Konten dari Pengguna

Apakah Kita Butuh Rumah untuk Pulang?

Assifa Atsna Hanifa
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
24 Oktober 2023 14:24 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Assifa Atsna Hanifa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
 Ilustrasi rumah. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rumah. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Memasuki usia dewasa, ruang lingkup kehidupan semakin luas. Suka tidak suka, segala bentuk tanggung jawab murni ada di tangan kita. Mungkin mula-mula, beberapa orang sulit menerima, bahwa dirinya harus berjalan dengan sepasang kaki, tanpa dituntun oleh ayah dan ibu.
ADVERTISEMENT
Dan perasaan itu benar adanya, seperti kata Nadin Amizah dalam tulisannya, "we’re still children in our mind". Tapi inilah hidup, kita harus terbentur untuk terbentuk, belajar menghadapi setiap kejadian dan mengambil hal positif yang terselip di dalamnya.
Semakin dewasa, kepala akan terasa penuh, mungkin di dalamnya segala hal berdesak-desakan. Bagaimana tidak? Sedari bangun tidur, kita bergegas ke luar rumah untuk bertemu banyak orang—mengejar apa yang harus kita kejar.
Wawasan hidup kita semakin bertambah, mendapat pengalaman baru yang membekas di hati dan pikiran. Lalu, di tengah perjalanan, sudah pasti muncul ketidaksamaan persepsi dari masing-masing orang yang berada di lingkungan kita, atau hal-hal yang rasanya tidak sesuai dengan ekspektasi kita.
Semua itu tersimpan di kepala. Bukankah berat jika menimbun semua itu sendirian? Maksud saya, kita berkelana di luar, bersenang-senang, bersedih. Pada akhirnya, masing-masing dari kita ingin pulang bukan? Ya, pulang ke rumah yang kita percaya mampu menjadi tempat kita mengadu.
ADVERTISEMENT
Saya yakin, setiap orang membutuhkan orang yang ia percaya bisa menjadi tempatnya pulang—entah sahabat, pasangan, atau keluarga. Kita membutuhkan sesuatu yang raganya hadir, terlihat, dan dapat merespons kita secara langsung.
Dokumentasi pribadi.
Saat saya bersama orang yang saya sebut 'rumah', memang sesekali saya ingin mendapatkan saran dan dukungan, tapi yang paling diinginkan hati ialah ketenangan. Saya merasa tenang ketika bersama orang itu selepas saya mengarungi bisingnya keping perjalanan hidup. Keberadaanya membuat perasaan saya menjadi lebih baik.
Bagi saya, menjadi seorang dewasa yang utuh memerlukan amunisi penuh. Oleh sebab itu, pulanglah kepada orang yang kamu percaya jika merasa lelah dan penat, jangan merasa sendirian lalu menimbun segala bentuk pelik di kepala. Itu akan terasa sangat berat.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, ada satu hal yang harus kita ingat: jangan jadikan manusia sebagai tempat pulangmu yang utuh. Atur porsinya, sebab jika kita melabelkan seseorang sebagai tempat pulang seutuhnya, ketika ia hilang kita juga akan tersesat.
Jadi, sisakan porsi pulangmu untuk kembali kepada Tuhan, berserah ke tempat sujudmu dari bisingnya dunia. Kita harus percaya, bahwa kita tidak sendirian.