Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Bukan Hanya Mahkota BM Diah
9 Februari 2022 16:37 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Asro Kamal Rokan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Catatan Asro Kamal Rokan
Sampai pukul 18.00 hasil wawancara Pak BM Diah belum juga masuk ke redaksi Harian Merdeka. Suasana di redaksi lebih sibuk dari sebelumnya. Hari itu, Selasa (21 Juli 1987) Pemimpin Redaksi Pak Ahmad Adirsyah, Wakil Pemred Pak Karim Paputungan, redaktur senior Kosasih Kamil, bolak-balik ke lantai satu, ruang redaksi koran berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Di sini, ada teleks kantor berita, Reuters Inggris, AP Amerika Serikat, dan LKBN Antara.
ADVERTISEMENT
Pak Kosasih berteriak, "Sudah ada reaksi dari Nakasone, juga Teatcher." Yasuhiro Nakasone adalah Perdana Menteri Jepang, sedangan Margaret Teatcer, Perdana Menteri Inggris.
Namun, teleks dari Pak Diah, yang pagi tadi mewawancarai Sekjen Partai Komunis Uni Soviet, Mikhail Gorbachev di Kremlin, belum juga masuk. Justru berita dan reaksi para pemimpin dunia yang duluan tiba melalui Reuters dan AP, juga AFP Prancis.
Saya yang baru setahun di redaksi Harian Merdeka di Jakarta -- sebelumnya koresponden Merdeka di Medan -- berlomba dengan Pak Karim dan Pak Kosasih, membaca teleks dan menyobeknya. Tujuannya beda, kedua pemimpin Merdeka itu menunggu berita Pak Diah, sedangkan saya mencari berita-berita sepak bola untuk diterjemahkan.
Teleks kantor berita terus bekerja, melaporkan kejadian di seluruh dunia. Suaranya seperti mesin tik, tidak berhenti. Huruf-huruf muncul satu-satu dengan cepat, membentuk kalimat. Kertas teleks bergulung-gulung panjang. Beberapa bagian saya sobek untuk mengambil berita-berita sepak bola liga Eropa.
ADVERTISEMENT
Hasil wawancara Pak Diah dengan Gorbachev -- populer dipanggil Gorby -- akhirnya muncul, melalui teleks di ruangan pribadi Pak Diah, sayap kiri gedung Harian Merdeka di Jl. AM Sangaji. Besoknya, tidak saja Merdeka menempatkan berita tersebut sebagai berita utama, juga koran-koran terbitan Jakarta, termasuk Kompas. Beberapa hari berita tersebut bergulir.
Pak BM Diah (alm) pemilik Harian Merdeka, salah seorang pendiri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 9-10 Februari 1946) di Salatiga, antara lain bersama Sumanang Surjowinoto (pendiri LKBN Antara), Pandu Kartawiguna (Antara), Abdul Rachmat Nasution (LKBN Antara/ayah pengacara Bang Adnan Buyung Nasution).
Pak Diah memimpin PWI hasil Kongres 1970 di Palembang, yang melahirkan pengurus ganda. Kepengurusan pertama, Pak Diah dengan PG Togas sebagai Sekjen. Kepengurusan kedua, dipimpin Pak Rosihan Anwar dengan Sekjen Pak Jacob Oetama. Pak Rosihan dan Pak Diah, sama-sama berjuang di Harian Merdeka pada awal terbit, 1 Oktober 1945. Pak Diah pemimpin redaksi, Pak Joesoef Isak wakil, dan Pak Rosihan Anwar sebagai redaktur.
ADVERTISEMENT
Pada 80-an, Harian Merdeka yang dipimpin Pak Diah, cenderung menyuarakan politik Uni Soviet. Dalam berbagai kesempatan, termasuk diwawancarai Kompas, Pak Diah mengakui kecenderungan itu. Kompas bahkan menyebutkan Harian Merdeka sebagai koran lobi Soviet.
