Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Siapa Nama Presiden Kamu?
11 Februari 2022 10:27 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Asro Kamal Rokan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Catatan Asro Kamal Rokan
PAGI saya sudah di kantor redaksi sebelum redaktur lain datang. Selain karena kebiasaan, juga siasat, menunggu resepsionis cantik yang diantar ayahnya naik motor. Saya menunggunya di depan pagar dan langsung berdebar saat motor biru ayahnya berhenti tepat di depan saya. Dan, seperti hari-hari sebelumnya, saya mencium tangan ayahnya.
ADVERTISEMENT
Setelah ayahnya – beberapa bulan kemudian menjadi mertua saya -- pergi, kami makan mie ayam di depan kantor Harian Merdeka di Jl. AM Sangaji No. 11, Jakarta Pusat. Selanjutnya mengisi absen di pos keamanan.
Harian Merdeka, surat kabar yang terbit pada 1 Oktober 1945, memiliki gedung besar dua lantai. Di lantai satu sayap kiri, ada bagian administrasi, ruang khusus Pak BM Diah, pemilik Harian Merdeka. Di ruangan ini, pada 1980-an, hampir setiap minggu ada saja Duta Besar dari negara Blok Timur menemui Pak Diah.
Di lantai ini juga ada ruangan Ibu Herawati Diah, yang memimpin surat kabar berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Di bagian belakang lantai satu, ada ruang pracetak, di belakangnya lagi percetakan offset, besar dan berisik. Di lantai ini juga ada redaksi Indonesian Observer, ruang teleks, dan redaksi Majalah Keluarga.
ADVERTISEMENT
Ruang redaksi Merdeka di lantai dua. Datang pagi, meja-meja tidak beraturan. Hampir di setiap meja, asbak penuh puntung rokok dan mangkok-mangkok sisa mie. Mesin tik tua kuning gading dengan roll panjang -– yang tidak sedikit hurufnya copot -– di atas meja yang berantakan. Kertas khusus dengan ukuran, berserakan di atas meja dan di lantai. Sebagian masih di rol mesin tik. Beberapa kipas angin besar di plafon masih berputar.
Kantor redaksi ini terbagi beberapa ruangan. Ada ruangan kaca berpendingin untuk pemimpin redaksi, sekretariat redaksi, redaktur yang tidak merokok, dan ruang khusus Pak Virga Belan, sastrawan penulis tajuk. Ruang Pak Virga ini kemudian dijadikan untuk rapat redaksi setelah Pak Virga tidak lagi di Merdeka karena tajuknya mengenai rezim Orde Baru dipersoalkan Kementerian Penerangan. Pilihan saat itu, Pak Virga keluar atau Harian Merdeka dibredel.
ADVERTISEMENT
Ruangan lain untuk redaksi Majalah Topik dan Merdeka Minggu. Di sebelahnya, ada ruang tertutup berpendingin. Ruangan ini untuk dokumentasi. Ada banyak sekali kliping koran yang disusun sesuai kategori, foto-foto di dalam laci. Foto-foto tersebut – di antaranya foto Reuters, AP Amerika Serikat, AFP Prancis, LKBN Antara – berusia puluhan tahun dan sangat bersejarah.
Menerima Telepon
Seperti hari-hari sebelumnya, kali ini pun, April 1988, pagi saya ke kantor. Tempat kost di Setiakawan, Roxy, sekitar satu kilometer dari Harian Merdeka. Terkadang naik bus P-62 dari Grogol ke Blok M, melewati Jl. AM Sangaji, terkadang jalan kaki.
Tidak lama tiba di halaman Merdeka, petugas keamanan mendekati saya, memberi tahu ada telepon penting dari orang yang mengaku dari Istana, meminta bicara dengan redaksi. Saya satu-satunya anggota redaksi. Umumnya, redaktur datang di atas pukul 11.00, sedangkan reporter sore.
ADVERTISEMENT
Saya menerima telepon. Suara dari seberang telepon terdengar marah. “Kamu redaksi?!”
Saya membenarkan. Dan, si penelepon seakan meledak.
“Siapa nama Presiden kamu?!”
“Presiden Soeharto,” jawab saya mulai berdebar.
“Kamu baca di halaman sebelas, apa yang kamu tulis?!”
Saya segera meraih koran edisi hari itu yang memang selalu ditumpuk di pos keamanan. Membuka halaman sebelas. Tidak ada yang aneh. Di berita utama halaman ini ada berita Presiden Soeharto.
“Sudah kamu baca?! Apa yang kamu tulis?!”
Saya diam, menyimak, dan bingung.
“Baca nama Presiden yang kamu tulis?!” dia terus menekan.
Ya Allah. Saya baru paham. Ada kesalahan ketik. Di judul, nama Presiden Soeharto menjadi 'Presiden Seoharto'. Huruf “o” dan huruf “e” bertukar tempat.
ADVERTISEMENT
Saya menyampaikan permintaan maaf atas kesalahan ketik itu dan akan meralatnya. Dia menutup telepon dengan keras.
Dalam rapat redaksi sore, soal ini saya sampaikan. Setelah ditelusuri, kesalahan ada pada Redaktur Malam, yang bertugas memeriksa judul semua berita dan tulisan, foto dan keterangan foto, sambungan halaman, juga penyesuaian judul dengan berita. Setelah semua diperiksa, Redaktur Malam membubuhkan tanda tangan. Setelah itu naik cetak.
Kabar yang saya dapatkan, beberapa hari kemudian Redaktur Malam yang malang itu dipecat.
Saya tidak tahu bagaimana proses pemecatan tersebut. Saya membayangkan, pagi itu ketika membaca Merdeka dan menemukan kesalahan ketik namanya, Pak Harto mungkin hanya senyum atau tertawa kecil.
Jakarta, 10 Februari 2022.