWK Polri. Jika benar 56 pegawai yang dipecat tidak lolos TWK sesuai prosedur, mengapa Kapolri terselip niat merekrut mereka menjadi ASN tipikor Polri?. Instansi prestisius seperti Polri akan mustahil mau mengambil risiko besar untuk orang-orang yang bermasalah wawasan kebangsaannya.
Mungkin saja standar TWK pimpinan KPK lebih tinggi dari standar TWK Polri. Secara sadar, dari pelbagai kejanggalan dan temuan dari Ombudsman dan Komnas HAM, TWK yang diadakan oleh pimpinan KPK hanyalah siasat yang direncanakan secara TSM untuk menyingkirkan para pegawai berintegritas di KPK.
ADVERTISEMENT
Permasalahan yang paling mendasar dari polemik TWK pimpinan KPK ini bukan sekadar menyangkut nasib dan pekerjaan 56 pegawai yang dipecat. Jauh dari itu, tapi ini menyangkut komitmen pemberantasan korupsi pimpinan KPK dan seluruh pejabat negara. Menawarkan jabatan tinggi sekalipun kepada 56 pegawai tersebut untuk bekerja di luar KPK, tidak lantas mengakhiri kegaduhan ini. Lagi pula integritas pemberantasan korupsi tidak bisa ditawar dengan jabatan apa pun.
Keyakinan saya, 56 pegawai KPK yang dipecat tidak akan menerima tawaran jabatan di luar KPK. Karena yang diperjuangkan bukan saja kepentingan pribadi, namun menyangkut kepentingan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi yang menjadi momok di negeri ini. KPK sekarang bukan saja dilemahkan, namun benar-benar telah dibunuh secara terstruktur, sistematis, dan masif dari dalam.
ADVERTISEMENT
Benar adanya, bahwa dengan merekrut mereka di tipikor Polri juga memiliki sasaran kerja yang sama, yakni pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, memburu tikus di kamar tentu berbeda dengan memburu tikus di got atau gorong-gorong. Begitu juga bagi seorang nelayan pesisir, memukat ikan di rawa akan berbeda dengan memukat ikan di laut. Karena ikan kakap tidak hidup di rawa, tapi hidup bebas dan memangsa di laut lepas.
Tidak bisa diterima oleh nalar yang waras, TWK yang sarat akan kejanggalan menjadi satu-satunya alasan pemecatan pegawai yang menahun berdedikasi dalam pemberantasan korupsi di KPK. Rencana Kapolri merekrut mereka dapat dimaknai sebagai upaya disclaimer terhadap keputusan otoriter pimpinan KPK.
Apa mungkin Polri memiliki standar TWK yang lebih rendah dari pimpinan KPK?. Sudah tentu untuk mengetahuinya perlu dibuka ke publik perihal tolak ukur penetapan standar TWK dari pimpinan KPK. Misteri TWK pimpinan KPK masih menuai segudang pertanyaan, karena sampai sekarang pimpinan KPK dan BKN belum menunjukkan secara lugas dan transparan hasil asesmen TWK yang dijadikan dasar pemecatan 56 pegawai. Serta seberapa besar skor nilai dari pertanyaan yang lebih banyak menyangkut privasi dan SARA. Semua harus dibuka seterang-terangnya supaya Polri dapat mengurungkan niatnya untuk merekrut 56 pegawai yang dipecat karena tak lolos TWK.
ADVERTISEMENT
Jika standar TWK Polri yang rendah, maka perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh. Namun, jika standar TWK pimpinan KPK yang justru terlampau tinggi, maka perlu juga kiranya publik mengadakan TWK khusus kepada para pimpinan KPK. Atau mungkin saja standar TWK pimpinan KPK bertaraf internasional? sehingga sukar bagi wawasan kebangsaan Indonesia memenuhi kualifikasi karena masih bersifat nasional dan tidak sesuai dengan doktrin globalisasi yang menyintas batas kebangsaan.
Secara pesimistis, pada akhirnya kita hanya bisa termenung sejenak, sembari bergumam memanjatkan doa pada Sang Penguasa langit yang sedang menyaksi siasat yang menyesatkan akal sehat manusia yang berpikir. Andai bisa disomasi, maka akan kita layangkan jutaan somasi kepada ratu adil dan raja arif untuk turun campur tangan membereskan sengkarut polemik yang tak bisa diatasi oleh penguasa tanah air ini.
ADVERTISEMENT