Alasan Pak Diah memilik sikap politik pro Blok Timur, untuk penyeimbang sikap politik pemerintah Orde Baru yang cenderung ke Blok Barat, yang dipimpin ke Amerika Serikat. Masa itu -- yang disebut sebagai masa Perang Dingin -- Soviet bersama negara-negara Pakta Warsawa, adalah pemimpin Blok Timur, sedangkan Amerika bersama NATO memimpin Blok Barat.
Ketika Pak Diah mengajukan rencana wawancara langsung disetujui Gorbachev. Pak Diah didampingi Pak Soepeno Sumardjo (Merdeka), diundang ke Kremlin. Wawancara tersebut selanjutnya disebarluaskan ke seluruh dunia oleh Tass, Kantor Berita Uni Soviet. Penyebaran berita melalui Tass, cepat direspons para pemimpin dunia.
ADVERTISEMENT
Nol Berganda
Dalam wawancara yang menghebohkan -- dan bahkan kemudian mengubah peta politik dunia -- itu, Pak Diah mengajukan berbagai pertanyaan, di antaranya tentang Perang Dingin senjata nuklir.
Gorbachev -- tokoh pembaruan Uni Soviet, yang terkenal dengan ucapannya Glasnost-Perestroika -- menyatakan Uni Soviet bersedia bertemu Presiden AS, Ronald Reagan, membahas pemusnahan rudal-rudal jarak sedang di Eropa dan Asia. Gorby menawarkan konsep global double zero option. Soviet bersedia memusnahkan senjata-senjata nuklir di berbagai negera, sebaliknya Amerika harus melakukan hal sama, memusnahkan senjata nuklirnya di Eropa.
Hasil wawancara itulah, yang kemudian direspons positif para pemimpin dunia. Mereka mendorong Gorbachev dan Reagan segera bertemu.
Enam bulan setelah wawancara Pak BM Diah, Gorbachev dan Ronald Reagan bertemu dan menandatangani perjanjian pemusnahan senjata nuklir jarak pendek dan menengah (Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty/INF) di Gedung Putih, Washington, 8 Desember 1987. Perjanjian itu mulai berlaku pada Juni 1988.
ADVERTISEMENT
Setelah penandatanganan, Soviet memusnahkan sekitar 1.500 rudal jarak menengah dari Eropa. Sedangkan AS memusnahkan sekitar 750 rudal balistik jarak menengah. Dengan perjanjian itu, dunia memasuki gerbang damai, bebas dari ancaman senjata nuklir. Perang Dingin Blok Barat dengan Blok Timur pun berakhir.
Atas kebijakannya menghentikan Perang Dingin dan mewujudkan perdamaian dunia, Gorbachev mendapat penghargaan Nobel Perdamaian pada 15 Oktober 1990 di Oslo, Norwegia.
Pak BM Diah -- kelahiran Barus, Sumatra Utara, 7 April 1917, wafat 10 Juni 1996 -- pun sangat layak mendapatkan penghargaan di tingkat dunia. Murid dan sekaligus asisten Dr. E.E. Douwes Dekker di Ksatrian Instituut (Sekolah Ksatrian), melalui wawancaranya dengan Gorbachev, menghasilkan perubahan dunia.
Pak Diah mendorong perdamaian dunia, yang kita nikmati saat ini. Inilah Mahkota Wartawan -- mengutip judul buku Pak Diah, Mahkota Bagi Seorang Wartawan, diterbitkan Pustaka Merdeka, yang berkisah tentang wawancara dengan Gorbachev.
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai kesempatan pada rapat pengurus PWI Pusat, saya mengusulkan Pak Diah -- putra Mohammad Diah, pegawai pabean di Aceh Barat -- mendapatkan penghargaan dari PWI dan memperjuangkan sebagai Pahlawan Nasional.
Pak Diah, mantan Menteri Penerangan, mantan Dubes di Cekoslowakia, Britania Raya, dan Thailand, adalah bagian tidak terpisahkan dari sejarah pers Indonesia. Perjuangannya sebagai wartawan -- termasuk menyelamatkan naskah asli Proklamasi -- tidak saja Mahkota indah, tapi juga sejarah dan kehormatan bagi seluruh wartawan.
Jakarta, 9 Februari 2022